xi. Bersama

345 21 15
                                    

"Kamu sama Davin putus, ya?"

Kugy mengangguk pelan, "hm."

Mama Kugy menghentikan gerakan sayatan pisaunya. "Siapa yang putusin?"

"Davin, ma," jawab Kugy lesu. Ia sedang tidak mau membicarakan hal ini.

Mama berbalik, menghadap anaknya yang sedang makan itu. "Kenapa? Apa ini ada hubungannya dengan kamu yang sering mantengin layar hp sambil senyum-senyum enggak jelas dan telepon kamu tengah malam itu?" tanya mama beruntun.

Kunyahan mulut dan gerakan sendoknya terhenti. Ia melirik mamanya gusar.

"M-maksud mama apa sih?" Bola mata Kugy berkeliaran kemana-mana, tidak berani menatap lurus mamanya.

"Jangan bohong, Kugy. Sekarang, jujur sama mama, apa kamu selingkuh di belakang Davin?"

Kugy menelan ludahnya dengan susah payah. Kemudian, berucap lirih, "iya, ma."

Tiga belas hari sudah berlalu sejak putusnya hubungan Kugy dan Davin. Dalam kurun waktu satu hari saja, semua orang pasti sudah tahu ketika melihat pasangan yang setiap hari melekat seperti perangko itu tidak bersama lagi.

Kugy hanya berkata putus ketika ditanyai oleh teman-temannya, tidak bercerita lebih jauh lagi. Sedangkan Davin memilih untuk diam, tidak mau menjawab apapun.

Mereka berdua masih bisa saling melempar senyum. Tapi, tidak ada sepatah katapun yang terlontar dari bibir mereka.

Kugy tersadar, selain kehilangan pacar, ia juga kehilangan sahabat terbaiknya. Tetapi, berpisah jauh lebih baik dibandingkan tetap bersama namun dipenuhi oleh kebohongan.

"Kenapa kamu bisa selingkuh, sayang? Mama tahu kamu bukan orang seperti itu."

"Aku ga tahu, ma," jawab Kugy sambil menggeleng pelan, "semua ini terjadi begitu saja, ma."

"Ga ada sesuatu yang terjadi begitu aja, Kugy sayang. Ini semua itu jalan takdir," ucap mama. "Mama memang agak kecewa karena kamu bisa hianatin anak sebaik Davin, tapi mama tahu kamu udah bisa nentuin pilihan kamu sendiri."

Setelah mengucapkan hal itu, Mama kembali berkutat dengan masakannya. Meninggalkan Kugy yang termenung di tempatnya.

***

Davin benci ini. Ia tidak suka melihat wajah Kugy yang selalu ditekuk seperti itu. Kugy yang dikenalnya adalah Kugy yang cerewet, bawel, dan periang. Bukan orang yang duduk muram di depannya ini.

Ia sudah melepaskan dia, namun kenapa ia tidak mengejar kebahagiaannya? Kemana pula cowok itu?

Davin menggeram pelan, ia tidak bermaksud untuk mengabaikan Kugy. Tapi, setiap kali ia bertatap wajah dengan gadis itu, rasa sakit itu selalu kembali menghantam dirinya. Mengantarkannya kembali dalam ingatan yang masih membekas di dalam benaknya.

Davin masih berpikir mungkin Kugy dan cowok itu-Nathan masih memerlukan waktu. Tetapi, rupanya cowok itu tidak menangkap sinyalnya dengan baik.

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Davin buru-buru bangkit dan berjalan menuju markas kelas 2, dimana kelas Nathan berada.

Beberapa siswa sedang berhamburan keluar, membuat Davin sedikit kewalahan menembus semua orang itu. Akhirnya, ia memilih untuk menunggu orang-orang lewat itu sebentar.

Beberapa waktu setelah koridor mulai sepi, Davin melangkah cepat ke kelas Nathan. Dan ia melihatnya disana, masih berada di dalam kelas bercengkrama dengan gengnya.

Tanpa permisi, Davin menyeruak masuk ke kelas mereka. "Gue ada perlu bentar sama lo." Ia menatap lurus ke arah Nathan.

"Eeiitss, siapa nih? Adek kelas? Mau nantangin kakak kelas lo? Udah berasa kuat?" Salah satu kawan gengnya maju dan menantang Davin.

In The Pouring RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang