"Hei! kita mau kemana sih?"
Dia benar-benar membawaku kabur.
Oh, demi Dewa Neptunus, kenapa aku baru menyadarinya sekarang? kami mengendap keluar dengan menggunakan pintu belakang sekolah—aku baru menyadari ada pintu belakang—dan sekarang kami sudah berada lumayan jauh dari kawasan sekolah.
Bahkan tasku masih berada di sekolah, bagaimana ini? ini pertama kalinya aku bolos. Tidak, lebih tepatnya diculik secara paksa oleh cowok bertubuh jangkung di hadapanku ini.
"Heii! Ish! Lo mau bawa gue kemana sih?" tanyaku sekali lagi.
Tiba-tiba ia berhenti dan berbalik menatapku, "Ra-ha-si-a."
"Ihh! Apaan sih! Gue ga pernah bolos tau ga! Gimana nanti kalau—oh, jangan-jangan lo mau nyulik gue ya?" tukasku menyipitkan mata curiga.
Ia menatapku sebentar, lalu tertawa terbahak-bahak. Aku berkacak pinggang jengkel melihatnya. Namun, seakan tidak melihatku, ia mengambil ponsel dari saku celananya dan menelepon seseorang.
Selesai menelepon, ia menoleh ke arahku dan tersenyum manis. "Tiga jam aja, oke? Kita bakal balik ke sekolah sebelum lonceng pulang, jadi gausah takut tentang guru atau apalah itu. Lupain aja buat tiga jam ini."
Seakan terhipnotis dengan senyumnya, aku mengangguk. Entah kenapa, sebagian tubuhku sangat menantikan waktu yang akan kami lewatkan.
Ah, tidak. Bukan sebagian, tapi hampir seluruh bagian tubuhku.
Tak berapa lama kemudian, sebuah motor ninja berhenti di depan kami. Pengendara motor itu turun dan melepaskan helm nya. Ia berambut cepak dan memiliki tato di sekujur tangannya.
Ia ber-highfive dengan cowok menyebalkan disampingku ini dan menyerahkan sebuah kunci dan helm kepadanya.
"Thanks yo, bro," ujar Tuan Hujan.
"Lo selalu bisa ngandalin gue, bro. Btw, siapa nih?" cowok bertato itu melihat ke arahku. "Pacar lo?"
Yang ditanya cuman mengedikkan bahunya dan itu membuatku meliriknya heran. Kenapa ia tidak mengelak?
"Eh, bukan, gue bukan pacarnya," sergahku cepat.
"Yaudah, cabut gih lo! gangguin aja." sahut Tuan Hujan terdengar ... kesal?
"Kok lo malah marah?" tanya cowok bertato itu. Namun, melihat yang ditanya melihatnya tajam, ia segera mengangkat kedua tangannya di atas. "Oke... oke... gue cabut. Jangan lupa sekalian isi bensinnya."
Begitu orang itu pergi, cowok di sampingku ini langsung menaiki motor ninja itu dan memakai helm nya. Ia menyodorkanku helm dan mengisyaratkanku untuk ikut naik.
Ragu-ragu, aku menerima sodoran helm itu dan memakainya. Kemudian, aku menaiki motor besar itu dengan sedikit kelimpungan.
"Pegangan," perintahnya.
Aku yang tidak tahu harus pegangan dimana—karena motor ini tidak memiliki pegangan—lantas hanya memegang erat bahu cowok yang duduk di depanku ini.
"Udah siap? Let's go!" katanya lalu menancapkan gas dan melaju kencang. Sangat kencang.
Tindakan itu membuat tubuhku sedikit terhuyung dan refleks memeluk punggungnya. Wangi parfum Tuan Hujan langsung menusuk indra penciumanku. Dan entah kenapa, wangi ini membuatku merasa tenang, damai, dan nyaman.
Aku tidak tahu kemana ia membawaku, tetapi ia mengendarai motor besar ini dengan sangat-sangat cepat sehingga membuatku memekik ketakutan.
Dia tidak memelankan motornya malah menggenggam tanganku yang melingkar sempurna di punggungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Pouring Rain
Teen FictionSalahkah bila hati telah memilih? Salahkah bila hati mulai berpaling? Salahkah bila hati mulai berkhianat? Kau, aku, dan dia. Jika cinta sudah memutuskan, apa yang bisa kita lakukan? Bertahan dengan kau yang selama ini berdiri tegap di sampingku, At...