Aku tak percaya pada pemandangan di hadapanku. Rupanya hari terakhirku di Jakarta sebelum kepindahanku ke Sorong besok adalah hari keberuntunganku. Aku tak menyangka bisa bertemu kembali dengan dia. Dia-meminjam judul novel jadul favorit pamanku-si makhluk manis dalam bis.
Dia hanya beberapa langkah di depanku. Duduk tepekur sibuk dengan hapenya. Rambut panjangnya dibiarkan jatuh di depan wajahnya. Ia berkacamata dan memakai masker. Rasanya waktu pertama kali jumpa dia pun selalu memakai masker.
Aku jadi penasaran, kenapa dia selalu memakai masker. Apakah memang rentan dengan udara berpolusi Jakarta ini? Atau biar ga ketauan ngiler pas ketiduran di bis? Aku mencuri-curi pandang ke arahnya.
Hei, gadis manis berkacamata! Lihat ke sini dong! Jangan pandangi hapemu terus. Ah, aku jadi ingin ganti posisi jadi hapemu. Biar bisa kamu pegang, pencet dan pandang terus. Astaghfirullah! Apa yang aku pikirkan ya Allah.
"Mas, bisa saya duduk? Rematik saya kumat." Seorang Bapak sebaya bapakku mendekatiku dan membuyarkan lamunanku. Aku langsung berdiri dan mempersilakan duduk.
Pandanganku masih terarah pada gadis manis berkacamata. Siapa ya kira-kira namanya? Kalau dia buka maskernya, apakah senyumnya manis?? Firasatku mengatakan senyumnya manis. Dan firasatku biasanya selalu benar.
Ah, halte tujuanku terlewat. Sudahlah. Aku lebih penasaran halte tujuan si gadis manis berkacamata. Hei gadis! Jangan-jangan namanya Gadis? Atau aku dekati dan ajak berkenalan saja? Tapi kalau dia malah mengira aku copet bagaimana? Walaupun aku ganteng dan bertampang alim, hidup di ibukota susah. Banyak penjahat yang juga bertampang ganteng dan alim. Kira-kira dia masih jomblo ga ya? Kalau masih jomblo, mau LDRan ga ya? Seribu macam pertanyaan berkecamuk di pikiranku.
Tiba-tiba dia mengangkat hapenya. Aku beringsut mendekati tempat duduk gadis itu perlahan, tidak terlalu dekat sih. Karena si gadis manis duduk di deretan terakhir kursi wanita. Aku mencondongkan tubuh dan menajamkan telinga, berusaha mencuri dengar percakapannya.
"Iya, Ma. Shania udah di bis. Mama tenang aja. Iya, nanti jemput di tempat latihan seperti biasa. Love you, Ma."
Oh... Rupanya namanya Shania...nama yang indah. Seindah kilauan di rambut panjangnya. Jadi pengen mengusap rambut panjang itu. Dia pakai shampoo apa ya? Cause she's shine bright like a diamond. Eh, Shania...ditulisnya Shania atau Sania?? Masa bodoh dengan itu. Yang penting aku sudah tahu namanya. From now on I'll chanting your name like a mantra...
Shania...Sania...Shania...Sania!! Lihatlah ke arahku! Ah, lagi-lagi dia sibuk dengan hapenya. Sesekali dia merapikan rambutnya. Matanya kadang menyipit kadang membelalak. Mungkin dia sedang main Let's Get Rich!
Atau jangan-jangan dia SMS/LINE/WA/BBM sama pacarnya? Makhluk manis macam Shania ga mungkin jomblo sepertinya. Eh, tapi kan bisa saja? Shania mengangkat teleponnya lagi. Aku kembali menajamkan telingaku.
"Halo, Beb? Iya ini masih kejebak macet. Gue udah di Polda. Apa? Naik busway gue. Elo sih Beb, ga mau jemput. Tahu deh, yang udah mahasiswa mah beda. Sibuk teroosss..."
HAH?! BEB?!! Ternyata Shania ga jomblo. Keberuntunganku rupanya berakhir di sini. Layu sudah cinta yang bahkan belum sempat bersemi. Tunggu...Cinta?
Kulihat Shania lagi...masih menerima telpon dari si Bebeb-siapapun itu-kekasihnya. Aku tak sanggup lagi mencuri dengar percakapan mereka. Shania berhenti menelpon saat bis berhenti di halte GBK. Dia turun dari bis. Aku hanya menatap kepergiannya.
Selamat tinggal, makhluk manis dalam bis hei Shania. Kau adalah hadiah kepindahanku yang termanis dan terpahit. Tunggu aku di Jakartamu lagi! Aku akan merebutmu dari Bebeb!!
(Terinspirasi dari Lupus karya Hilman dan curhatan seorang teman)
KAMU SEDANG MEMBACA
H-1
RandomKumpulan one shot (baca: cerita pendek-kadang sangat pendek) tentang segala hal yang terjadi sebelum hari H Tokoh utamanya kebanyakan BebNju