7b. Gerhana Suara

50 14 1
                                    

Aidden Voldka's POV

Terik matahari memaksaku untuk bangkit dari kasurku yang sangat empuk. Aku mulai melaksanakan kegiatan yang memang harus kulakukan. Tetapi, pembersihan tubuh harus dilaksanakan pertama kali. Ya, karena aku sangat risih bila aku tak melakukannya.

Jarak rumahku - lebih tepatnya kos-kosanku - sangat jauh dengan tempat aku bekerja sebagai barista. Karena, jarak jauhnya itu pasti akan membuat orang memilih untuk naik taksi. Hal yang berlawanan terjadi padaku. Aku lebih suka menggunakan kedua kakiku untuk menghampiri lokasi tujuanku. Tak peduli seberapa jauh jaraknya.

Di depan kos-kosanku sangat miskin lampu. Tetapi, karena sekarang sudah pagi, cahaya tercerah membuat area di depan tempat tinggalku ini terang. Butiran salju masih berjatuhan. Namun, tak selebat kemarin. Boneka salju yang terdapat di pekarangan kos-kosanku semakin sedikit. Bisa dibilang langka. Mengapa begitu? Ya, karena kos-kosan yang ku tempati ini memiliki desain yang cukup unik. Jarang kulihat manusia normal yang berlalu lalang di depan bangunan ini. Paling-paling, orang yang sedang bermabukan atau juga gangster, kah?

Aku tinggal ditempat ini bukan untuk mengikuti alur cerita mereka. Hanya saja, otakku berpikir bahwa lokasi ini lebih menenangkan dibandingkan yang lain. Jadi, disinilah aku berada. Jujur saja, bisa dikatakan kalau saat ini hatiku merasakan hal yang aneh. Bukan yang seperti ada kupu-kupu berterbangan di perutku. Namun, seperti ada yang menghujam lambungku. Aku sangat yakin kalian belum mengerti apa yang ingin aku katakan. Lebih tepatnya tidak mengerti.

Lebih baik, sekarang kita keluar dari kalimat membingungkan yang barusan kukatakan!

Pakaian yang kukenakan sekarang tak terlalu tebal. Hanya seragam kelontong Coffee Buttera Cafe yang diselimuti lagi oleh jaket hitam polosku. Dibawahnya kupadukan dengan celana khaki bewarna gurun pasir. Sepatunya? Simple saja lah, ya. Sepatu Kets.

Sekarang, aku harus bekerja. Menjadi seorang barista di salah satu kelontong kopi pusat kota ini. Terlihat banyak sekali manusia salju yang sudah meleleh. Itu karena ulah si bintang raksasa. Teriknya kelewatan panas sampai membuat para manusia menghindarinya laksana seorang vampire.

Aku percepat kecepatan berjalanku sambil membayangkan gadis bawel itu. Kira-kira, akankah ia kembali datang ke tempatku bekerja itu malam ini? Semoga saja tidak. Aku sudah kehabisan topeng saat ini. Kumohon tidak.

Langkahku terhenti saat melihat seorang gadis berjaket super tebal duduk di salah satu meja milik kelontong Coffee Butera. Di depan ia duduk, terbuka sebuah laptop yang sepertinya sedang boom akhir-akhir ini. Karena, melihat kepalanya yang terantuk-antuk seperti manusia yang sedang terlelap kedalam dunia mimpi, aku beransumsi bahwa ia memang benar-benar sedang tidur. Kuintip sedikit mukanya dibalik rambut cokelatnya yang lumayan panjang.

Oh-oh!

Itu si gadis bawel. Sekaratlah riwayatku hari ini. Secepatnya kutarik jauh tubuhku darinya dan langsung mengarahkan kakiku ke pintu toko. Pintu ini akan segera terbuka dengan salah satu dari tiga kunci yang ada di tanganku.

Gagal untuk kunci pertama.

Kunci kedua? Ceklek. Yeay! Berhasil.

Keberhasilanku itu bersamaan dengan keluarnya panggilan dari mulut si gadis bawel itu.

"Hey, Raythone! Raythone Rumblon!"

Cih, dia kira aku manusia itu, toh! Hanya karena suara yang menyebutkan 'Raythone Rumblon' itu dia mengiraku sebagai manusia sialan itu.

Aku menoleh ke arahnya dalam waktu sekejap. Lalu, langsung berpaling dan masuk ke toko untuk bekerja. Di dalam, hanya ada 1 pegawai laki-laki yang masuk dari pintu belakang. Pegawai-pegawai di kelontong ini belum mau menunjukkan dirinya karena melihat kondisinya masih pagi. Karena sekarang aku sudah datang, ada 2 pegawai yang sedang melaksanakan pekerjanya. Kutaruh tasku ke ruangan staff. Kemudian, mulai membantu menurunkan kursi dari atas meja.

Sang BaristaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang