Seharusnya Tidak, Demon.

189 19 0
                                    

Semilir angin berhembus pelan, menerbangkan dedaunan emas yang telah jatuh dari dahannya. Matahari sudah membumbung tinggi, para peri kembali melakukan perjalanan wisatanya di gunung iris tak terkecuali mereka berempat. Kali ini sungai Elstrem menjadi tujuan mereka, Tyler dan Ayrin berjalan berdampingan disusul oleh Tauriel dibelakang mereka. Sepanjang perjalanan Tauriel hanya diam, sesekali melirik ke arah peri lelaki yang berjarak beberapa kaki darinya. Ia melirik telapak tangannya, tidak ada lagi genggaman yang biasanya ia rasakan. Ia merindukan hal itu.

"Kau tak apa, Tauriel ?"

Ayrin menoleh sebentar ke arah Tauriel ketika wanita itu menggeleng, Ayrin memutuskan untuk berjalan disamping peri itu.

"Apakah ini semua karena Mr. Lockwood ?" Tanyanya lagi. Tauriel menoleh sekilas ke arah Ayrin lalu kembali memandang lurus kedepan.

"Tidak," Tauriel menggeleng. "Aku tidak apa-apa, Ayrin."

Peri berambut perak itu menghela nafas pelan, "Kau harus menjelaskan semuanya pada dia, Tauriel."

Tauriel memandang Ayrin.

"Ia hanya salah paham. Aku melihat semuanya, Tauriel."

Putri Thranduil itu memandang sekilas lelaki berambut hitam itu lalu kembali menjatuhkan pandangan pada wanita disampingnya.

"Aku tak tahu ia akan semarah itu." Ucap Tauriel lirih, kepalanya terpekur. "Dan aku tak tahu bagaimana harus menjelaskan ini padanya."

Sudut-sudut bibir Ayrin terangkat membentuk senyuman manis di wajahnya, "Demon seperti itu karena ia mencintaimu, Tauriel. Jelaskanlah padanya kau tentu tak ingin menghabiskan hari seperti ini bukan ?"

Tauriel mengangguk. Terdengar sorak senang dari bibir para peri, setelah melewati perjalanan yang cukup panjang akhirnya mereka sampai di sungai Elstrem. Senja telah datang, air sungai Elstrem yang bening dan kebiruan semakin cantik di bawah langit jingga itu.

Tauriel memandang Demon yang duduk sendiri di pinggir sungai, lelaki tampak melamun.

"Jelaskanlah padanya, Tauriel."

Peri berambut merah tembaga itu mengangguk, ia berjalan pelan menghampiri lelaki itu. Menarik nafas panjang sebelum akhirnya memberanikan diri untuk duduk disampingnya.

"Demon, ku mohon!" Tauriel menahan pergelangan tangan Demon yang ingin pergi. Lelaki itu memandang Tauriel cukup lama dan akhirnya memutuskan untuk duduk kembali.

Suasana hening, tidak ada yang membuka percakapan. Senja semakin gelap, sebagai pertanda sang malam akan segera datang. Demon berulang kali menghela nafasnya begitu juga wanita di sampingnya.

"Aku minta maaf." Ucap Tauriel memecah keheningan. Demon tersenyum tipis tapi tetap tak memandang wanita itu.

"Dia tak menciumku, Demon. Ia hanya mencoba mengambil ranting dari rambutku." Lanjut wanita itu membuat Demon akhirnya memandang Tauriel.

"Aku tahu wajah kami sangat dekat, tapi demi Dewi Artemis aku bahkan tidak akan melakukan hal itu." Tauriel menunduk, "Kecuali denganmu."

Demon membelalak, tanpa sadar bibirnya tersenyum. Ia baru kali ini merasakan kebahagiaan seperti ini, rasanya tubuhnya ingin langsung menarik tubuh wanita itu ke dalam pelukannya tapi urung ia lakukan. Demon mengikat wanita itu dengan cinta bukan dengan nafsu.

"Terimakasih."

Tauriel mendongkak menatap lelaki didepannya itu bingung.

"Terimakasih atas semuanya. Atas pengakuan yang secara tak langsung mengatakan kau juga mencintaiku." Lanjutnya. Tauriel kembali menunduk, pipinya merona. Sedetik kemudian wanita itu langsung memeluk tubuh Demon tanpa peringatan, membuat lelaki itu cukup terkejut.

"Maafkan aku, Demon."

Demon tak menjawab bahkan tak membalas pelukan itu. Saat pelukan itu terlepas Tauriel segera bangkit dari duduknya.

"Tunggu!"

Tauriel berhenti dan menoleh. Lelaki itu juga ikut bangkit dan langsung memeluk Tauriel. Demon dan Tauriel tersenyum dan saling membalas pelukan mereka satu sama lain.

"Aku menyayangimu, Demon."

"Aku juga." Sahut Demon.

---------

Api unggun kembali berdiri di sekeliling tenda mereka. Masih ada satu tempat lagi, sebelum akhirnya perjalanan mereka di gunung iris selesai. Demon baru saja selesai memungut ranting kayu untuk api unggun mereka tetapi ia kembali di cegat oleh orang yang sama ; Aldric Mikesen.

"Ada apa lagi ?" Tanya Demon ketus.

Peri berambut perak itu menyeringai, "Aku tak mencintainya, Aldric." Ucap lelaki itu mengikuti gaya bicara Demon, "Itu hanya ritual bodoh."

"Apa maksudmu ?" Tanyanya lagi masih dengan intonasi yang sama. Aldric memandang Demon tajam, seakan siap menguliti lelaki itu.

"Aku yang harusnya bertanya padamu, Demon. Apa maumu, hah ?" sahut Aldric dengan intonasi yang tinggi. Lelaki itu terlihat marah, mata hijaunya seakan menyala dan itu berhasil membuat Demon menelan ludah kasar.

"Kau tak ingat tujuanmu, hah! Kau tak ingat apa yang telah kaum itu lakukan pada keluarga kita! Kau tak ingat siapa yang menjadi membuatmu begini!" Lanjutnya.

Demon tak menyahut, ia mengenggam keras kayu-kayu bakarnya berusaha untuk tidak membiarkan emosi menguasainya.

"Kau sekarang jatuh cinta pada pada salah satu dari mereka! Jatuh cinta pada-----Argh!!!"

Aldric menenangkan nafasnya yang memburu, ia memejamkam matanya dan memijat pelipisnya pelan. "Aku tak ingin kau jadi lemah, Demon. Aku ingin kau ingat apa yang telah ia lakukan pada kita." Ucap Aldric kali ini lebih tenang.

"Aku tak tahu, Dric. Perasaan itu menyusup begitu saja bahkan sebelum aku sempat untuk menepisnya jauh-jauh."

Aldric memandang lelaki itu datar. Datar dan dingin. "Jadi apa kau ingin melanjutkan ini ?"

Demon nampak berpikir.

"Seharusnya tidak, Demon. Seharusnya kau tidak membiarkan wanita itu memasuki hatimu." Ucap Aldric sebelum akhirnya menjauh dari Demon yang masih termenung.

Pikirannya saat ini kacau, apa yang sekarang harus ia lakukan? Apa yang sekarang terjadi padanya? Dan apa nama perasaan ini?

~~~~~~~

Xoxo

TaurielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang