ii. Tuan Hujan

655 48 26
                                    

Aku melihat beberapa orang sedang bermain sepak bola di lapangan. Mereka menendang, mengoper, menyundul, dan menggiring bola. Tanpa mengenal panas atau terik yang menyengat kulit, mereka tetap bermain. Menyisakan peluh-peluh keringat di sekujur tubuh mereka.

Bukankah itu keren?

"Kugy?" seseorang menyentuh permukaan tanganku.

"Y-ya?" jawabku spontan.

"Kamu dengerin aku ngomong nggak sih dari tadi?" tukas seseorang di hadapanku. Wajahnya tampak sedikit jengkel bercampur kesal.

Aku menyengir lebar. "Sorry deh, emangnya kamu ngomongin apa tadi?"

Ia tampak memberengut dan mengikuti arah pandanganku tadi, ke lapangan.

"Emangnya sejak kapan kamu tertarik sama sepak bola?" simpulnya kepadaku dengan wajah heran.

"Enggak kok, aku cuman merasa itu keren aja." Aku tertawa kecil, tetapi ia masih melihatku dengan tatapannya yang heran itu.

Ia tampak berpikir sebentar dan mengeluarkan dua tiket bioskop dari saku bajunya.

Paper Towns.

Mataku membulat sempurna ketika melihat tiket film dari adaptasi novel karya John Green itu. Aku sudah menunggunya sejak lama.

"Nonton, yuk?"

Tanpa sadar, aku sudah mengangguk bebas. Tanganku menggapai kedua tiket itu. Tiket untuk malam ini, tepat saat malam minggu.

"Makasih banget Vin, aku udah lama kali nungguin film ini keluar," pekikku senang.

Davin tersenyum dan mencubit pipi kananku. "Aku tau kamu suka baca novel dari film ini berulang-ulang. Jadi, pas filmnya keluar, aku udah buru-buru beliin. Jam tujuh nanti aku jemput ya, jangan lupa dandan yang cantik."

Aku mengangguk sekali lagi. Davin adalah pacarku. Kami sudah berhubungan 2 tahun lebih, sejak kelas 2 SMP. Dan seminggu lagi, hubungan kami resmi 3 tahun. Tentu saja, ia adalah pacar yang sangat baik, pengertian, dan sabar.

Davin bukanlah cowok the most wanted di sekolah seperti tokoh novel-novel yang sering kubaca, ia juga bukan cowok yang memiliki tampang seperti aktor Korea dan Hollywood yang sering kutonton. Ia juga bukanlah cowok seromantis di dunia, yang akan memberimu sebuket bunga saat anniversary atau valentine.

Ia hanya seorang Davin dengan tatapan sendunya yang menenangkan walau kadang terhalang oleh kacamata bertangkai hitam yang bertengger manis di pangkal hidungnya.

Ia hanyalah seorang Davin. Davin yang cuek, dingin, dan pendiam kepada semua orang tetapi hanya cerewet dan bawel denganku seorang.

Satu hal yang paling kusukai darinya.

Kenyamanan.

Rasa nyaman yang selalu ia taburkan di sekelilingku.

Setidaknya, semua itu sudah cukup bagiku.

***

Apa yang dilakukan orang di hari Sabtu setelah pulang sekolah? jalan-jalankah? Shopping kah? Atau nge-date? mungkin-mungkin aja.

Tapi tidak denganku, cuaca yang sangat terik ini memaksaku untuk tetap berada di dalam rumah.

Seperti sekarang, aku hanya terfokus pada novel Eleanor and Park di genggamanku ini, dengan sereal dan susu sebagai cemilan. Hah~ sangat menenangkan.

If you ever leave me, baby.
Leave some morphine at my door...

Suara lantunan it will rain dari Bruno Mars memecahkan konsentrasiku. Aku meraih ponsel yang terletak di ujung meja belajar, siapa yang menelepon?

Aku melihat layar ponsel, ternyata nomor asing. Diangkat ga ya? Aku mengetukkan jari telunjukku di atas meja seraya menimang-nimang. Angkat aja deh, mana tau penting.

"Halo?"

"Halo," sapa seseorang dari seberang. Dari suara beratnya, aku tahu ini suara laki-laki.

"Ini siapa ya?" tanyaku gusar.

"Ini gue, cowok yang lo minjemin hp nya waktu itu," jawabnya santai.

Mataku terbuka lebar, dia..

"...tuan hujan?" kataku tanpa sadar.

"Hah? Lo bilang apa tadi?"

"Eh? e-enggak, enggak!" Aku berhenti sebentar, mengontrol rasa malu yang terbendung. "Dari mana lo dapat nomor hp gue?"

"Rahasia," jawabnya singkat.

Aku mengerutkan dahiku heran. "Jadi... kenapa nelepon gue?"

"Lagi pengen aja, emangnya ga boleh?" terselip nada geli saat ia mengucapkannya.

"Ya bukan gitu sih, tapi kan–"

"Oh, buat disimpen juga," potongnya cepat.

"Apa? Tapi—Eh! Tunggu-tunggu," sergahku mengingat sesuatu. "Nama lo siapa? Trus itu topi lo-"

"Buat aja namanya orang ganteng atau cowok kece–"

Tiba-tiba saja suaranya berhenti. Aku melihat layar ponselku, masih tersambung dengan nomornya kok. Lalu aku mendekatkannya ke telinga lagi. Terdengar suara omelan ibu-ibu dan berikutnya tidak terdengar suara apapun lagi.

Tutt..tut.... Teleponnya dimatikan sepihak. Aku mendelik melihat layar ponsel yang kini telah memunculkan lock screen. Cowok itu...

Bagaimana caranya ia bisa mendapatkan nomor hpku? Yang kutahu, aku tidak pernah sembarangan memberikan orang nomor hp. Kontak di ponselku kurang lebih hanya ada belasan orang.

Aneh, sungguh aneh.

Tetapi, alih-alih menghapus nomor asing itu, aku justru menyimpannya.

Oh iya? Namanya siapa? Ya Tuhan..

Karena aku masih tidak mengetahui namanya, aku menamainya dengan sebutan khusus.

'Tuan Hujan'

Klik. Save.

Sekarang, aku justru tersenyum bodoh memandang nomor cowok asing itu dan melupakan dunia imajinasiku tadi sementara.

In The Pouring RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang