Manusia

1.1K 51 0
                                    

Pohon-pohon menjulang tinggi, berjejer ditanah dengan tidak rapi. Sesekali semilir angin meniupkan dedaunan yang menguning. Ini bukan musim gugur, hanya saja semua pohon didaerah ini memang mempunyai daun yang berwarna kuning ataupun oranye. Hutan Mangma, begitulah para manusia menyebutnya. Hutan yang kabarnya dihuni oleh para peri hutan yang tak segan membunuh siapapun yang mengusik tanah mereka. Dan itu benar, jika kita perhatikan lebih dekat di dahan pohon-pohon itu selalu dapat kita temui satu makhluk yang bertengger. Mengawasi sekitar. Sekilas tak ada yang berbeda dengan mereka, sepasang kaki, sepasang tangan, dan struktur wajah yang benar-benar mirip manusia kecuali dengan telinga mereka. Para peri hutan mempunyai daun telinga yang panjang menyerupai telinga kucing.

Jauh didalam hutan Mangma, berdirilah bangunan-bangunan dimana mereka menghabiskan waktu untuk beristirahat. Peri hutan memang merupakan makhluk peniru, mereka meniru bagaimana cara manusia hidup, bagaimana cara manusia bersosialisasi, dan bagaimana cara manusia jatuh cinta.

"Papa!"
Suara teriakan itu berhasil memberhentikan lelaki itu. Lelaki dengan rambut keperakan yang menjuntai panjang, sepasang mata hijau yang bersinar, dan rahang yang kokoh. Senyum lelaki itu mengembang saat gadis kecil yang hanya sampai lututnya itu memeluk erat.

"Papa mau pergi ?" Gadis kecil itu bertanya pelan. Thranduil menggendongnya, ia mengangguk samar.

"Papa ada pekerjaan, sayang."

"Apakah akan lama ?"

Thranduil menggeleng, diusap lembut pipi anak semata wayangnya itu. Gadis kecilnya yang sudah berumur sepuluh tahun.

"Aku akan turun, Papa. Paman Dazt sudah datang."

Thranduil berbalik, tak jauh darinya berdiri lelaki yang lebih tua darinya. Rambutnya keperakan menjuntai hingga ke pinggang, rambut keperakan dengan mata hijau yang serupa dengan Thranduil, adiknya. Dazt melangkah mendekati Thranduil dan membantu gadis kecil itu turun dari buaiannya.

"Selamat sore, Paman Dazt."

Dazt tersenyum, tangannya mengusap puncak kepala gadis itu lembut disusul Thranduil yang mencium pipinya yang kemerahan.

"Papa harus pergi. Jaga sikapmu hingga papa kembali, Tauriel."  Tauriel mengangguk membuat rambut merah tembaganya yang diikat dengan sulur-sulur yang mengering bergoyang.

Thanduil dan Dazt pergi dari tempat itu dengan langka yang lebar. Wajah mereka yang tadi tenang sekarang digantikan oleh wajah kemarahan dan kekhawatiran. Thranduil mengeluarkan pisau yang ia sisipkan dibajunya sedari tadi.

"Bagaimana ?" Lelaki itu tidak mengalihkan pandangannya dari pisau perak yang berada digenggamannya.

"Entah. Kabar terakhir yang saya dengar dia berhasil melewati gerbang tanpa terlihat. Mungkin sekarang dia berada di pemukiman penduduk."

Thranduil mempercepat langkahnya meninggalkan Dazt beberapa kaki. Raut mukanya datar tapi Dazt tahu pasti kegundahan didalam hati adiknya itu.

Tak berlangsung lama langkah kaki kakak-beradik itu terhenti. Pandangan mereka menatap tak percaya dengan apa yang sekarang terjadi didepan. Seekor unicorn dan seorang peri wanita tergeletak tak berdaya bersimbah cairan merah kental yang paling Thranduil benci. Dazt melangkah mendekat Thranduil yang terpaku didepannya, mengelus pelan bahu lelaki itu.

"Aku benar-benar raja yang tak berguna Dazt." Suaranya terdengar getir. Dazt menghela nafas pelan, matanya menyusuri keseluruh penjuru. Para peri berkerumun mengelilingi tempat kejadian, menampilkan wajah prihatin dan sedih.

"Mama!" Seorang peri wanita muda keluar dari kerumunan. Dengan air mata yang menderai peri wanita muda itu memeluk peri wanita didepannya. Jasad peri yang meninggal itu perlahan menghilang terbang menjadi puluhan ekor kunang-kunang meninggalkan anaknya yang masih sesegukan.

"Bajingan! Aku akan membunuhmu." Teriakan Thranduil menarik perhatian semua pasang mata. Lelaki itu--tanpa diduga langsung menusuk pemburu yang berdiri diantara kerumunan. Dazt mengerjapkan matanya tiga kali hingga ia memperoleh kesadarannya sepenuhnya. Ia baru saja melihat adiknya membunuh seorang manusia. Seorang manusia. Dazt menelan ludah, Thranduil memang memiliki ketajaman yang luar biasa. Ia bahkan tak menyadari masih ada manusia yang berkeliaran disekitar mereka.

"Thranduil."

Dengan nafas terengah-engah lelaki itu melirik Dazt sekilas lalu membuang pisaunya tepat disamping mayat pemburu itu.
"Buang dia. Dan sampaikan pada penjaga perbatasan agar lebih waspada. Aku tak ingin manusia memasuki wilayah kita lagi."

Dazt menaik turunkan kepalanya. Matanya terus saja memandangi Thranduil hingga tubuh lelaki itu tak dapat lagi ia lihat, tenggelam bersama sinar mentari sore.

"Dia dan manusia." Gumamnya pelan sebelum akhirnya mengangkat dengan enggan mayat pemburu itu membawanya kedalam hutan.

-----------

Suara derak pintu itu terdengar begitu jelas. Membuat orang yang berada dibalik pintu itu berbalik dan segera bangkit. Sudut-sudut bibir lelaki itu tertarik membentuk sebuah senyuman saat gadis kecilnya memeluk kakinya erat. Thranduil menunduk, menatap Tauriel lamat-lamat.
"Ada apa, Papa?"

Thranduil terkesiap, ikatan batin antara dia dan anaknya ternyata benar-benar kuat. Lelaki itu bahkan tak berbicara sepatahkatapun tapi Tauriel sudah mengerti kegundahan hatinya.

"Ada apa, Papa ?" pertanyaan itu berulang namun kali ini dengan nada yang lebih mendesak. Thranduil menghembuskan nafas pelan. Diangkatnya anak semata wayangnya itu dari kakinya lalu membawanya ke tepian ranjang.

"Papa ingin memberitahukan Tauriel sebuah rahasia," Ucap lelaki itu serius.

Tauriel menganggukan kepalanya, menatap Thranduil dengan tatapan serius menghilangkan kesan anak-anak pada dirinya.
"Tauriel pernah mendengar tentang manusia ?"

Mata gadis kecil itu berputar, dan akhirnya kembali menatap mata ayahnya seraya menganggukan kepala. "Ya. Manusia adalah makhluk kejam yang harus dihindari oleh para peri. Mereka sering membunuh apapun yang menurut mereka unik dan menjadikannya sebagai objek ..."

"Penelitian." sambung Thandruil cepat.

"Iya itu. Pe-ne-li-ti-an."

Thranduil menarik nafas panjang. Diusapnya rambut anaknya yang terurai dengan lembut. "Kau sudah tahu banyak rupanya."

"Memangnya ada apa papa ?"

Thranduil menggeleng, "Tidak. Tidak ada, sayang."

"Apakah ini ada hubungannya dengan peristiwa papa membunuh manusia tadi sore?"

Thranduil terkejut dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkan putri kecilnya. Lelaki itu merengkuh kedua bahu Tauriel, menatap iris mata hijau gadis itu lekat.
"Mereka itu makhluk jahat, Tauriel. Apapun yang papa lakukan selalu ada alasan kuat dibaliknya. Lagipula darimana kau tahu berita itu ?"

"Dari para pelayan."

"Kau menguping ?"

Mata tauriel membelalak, dengan cepat ia gelengkan kepalanya. "Tidak. Aku hanya tidak sengaja mendengar. Aku tidak menguping. Sungguh."

Thranduil terkekeh. Ia usap lagi puncak kepala gadis didepannya itu. "Papa percaya padamu. Selalu."

"Nah," Lelaki itu bangkit, menuntun gadis kecilnya untuk tidur kemudian diakhiri dengan selimut dan ciuman selamat malam dikening.

"Selamat malam, Tauriel. Jangan biarkan manusia masuk dalam mimpimu."

Gadis itu tersenyum sembari menganggukan kepalanya pelan.
"Selamat malam, Papa.".

~~~~~~

TaurielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang