Sabtu sore yang kelabu. Hujan turun deras tiada henti sejak siang tadi. Doa jomblo yang terkabul, pikirku. Aku kembali sibuk dengan laptopku. Menyeruput kopi yang mulai dingin sambil sesekali melemparkan pandangan keluar jendela cafe.
Tiba-tiba sebuah tepukan kurasakan di pundakku. Aku menoleh, terkejut. Seolah melihat hantu atau makhluk halus yang sekonyong-konyong datang dan tiba-tiba muncul di hadapanku. Datang tak dijemput, pulang tak diantar. Eh, Jelangkung dong.
"Hei...apa kabar?" sapanya berusaha terdengar ceria. Dia. Seseorang dari masa lalu yang berusaha kukubur dan kulupakan, namun tak kunjung bisa kulakukan.
"Hai..." suaraku terdengar bergetar. Efek terkejut? Atau AC di sini terlalu dingin?
"Boleh gabung?" tanpa meminta persetujuanku, dia tiba-tiba menarik kursi dan duduk di depanku. Aku menutup laptopku. Memandang wanita di depanku. Matanya menyipit ketika kedua bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman. Senyum yang kurindukan.
Kuhitung sudah 10 menit berlalu sejak pelayan membawakan kami pesanan. Kami masih diam, meminum kopi masing-masing. Canggung.
"Aku gak tahu kalau kamu pulang ke Solo. Gimana Malang?" tanyanya memulai percakapan. Basa-basi tentu saja.
"Biasa, liburan akhir tahun. Besok balik lagi ke Malang pakai kereta dan Senin sudah mulai UAS. Kabarmu gimana, Shan?" akhirnya...bibir ini kembali mengucap namanya, setelah sekian lama.
"Kabarku? Ya begitulah, Be...eh, Bob." Rupanya kebiasaannya memanggilku dengan 'Beb' tidak hilang.
"Jadi beginilah rupamu sekarang!" aku mengamati Shania.
Shania tertawa, "Seperti apa? Tambah tua?"
Aku hanya tersenyum, "Kamu kan udah tua dari dulu!" dan Shania mendelik. Dalam hati aku berujar, "Kau tak banyak berubah. Masih tetap cantik dan memesona."
Entah siapa yang memulai, perlahan, kecanggungan di antara kami mulai mencair. Kami tiba-tiba asyik bercakap dan saling bersahutan dengan kalimat, "Tahu gak, kalau..." atau "Eh, kabarnya si..." seolah saling memberitahu masing-masing tentang keadaan kota, teman-teman SMA dan hal-hal yang kami tinggalkan sejak berpisah.
Berpisah karena keadaan, dan itu menyakitkan bagiku. Entah baginya, karena Shania lah yang meminta untuk berpisah. Sejak perpisahan kami, aku menutup seluruh akses kontakku tentangnya. Berharap dengan begitu aku bisa dengan mudah melupakannya. Meski terkadang timbul hasrat untuk mengetahui lebih jauh tentangnya saat tak sengaja aku membaca kabarnya dari status media sosial teman-temanku yang menyebut namanya.
Aku kembali menatap Shania. Pandanganku berpindah ke bibirnya. Apakah bibir itu masih lembut? Terakhir kali aku merasakan bibir itu terasa asin, saliva bercampur dengan air matanya yang tak henti mengalir saat kami berpisah dua tahun lalu. Ciuman pertama dan terakhir kami sekaligus ciuman perpisahan, di halaman belakang sekolah.
"Jangan menatapku seperti itu!" Shania mengibaskan tangannya di depanku. Benda berkilau di jari manisnya menarik perhatianku.
"Seperti apa rasanya menikah?" tanyaku tiba-tiba.
Shania terdiam, "Hmm..." dia tampak berpikir, "No spoiler, Bob! Kamu akan tahu rasanya setelah menikah!" lalu kembali menyeruput kopinya, menutupi kegugupannya, kurasa.
"Kalau begitu, carikan aku gadis baik yang layak jadi pendampingku." kalimat itu keluar begitu saja dari bibirku. Bagaimana aku bisa berkata seperti itu? Padahal yang ingin kukatakan adalah, "Kenapa kau tidak bisa menungguku? Kenapa kau tak yakin padaku?" Dan sejuta pertanyaan 'kenapa dan mengapa' yang lain.
"Apa di kampusmu di Malang tak ada gadis yang layak jadi pacarmu?" Shania tertawa.
Aku hanya bisa larut dalam tawanya. Hanya kau yang layak, Shania. Dan kau tiba-tiba meminta untuk berpisah. Aku hancur, Shania. Tapi aku tak bisa mengatakannya.
"Kamu bahagia dengan pernikahanmu?" satu pertanyaan konyol kembali meluncur dari bibirku.
Shania tampak terkejut. Ia menghela nafas pelan, menatapku dalam, sebelum mengangguk mantap. Tangannya terjulur menyentuh tanganku. Hatiku berdesir menerima sentuhannya.
"Aku bahagia, Bob. Suamiku mencintai dan memujaku. Dan kuharap kamu juga bahagia. Kita berhak atas itu."
Hening. Diam. Senyap. Shania menarik tangannya kembali. Aku menatap cangkir kopiku. Seolah-olah di dalam cangkir itu aku akan menemukan kebahagiaan.
"Oh ya, berapa nomor hapemu? Ada LINE? Siapa tahu aku bisa mengenalkan seseorang untukmu. Hei, kamu belum approve permintaan pertemananku!" Shania terus berbicara sambil mengeluarkan smartphone dari tasnya.
Rupanya kau sudah sepenuhnya melupakanku, Shan. Dan aku tertinggal jauh di belakang. Aku masih terjebak dalam bayang-bayang nostalgia dan masa lalu.
Saat menyebutkan nomor hapeku, sebuah suara bariton mengejutkan kami.
"Boby, kan? Benar rupanya. Apa kabar?" suara itu...
Lelaki itu menjabat tanganku lalu duduk di sebelah Shania sambil merangkul bahu Shania. Rasanya aku ingin melarikan diri dari tempat ini sekarang juga.
"Baik, Pak. Bapak sendiri apa kabar? Selamat atas pernikahannya. Maaf tidak bisa hadir di pernikahan Bapak dan Sha...Ibu Shania."
"Ya nggak papa. Bapak maklum kok, kamu kan kuliah di Malang. Gak nyangka lho bisa ketemu kamu lagi di sini."
"Iya, tadi aku ga sengaja ketemu Boby pas nungguin Mas. Lama banget sih jemputnya." Shania menimpali.
"Maaf, kalau gitu." lelaki itu mengusap kepala Shania, kemudian beralih menatapku.
"Jadi ingat ya dulu pas SMA kamu bandel setengah mati, suka ngisengin Ibu Shania yang guru magang di SMA kita. Sampai Bu Shania suka ngadu ke Bapak sambil nangis-nangis. Makasih lho ya, kalau kamu ndak gitu, mungkin Bapak ndak bisa dekat sama Ibu Shania setelah kamu lulus."
Shania menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Aku hanya bisa tersenyum getir. Shania, guru magang sekaligus mantan kekasihku. Terima kasih telah mengajariku tentang cinta.

KAMU SEDANG MEMBACA
H-1
RandomKumpulan one shot (baca: cerita pendek-kadang sangat pendek) tentang segala hal yang terjadi sebelum hari H Tokoh utamanya kebanyakan BebNju