Mobilku berjalan dengan kecepatan normal. Membelah padatnya Jakarta pada malam hari. Aku menghembuskan nafas. Perlahan-lahan, aku memang harus menyelesaikan masalah ini. Masalahku dengan dia. Tadinya, aku merasa tidak perlu repot-repot untuk mendatangi acara yang diadakan oleh teman-teman SMA ku dulu. Jika aku datang, artinya aku akan bertemu dia. Itupun jika dia datang ke acara itu.
Acara ini dimulai hari Sabtu besok. Sekarang masih hari Kamis, aku masih memiliki waktu sekitar dua sampai tiga hari untuk menjelajahi kota metropolitan ini. Aku rindu Jakarta!
Mobil milikku sampai di ballroom hotel. Aku meminta tolong pada pelayan yang sedang berjaga di depan pintu ballroom untuk memindahkan mobilku ke tempat parkir. Setelah check in, aku berjalan menuju kamarku. Kamar sementaraku.
Baiklah, mulai malam ini, cerita ini sudah harus ku tulis. Cerita ini sudah harus berjalan sesuai alur. Aku membuka laptop, kemudian mulai menulis tentang kisahku. Kisahku dengan dia.
Untukmu, ketika kamu sedang membaca ulang cerita ini, ku harap tak akan ada lagi hati yang terluka. Tidak hanya kamu, sewaktu-waktu, aku juga sering bertanya kepada semesta, bagaimana perasaanku saat membaca ulang tentang kisah kita yang telah lama usai.
Kisah yang seharusnya menjadi kisah terindah sepanjang waktu, seperti katamu pada beberapa tahun yang lalu.
***
"NGAPAIN SIH VIO?!"
Suara Qila menggelegar seantreo ruangan. Aku sendiri nggak paham, gimana bisa dia punya suara kaya gitu. Orang pinter, kalem, sabar, kalo marah marah serem juga, ya.
"BALIKIN SOFTEK GUE ANJIR VI!"
"LO JANGAN MACEM MACEM INI GUE UDAH BOCOR!!!!"
"Hehe, nih nih, udah dong, jangan ngambekan molo. Cepet tua."
"Bodo."
"Idih yaudah."
"Anterin gue ke kamar mandi Viooo, kan gue mau ganti!"
"Yeee, masih butuh gue kok nyolot, ayok dah."Dia ini sahabatku, namanya Devi Aqila. Cantik, pinter, sabar banget, cuma sama aku doang dia marahan, suer.
Banyak banget yang naksir dari ujung ruangan A sampe ruangan J. Abisnya, cantik banget!
"Vio lupa nggak bawa kertas masa."
Aku menoleh ke sumber suara, pintu. Kok bisa gituloh! Pinter pinter oon ini, mah!
"Bentar deh gue ambilin dulu ke kelas."
Koridor lagi rame banget. Lagi jam istirahat, sih, pantesan rame. Satu hal yang harus kalian ketahui, aku ini nggak suka sama keramaian. Temen aja cuma punya satu. Serius.
Kalau kalian belum sadar, aku sekarang masih SMP. Kelas sembilan. Udah selesai UN, kok. Sekarang lagi santai-santainya.
Ah, enggak. Habis ini ada acara buat ngeliat liat sekolah, semacam study campus, tapi ini namanya study SMA.
Setiap siswa bebas buat milih dua SMA dari sekolah yang ada di list daftar SMP-ku. Katanya sih, SMP ini termasuk bagus, makanya sampai ada acaran beginian.Setelah mencabut kertas bagian tengah di buku tulis milikku, aku balik lagi ke toilet.
Anjir, sial banget sumpah. Di depan toilet cowok, banyak banget geng geng cowok pengganggu! Main gitar, nyanyi! Nggak jelas banget, sumpah. Heran aku, mereka ini anak orang kaya, tapi kok nongkrongnya di depan kamar mandi. Kayak nggak ada tempat lain aja.
Kan kalo mau lewat jadi perasaan gimana gitu. Yaudalah, akhirnya milih jalan lain adalah cara satu satunya.
Menuruni tangga, melewati kantin, dan berputar hampir satu gedung sekolah! Dasar, geng sialan.
"Vi!" Aku menoleh.
Ini suara Alvaro. Iya, aku bener bener kenal banget!
"Vio mau kemana?"
"Toilet."
"Ngapain?"
"Boker! Kepo banget sih!""Vio galak banget sama pacarnya," suara lain muncul. Astaga, kenapa teman-teman Alvaro menyebalkan!
"Diem lo Raf!"
***
"Lama banget sih Vi!" Yaelah, suara mak lampir.
"Sabar, kan gue muter, banyak temen temennya Bakti tuh di depan kamar mandi cowok!"
Qila cuma ngangguk ngangguk, nggak tahu terima kasih banget ya ampun!
"Buruan Qil!"
Urusan perempuan memang sangat meribetkan. Aku sendiri juga sering merasakan apa yang Qila rasakan saat ini.
****
"Ke SMA sama siapa nanti ?"
"Sama Qila kayaknya kak, kenapa?"
"Nggak sama aku aja? Ke Liberty juga kan nanti?"
"Sama aku aja ya Vi?""Iya, bentar ambil tas dulu."
Alvaro menunggu aku di luar kelas. Berpangkat sebagai 'alumni' membuat ia mungkin merasa tidak nyaman atau apa, yang jelas, raut mukanya tak bisa ditebak akan terjadi apa.
"Yuk!" Alvaro ngangguk.
"Bawa mobil kak?"
"Iya Vi, udah di-plannging mau jemput kamu, hehe. Untung aja kamu nggak sama Qila."
"Emang boleh? Kan kemarin katanya mau ngurus SIM nggak jadi-jadi."
"Sekali kali nggak papa lah."
Hening. Aku males banget ngomong. Nggak tau kenapa ya, mungkin ini deh namanya bosan. Bukan bukan, perasaanku ke Alvaro bukan hanya sekedar kata bosan, aku mulai merasa tak nyaman dengan hubungan ini.
Menjalin hubungan pertama kali dengan lelaki membuatku bingung harus bagaimana. Apa yang harus aku lakukan saat hanya berdua saja, apa yang harus kubicarakan saat dia diam, atau sekedar, memikirkan apakah dia suka dengan parfum yang kukenakan hari itu.
"Tadi kok di SMP dari pagi? Pas aku ke kamar mandi tadi masih jam sembilanan kan, kak?"
"Oh, iya, kan di sekolah lagi free buat nyiapin acara ini. Jadi yaudah deh aku, Adryan, sama Rafi langsumg cabut."
Aku cuma ngangguk ngangguk aja. Lelaki yang sedang di sampingku ini susah sekali untuk membuka pembicaraan denganku. Sekali aku membuka, dia cuek sekali. Dasar lelaki!
KAMU SEDANG MEMBACA
W(A)ITING [ON EDITING]
Teen FictionHanya segelintir kisah penantian selama ini. Sedikit demi sedikit, hari demi hari, dirangkai menjadi satu. Rindu membelenggu, akan hadirmu. Empat tahun berpisah, dan kini kamu kembali, merubah status kita. Menjadi lebih jelas. Lalu kemudian, kau leb...