Waktu bisa disebut berharga saat kita bisa mengatur waktu dengan baik. Terutama, dengan keluarga.
-
PASTA gigi masih terasa di sela-sela gigi dan gusiku. Mungkin karena air tiba- tiba mati membuat kumurku tidak maksimal. Menyebalkan, masih pagi sudah ada-ada saja.
Kamarku harus selalu rapih. Buku yang semalam kubuat bantalan saat Alvaro menelfonku sudah kubereskan rapih.
Faktanya hari ini aku harus menuju sekolah untuk mengambil data-data persyaratan pendaftaran. Namun aku sangat malas karena badanku terlalu pegal pegal. Salah posisi tidur memang mengakibatkan badanku rasanya nggak enak banget!
"Vio, bangun nak. Buruan mandi."
Sudah. Setiap pagi kata-kata mamaku hanya itu yang keluar.
Nggak peduli aku sudah bangun ataupun belum, terlambat? Itu konsekuensimu karena nggak bisa tanggung jawab sama diri sendiri.
"Pagi ma."
Kursi di bagian paling ujung kupilih untuk sarapan pagi ini. Aku melihat topi berwarna hitam dengan nama 'Prima Kurniawan'.
Jantungku berdegup berkali lipat, ini artinya, ayahku sudah sampai di rumah setelah sekian lama memutari belahan dunia di atas awan.
Ayahku tegas. Pemarah. Aku bener-bener nggak berani kalau sudah dihadapkan dengan beliau. Kata mama, ia sangat pantas jika dijadikan panutan.
"Nggak usah takut, dek."
"Iya Vio, ih, ayah nggak gigit."Mama dan abang bergantian untuk memberi semangat. Tapi tetap saja, melihat topinya saja sudah menciut nyaliku, apalagi harus berhadapan?
"Ayah lagi dimana, ma?"
"Masih mandi. Kamu mau dianterin sama ayah?"
"Nggak-nggak. Takut Vio ma. Hari ini kan nem-nya keluar, nanti ayah marah sama Vio."
"Terus mau berangkat sama siapa? Abang mau ke kampus."Aku menolehkan kepala sambil menatap dengan mata intimidasi. Di sana abang cuma ngelihat sama cengar-cengir, kayak nggak punya dosa aja. Padahal ia berjanji akan mengantarku!
"Maaf dek, dosennya baru ngabarin."
Selalu saja, padahal aku ini tahu-menahu kalau ia akan berkencan dengan kekasihnya. Si cabe-cabean yang nggak pernah ku sukai sejak tahun lalu.
Kudengar suara kenop pintu dibuka lalu ditutup kembali. Langkah kaki yang tenang tapi tegaa bisa ku rasakan dari kursi tempat makan ini.
Ditariknya kursi paling ujung, saling berhadapan dengan kursiku saat ini, "ayo-ayo, dimakan sarapannya."
Dahiku berkerut seketika. Itu adalah kata-kata sakral yang artinya 'akan terjadi apa-apa'. Menurut beliau, sesuatu yang nggak usah pakai diperintah harusnya bisa dilakukan langsung tanpa perintah.
"Nanti Vio berangkat sama ayah ya ?" Tak bisa berkutik, aku hanya bisa mengangguk dan menghela nafas.
-
"Nem-nya udah keluar dek?"
"Belum, yah."
"Kapan?"
"Ini nanti mau ambil surat keterangan hasil lulus, sekalian pengumuman nem."
"Ooo, yaudah."Kami terdiam. Ayahku selalu sibuk dengan pekerjaannya yang membuatku tak bisa berlama-lama dengan beliau. Hal ini juga menurutku sangat pengaruh sama kedekatan kita, seperti saat ini. Tegang banget rasanya padahal jarak sekolah sama rumahku nggak begitu jauh.
"Adek udah punya pacar?"
Aku terdiam lagi. Masa iya harus laporan?!
"Dek?" ucapnya lagi.
"Eh iya, yah, belum, adek belum punya pacar."
Sorry Al, not now, maybe tomorrow.
"Jangan pacar pacaran dulu, masih kecil, kalau udah bisa cari uang, baru deh kamu sesuka hati pacaran."
"Kenapa gitu ?"
"Nanti kalau udah putus..."
"Iya... terus yah?"
"Kamu pasti nyesel, udah ngeluarin uang dari orang tua dengan percuma."
"Walaupun aku cinta?"
"Iya, walaupun kamu cinta."
***
HAI! AKU BINGUNG BANGET MAU YPDATE GIMANA.
GAPAPA YA WALAUPUN SHORT WKWKWK.
KALIAN SUKA SIAPA GAIS?
ENAKNYA VIO SAMA ALVARO DILANJUT NGGA YA ?
JANGAN LUPA VOTE
xx
KAMU SEDANG MEMBACA
W(A)ITING [ON EDITING]
Teen FictionHanya segelintir kisah penantian selama ini. Sedikit demi sedikit, hari demi hari, dirangkai menjadi satu. Rindu membelenggu, akan hadirmu. Empat tahun berpisah, dan kini kamu kembali, merubah status kita. Menjadi lebih jelas. Lalu kemudian, kau leb...