7a. Gerhana Suara

75 21 4
                                    

Rinai Dandelion's POV

Aku akhirnya tersadar bahwa 11 halaman sudah kuketik di benda itu. Secara bersamaan, aku melihat seorang laki-laki sedang mengutak-atik pintu toko kelontong itu dengan kunci yang ia pegang. Apakah ia Raythone Rumblon? Daripada bertanya-tanya dalam hati, lebih baik aku segera memanggilnya. "Hey, Raythone! Raythone Rumblon!" Lelaki itu menengok ke asal suara tersebut yang tak lain adalah aku. "Kesiangan, ya?" tanyaku. Kutambah senyuman manis dari mulutku. Tak lupa juga kuikutkan sebuah cahaya mentari pagi ke dalam senyuman tersebut. Berharap untuk membuat ia membalas senyumanku itu. Aku tak akan marah bila dia tak membalasnya. Tetapi, ini bukan hanya tak membalasnya. Dia mengacuhkanku seperti patung angsa disampingku ini.

Huh! Kesalku dibuatnya berulang kali. Kemarin, hentakkan kakiku membuat kelakukannya berhenti. Sekarang, dapatkah aku mengulangnya lagi? Um, sepertinya jangan. Lebih baik, aku membuat hal yang baru. Seperti, banting meja, makan rumput, atau teriak sambil keluarin kekuatan songgokun (aku tak tahu tulisannya). Eh, jangan, deh! Aku, kan tak mau membuat wajah manisku ini menahan muka merah di depan para manusia asing. Jadi, kuputuskan untuk diam. Berpikir cara yang lebih keren.

Ah! Aku tahu! Bagaimana jika aku berjalan cepat ke tempat ia bekerja lalu memarahinya serta merta mengeluarkan sedikit tetesan air mata. Mumpung aku sedang mengenakan pakaian yang lagi ngetrend di dunia, nih. Pasti keren. Langsung kubangkitkan tubuhku ini dari kursi kayu Coffee Butera Cafe. Berjalan cepat masuk ke dalam kelontong kopi itu. Sepoi-sepoi angin menyibakkan rambut cokelatku yang terurai panjang. Menjunjung tinggi kekerenanku saat itu.

Tetapi, eitt!

Langkahku terhenti. Sebuah ingatan tentang benda berhargaku melintas di rangsang otakku. Laptopku. Ya, benda itu bila kutinggal sendirian di luar sana tentu akan menggiurkan para pelalu lalang jalanan. Jadi, mau tak mau aku harus membalikkan badanku dan mengambilnya. Memasukkan benda itu kedalam ranselku. Malu tetap ku tahan sedalam-dalamnya. Setelah, kuperiksa tak ada satu pun barang yang ketinggalan, aku langsung melaju kecepatan kakiku ke dalam. Sampai disana, tak ada satu orang pun. Tak ada Raythone Rumblon disana. "Raythone!" Dan, aku mulai lagi memanggil namanya itu. Persis seperti di rumahnya saat itu. Menunggu jawabannya yang sangat lama. Sampai-sampai aku harus menyiapkan 100 nyali kuat untuk menyari kehadirannya. Kupastikan sekarang aku tak akan melakukan hal itu kembali. Paling, hanya memanggilnya berulang kali. Itu saja.

"Raythone! Raythone Rumblon! Dimanakah kau?" panggilku.

"Ray~thone! Ray~thone! Raythone Rumblon, keluarlah!" Aku terus memanggilnya. Kadang, kuselipkan beberapa nada yang tak kukenali di panggilan tersebut.

"Ray-" panggilanku seketika terpotong. "-THONE!!!" Aku tak sengaja mengeluarkan teriakan itu. Sekarang, keadaannya kacau sekali. Setahuku, saat ini masih pagi. Mengapa gelap sekali disini? Kalaupun itu mati lampu, pasti tak akan segelap ini. "RAYTHONE! NYALAKAN LAMPU!"

Tap! Tap! Tap!

Terdengar suara hentakkan kaki santai mengarah kepadaku. Ketakutan menghujam hatiku. Semakin lama, suasana hatiku tak keruan. Tadi, hanya karena suasana di sekitarku gelap sekali sekarang ditambah oleh manusia pemilik kedua kaki yang kukira berdiri disampingku. "Heh! Saya tidak tahu keberadaan Anda di kegelapan ini! Jadi, tolong jangan membuat perbuatan aneh! Awas, ya!" ancamku. Aku sadar kalau aku mengatakannya dengan getaran nada ketakutan. Hadeuh! Aku, kok payah sekali?

"Kuulangi lagi! Awas, ya!" ucapku. Kali ini dengan suara yang mantap. "Awas mengapa?" Sebuah suara membalas ancamanku tadi. Mungkinkah itu pemilik kedua kaki yang mendekatiku? "Heh! Kau ya si manusia pendekat nyawaku ini? Jawab kau pengecut!"

Tak ada bunyi sekecil pun darinya. Aku tak mau menggerutu terus kepada orang yang sama sekali tidak kuketahui. Jadi, aku mendengus sekuat-kuatnya supaya ia disekitarku itu menyadari bahwa aku telah muak oleh kebisuaan yang ia ciptakan sejak tadi. "Tolong, siapapun kau! Bila kau dapat melihatku, mendekatlah 1 cm dariku. Aku benci gelap." jelasku, memeluk tas laptop yang tadi kubawa bersama. Memejamkan kedua mata. Berharap supaya tak akan ada hal yang mengejutkan terjadi. Tidak sesuai ekspetasiku, manusia yang kuminta untuk mendekat, menahan desak tawanya yang sudah tertangkap jelas oleh pendengaranku. Kurentangkan tangan kananku lalu mulai mencari pundak manusia tersebut.

Sang BaristaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang