Aku menatap seorang gadis berambut panjang dan bertubuh mungil di hadapanku. Ia mengenakan sebuah terusan bermotif bunga-bunga di bagian bawah roknya. Rambut panjangnya ia biarkan terjuntai indah kebawah dihiasi sebuah bando putih yang selaras dengan warna bajunya.
Gadis yang berada di dalam pantulan kaca itu adalah aku sendiri. Hari ini aku akan bermalam minggu dengan Davin ke bioskop. Sesuai dengan permintaannya, aku berdandan cukup cantik malam ini. Meskipun, kebiasaan gayaku juga seperti ini.
Aku melirik arloji di pergelangan tanganku, sebentar lagi Davin akan menjemputku. Sekali lagi, aku memangut-mangut di depan cermin, membenarkan tatanan rambutku.
Tiba-tiba, pintu kamarku diketuk dan terbuka sedikit. Aku menoleh dan melihat Mama sedang berada di pintu kamarku.
"Kugy, udah selesai belum, nak? Itu Davin udah nungguin di bawah," kata Mama sambil mengancungkan jari telunjuknya ke arah bawah.
"Udah kok, Ma. Ini baru aja siap."
Aku melangkah ke arah pintu dan siap turun ke bawah dengan Mama di sampingku. Sesampainya di bawah, aku sudah melihat Davin tengah duduk mengobrol santai dengan Papa di ruang tamu.
"Eh, itu Kugy udah turun," ujar Papa menyadari kehadiranku.
Davin berdiri ketika ia melihatku, aku melangkah kesebelahnya dan berpamitan dengan kedua orangtuaku.
"Pa, Ma, Kugy pamit ya," pamitku sambil mencium tangan Papa dan Mama bergiliran.
"Om, Tante, saya izin bawa anak kalian yang cantik ini dulu ya," pamitnya sedikit menggodaku. Papa dan Mama hanya tersenyum simpul dan menganggukkan kepala.
"Jangan malam kali ya pulangnya," kata Papa. Kemudian ia menatap Davin dan menepuk pundaknya. "Jaga anak om baik-baik."
"Siap, Om," balas Davin mantap.
***
"Makan dulu, yuk?"
Film yang akan kami tonton masih sekitar 45 menit lagi. Daripada duduk terbengong-bengong di bioskop, Davin mengajakku untuk makan di foodcourt dulu. Karena aku juga belum makan malam, aku mengiyakan saja ajakannya itu.
Setibanya di foodcourt, kami agak kesusahan mencari meja karena suasana yang sangat ramai, setelah mencari agak lama, kami mendapat meja kosong, itu pun di ujung sana.
"Kamu mau makan apa?" Tanya Davin begitu aku duduk.
"Biasa," jawabku singkat.
"Nasi goreng seafood dan jus avokad?"
Aku mengangguk. Hanya itu yang selalu kupesan setiap kali kami makan di sini.
Setelah Davin beranjak pergi, aku menunggunya sambil sesekali memainkan ponselku. Membaca e-book, bermain riddle dan Sudoku. Entah kenapa, aku suka permainan yang memutar otak.
Setelah itu, aku mengalihkan pandanganku ke sekitar, ada yang tengah berkumpul dengan keluarga, ada yang sedang berpacaran, ada juga yang duduk sendirian.
Aku juga melihat ada segerombol cowok yang kira-kira seumuran denganku masuk mencari tempat duduk. Aku baru saja hendak memainkan ponselku kembali ketika aku melihat seorang cowok jangkung beralis tebal tengah mengobrol santai dengan rombongannya itu.
Dia...
Dia Tuan Hujan.
Kemudian-entah disengaja atau tidak-tatapannya beralih kepadaku. Dia sempat terkejut, tetapi sebuah lengkungan keatas tercetak jelas di bibirnya.
Dia. Tersenyum. Kepadaku.
Lagi tepatnya, seperti disaat hujan itu.
Aku sempat terkesima sejenak lalu membalas senyumannya walau sedikit kikuk.
Drrtt..drrtt.. ponsel yang berada dalam genggamanku bergetar pertanda ada pesan yang masuk.
From : Tuan Hujan
Lo ada disini juga? Kebetulan ya. Btw, gue seneng bisa ketemu lo lagi.
Aku sedikit terbelalak melihat isi pesan pendek itu, namun aku lantas mengetikkan beberapa kata sebagai balasan.
To : Tuan Hujan
Iya. Itu gerombolan semua geng elo?
Sent. Aku memilih untuk tidak menjawab perkataannya karena jujur aku terlalu malu untuk mengungkapkan bahwa ada sedikit rasa senang bertemu dengannya disini.
Drrtt..drrtt.. 1 pesan masuk lagi.
From : Tuan Hujan
Ya ga sampe di blg geng sih, cuma temen kumpul gitu. Kenapa? Lo mau nemenin gue disini?
Aku mendelik membaca pesan itu dan melirik tajam ke arahnya—yang hanya berjarak tiga meja di depan dari mejaku—sedangkan yang dilirik cuman nyengir tak berdosa.
Baru saja aku hendak membalas, terdengar suara decitan kursi ditarik dari arah berlawanan dari tempatku. Aku mengadah dan mendapati Davin duduk dan terdapat beberapa bon pembayaran di tangannya.
"Sms dari siapa itu, Gy?" tanyanya sambil mengedikkan kepalanya ke ponselku.
Aku berpikir sejenak, "Dari... teman?" sepertinya itu lebih mirip dengan pertanyaan daripada pernyataan. Tapi aku juga tidak tahu siapa yang tengah ber-sms denganku dari tadi.
Teman? tau namanya saja tidak. Kenalan? entahlah, kami hanya dipertemukan dan aku hanya seperti 'penolong kecil' untuknya. Selebih itu? kami hanya orang asing. Kurasa.
"Bener dari temen?" tukasnya. "Kok kamu kelihatan ragu?"
"Mmm..." Aku mengetukkan jari telunjukku di atas meja, "Kayaknya lebih cocok kenalan aja, deh."
Mungkin saja kami memang lebih dari orang asing, tapi kami juga tidak lebih dari sekedar kenalan. Dan kata 'teman' juga terlalu jauh untuk seseorang yang bahkan tidak kuketahui namanya.
Davin hanya beroh-ria, tidak bertanya lebih jauh lagi.
Ragu-ragu, dalam diam, aku mecoba melihat kearahnya lagi. Dan ternyata, sepasang mata hitam bak elang itu juga tengah menatapku. Dengan cepat, aku membuang pandanganku ke sembarang tempat. Merasa malu karena tertangkap basah.
Tetapi, entah perintah dari otak atau dorongan hati, aku mengintip ke arahnya lagi. Dan yang kulihat adalah ia masih menatapku, namun kali ini ia kembali tersenyum. Senyum lebar yang—entah kenapa—terlihat manis sehingga menampakkan kedua lesung pipinya.
Lagi-lagi, ia tersenyum kepadaku.
Apa selain mempunyai senyum bak mentari, ia juga memiliki senyum seperti coklat yang melelehkan hati?
***
Hai!
Sorry baru update sekarang, authornya lagi sibuk belakangan ini hihi.
Kenapa gue blg senyumnya seperti coklat? Karena menurut gue coklat itu melelehkan hati *eeeaakk.
Okay, kritik dan sarannya ya kakaks.
Dadahhh❤
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Pouring Rain
Novela JuvenilSalahkah bila hati telah memilih? Salahkah bila hati mulai berpaling? Salahkah bila hati mulai berkhianat? Kau, aku, dan dia. Jika cinta sudah memutuskan, apa yang bisa kita lakukan? Bertahan dengan kau yang selama ini berdiri tegap di sampingku, At...