Dua hari telah berlalu sejak perayaan hari jadianku dan Davin. Dan kini, aku masih diliputi rasa bersalah yang sangat besar. Rasa bersalah karena telah berbohong sedemikian rupa kepada Davin.
Kejadian hari itu juga menyadarkanku pada sesuatu. Kejadian mengapa aku bisa lupa hari jadian kami, mengapa aku tidak lagi berdebar-debar melihatnya, mengapa ia tidak lagi menjadi prioritas pikiranku lagi.
Semua perasaan yang aku punya kepada dia tiga tahun ini telah padam, menghilang begitu saja.
Dan aku juga menyadari penyebab dari perubahan keadaan hati itu.
Dia. Dia yang kutemui dibawah derasnya hujan saat itu, dia yang usil namun memiliki senyum sehangat matahari dan semanis cokelat, dia yang datang tanpa diundang lalu tiba-tiba saja hatiku sudah direbut olehnya.
Hanya ada satu. Nathan.
Dan aku sangat bodoh baru menyadarinya sekarang.
"Gy!" panggil seseorang sambil menepuk bahuku.
Suara itu, suara orang yang baru saja terlintas dalam pikiranku.
Namun, aku tetap berbalik. "Ya?"
Di hadapanku, terdapat Nathan dengan senyum hangatnya dan wajah yang dipenuhi oleh peluh keringat.
"Ikut gue bentar, yuk?"
Aku mengernyitkan dahiku, "kemana?"
"Ke belakang sekolah aja kok, ada yang mau gue omongin," ujarnya santai.
Aku tidak bisa menebak apa yang mau dia bicarakan. Dan, akal sehatku menyuruhku untuk menolak ajakannya karena aku tetap menemui Nathan di belakang Davin ketika aku sudah menyadari perasaan terlarangku ini. Hari ini Davin tidak masuk, sakit kata mamanya. Setelah ini, aku memang berencana untuk menjenguknya.
Hatiku berkata sebaliknya, ada sesuatu dalam diriku yang mendorongku untuk mengiyakan ajakan Nathan.
"Gy?"
Aku tersentak, terbangun dari lamunanku. Dan aku masih tidak tahu harus menjawab apa.
"Ayolah, cuman bentar doang kok. Nanti, gue anterin lo pulang deh."
Aku terdiam, masih bingung harus memilih antara akal sehat atau hati.
"Lo kelamaan mikir," tukasnya sambil menarik tanganku---namun tidak mencengkram---pergi dari halaman sekolah.
"Ih, Nathan, gue 'kan belom memutuskan sih," ujarku sambil berusaha memberontak.
Meski hatiku berdebar-debar dan darahku berdesir, akal sehatku masih bekerja.
Nathan tidak memedulikan ocehanku, ia tetap menarikku ke belakang sekolah.
Setelah sampai, ia melepaskan genggamannya. Sementara aku mendecak sebal.
"Kebiasaan ya lo, suka tiba-tiba narik orang gitu aja." Aku melihat sekeliling, memang tidak ada orang disini, mungkin mereka telah pulang ke rumah masing-masing. Atau, bisa dibilang hanya ada kami berdua.
"Gapapa, asal orang yang gue tarik itu elo bukan orang lain." Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.
Aku terdiam, ucapannya itu membuat wajahku memerah dengan sendirinya.
"Gombal," cicitku nyaris tak terdengar.
"Gapapa, asal orang yang gue gombalin itu elo," balasnya lagi.
Aku menunduk lagi lebih dalam, menyembunyikan wajah kepiting rebus ini. Duh, Nathan, kenapa aku harus 'jatuh' kepadamu?
"T-trus, apa yang mau lo omongin?" tanyaku setelah memberanikan diri bertatap wajah dengannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/52903430-288-k406260.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
In The Pouring Rain
Genç KurguSalahkah bila hati telah memilih? Salahkah bila hati mulai berpaling? Salahkah bila hati mulai berkhianat? Kau, aku, dan dia. Jika cinta sudah memutuskan, apa yang bisa kita lakukan? Bertahan dengan kau yang selama ini berdiri tegap di sampingku, At...