viii. Kebohongan Beruntun

304 20 9
                                    

..cause it would take a whole lot of a medication, to realize what we used to have we don't, have it anymore...

Samar-samar, aku mendengar lagu It Will Rain dari penyanyi favoritku, Bruno Mars. Tetapi, siapa yang memainkannya?

Perlahan, aku membuka kelopak mataku dan mengerjap sebentar. Aku melihat ke arah meja kecil di sebelah tempat tidurku, dimana lantunan lagu itu berasal.

Ternyata ponselku yang berbunyi, aku melirik ke arah jam weker di sebelahnya. Ternyata masih jam 12:05 tengah malam. Ya Tuhan, siapa yang menelepon tengah malam begini?

Aku mengambil ponsel yang masih setia berdering dan langsung mengangkatnya tanpa basa-basi.

"Halo?" ujarku serak khas orang baru bangun tidur. Sedikit sinis karena tidur nyenyakku terganggu.

"Happy 3rd aniversarry Kugy sayang!" seru seseorang dari seberang.

Aku sempat melongo sebentar, aku hapal benar dengan suara ini, suara Davin.

"Davin?" tanyaku memastikan. Kenapa ia meneleponku tengah malam begini?

"Iya, ini aku. Masa kamu lupa sama suaraku?"

Aku tahu. Tapi aku hanya memastikan, takutnya salah orang di tengah malam begini. Tapi apa katanya tadi? Happy 3rd anniversary?

Aku memutar otakku, berusaha mengingat tanggal berapa hari ini.

Oh! 24 Juni. Tanggal hari jadian kami tiga tahun yang lalu. Kenapa aku bisa melupakan hari penting ini?

"Kugy?"

"Oh iya, Happy 3rd anniversary too, Davin." Aku menegakkan punggungku sehingga menjadi posisi duduk.

"Kamu lupa, ya?" tanyanya membuatku skakmat.

"E-enggak kok." Bohong. Aku benar-benar melupakan hari ini. Kebohongan pertamaku.

"Biasanya kamu yang ngucapin anniversary pas tengah malam, cuman dari tadi aku nungguin, kamu ga telepon-telepon juga. Jadi, aku yang telepon kamu deh," jelasnya tanpa membalas kebohonganku tadi.

"M-mungkin aku kelelahan, iya, kelelahan. Maaf, ya," ucapku berbohong lagi. Ya Tuhan, ini sudah kedua kalinya aku berbohong.

"Gapapa kok, aku ngerti. Hari ini jalan yuk, kebetulan hari ini hari Minggu."

Davin ... aku berbohong kepadanya, tetapi ia mengerti diriku.

"U-uh. Iya, yuk," jawabku sedikit kikuk.

"Hari ini aku jemput ya, jam 12 siang. Seperti biasa, dandan yang cantik-eh, tapi kamu memang cantik kok."

"Eh? I-iya." Entah kenapa kali ini, aku tidak tersipu dengan omongan polosnya. Davin tidak pernah menggombal, ia hanya mengatakan apa yang dipikirannya.

"Oke, aku tutup ya. Goodnight, sweetheart. Have a sweet dream, kalo bisa mimpiin aku, ya!"

"Hm, goodnight and sweetdream too." Aku memutuskan percakapan via telepon kami dan meletakkan ponsel itu di meja kecil sebelah tempat tidurku.

Tanpa sengaja, mataku menangkap topi putih yang terpampang manis di pojok meja belajar. Masih teringat jelas, hampir setiap hari aku memandangi topi itu lama sebelum aku beranjak tidur.

Nathan. Nama yang baru kuketahui 2 hari yang lalu itu kembali merasuki pikiranku. Kali ini, aku tersenyum lagi mengenangnya. Dia masih setia mengirimiku pesan. Sms yang sering kali membuatku senyum tak terkira.

In The Pouring RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang