Is this The End ?

4.1K 113 0
                                    


"Udah, Ca, lo pasti bakal nemuin seseorang yang lebih baik dari gue. Dan selama ini, gue udah nganggap kalau kita itu pacaran," ucap Kean sambil memeluk Ica yang masih tergugu.

Glen Fredly—Akhir Cerita Cinta

Alunan merdu sebuah lagu terdengar dari sudut-sudut kafe; memenuhi indera pendengarannya, membuat seluruh tubuhnya mati rasa seketika. Pelukan itu harusnya terasa hangat untuknya, namun saat ini, kehangatan itu pergi—pelukan itu artinya tak sama lagi.

"Tapi orang itu lo, Kei. Lo yang bikin gue move on dari masa lalu gue. Lo yang udah bikin gue nyaman selama ini. Gue selalu berharap kalau kita bisa barengan sampai kita tua, Kei. Kita bisa taklukin semua impian kita, kita bisa keliling dunia bareng berdua. Lo gak pengen kita nglakuin itu?

"Gue nggak pernah mau lo ajak main, karena gue pikir saat ini bukan waktu yang tepat untuk kita main, Kei. Kita masih kelas 11, sebentar lagi UTS. Lo tega bikin gue sedih? Emang perlu ya, 6 bulan sekali lo ganti cewek? Lo jahat, Kei. Lo nggak punya hati. Hati-hati aja kalau lo dapat karma," kata Ica sambil terisak, menepis pelukan Kean tanpa menatap laki-laki itu. Ia menahan rasa sakit di hatinya. Ia pernah dengar bahwa hubungan Kean dan mantan pacarnya juga hanya berjalan 6 bulan.

"Ya, gue emang nggak punya hati, Ca. Dan lo tau gak, orang yang nggak punya hati itu kayak apa? Lo tau setan, 'kan? Nah, orang yang nggak punya hati lebih parah dari itu, Ca. Dan itu gue. Mungkin gue emang butuh karma, Ca," Kata Kean sedikit tidak terima disebut nggak punya hati oleh Ica.

"Tetep semangat UTS ya, Ca. Lo besok harus berangkat sekolah, dan pas jam pulang sekolah gue pengen ketemu lo. Setidaknya, gue pengen kasih lo perpisahan manis, Ca. Kayak magic hour yang selalu lo banggain. Padahal itu adalah salam perpisahan dari matahari, 'kan? Maafin gue ya, Ca. Gue minta maaf banget.

"Pulang yuk, Ca. Besok sekolah, 'kan?" kata Kean tenang, seolah-olah seluruh ucapannya tadi tidak pernah mengenai ujung sensitif hati Ica.

"Aku sayang sama kamu, Kei. Aku enggak yakin UTS kali ini bakal dapat nilai yang bagus. Aku... banyak salah ke kamu, ya 'kan. Kamu nanti cepat dapat cewek lain, ya. Atau jangan-jangan, emang udah dapat?" tanya gadis itu, kaku. Telapak tangannya menggenggam erat kain rok dalam pangkuannya; terdengar dari ucapannya, gadis itu cukup menahan banyak rasa sakit—namun sebisa mungkin menepis ujung-ujung miris dari lengkungan senyum yang ia perlihatkan pada Kean.

"Belum, kok," jawab Kean singkat, rahangnya mengeras diam-diam.

"B-Bentar ya, aku ke kamar mandi dulu," kata Ica sambil sedikit terisak.

Sesampainya di kamar mandi, Ica berusaha menenangkan hatinya dan menahan air matanya. Ia memandang ke depan kaca dan berkata dalam hati, 

Ini beneran gue apa bukan, sih? Bisa-bisanya nangis? Bukannya gue itu anti-galau? Bukannya dia bilang belum punya cewek lain? Lo masih bisa bebas ngobrol sama dia, 'kan? Bukan gue banget sih, nangis di tempat umum. Senyum dong, Sera. You must show that you're strong. You can live even though Kean not be yours, right? Pasang senyum paling manis di hadapan Kean. Semangat, Sera! 

Ica menepuk-nepuk pipinya, lantas mengusap pipinya yang basah dengan punggung tangannya; memantapkan hatinya untuk menampilkan semangat "Aku kuat" miliknya pada Kean. Dan ia selalu berhasil menenangkan hatinya yang sedang kalut dengan melakukan cara simple itu. Berbicara pada kaca adalah jurus andalan Ica jika ia sedang putus harapan.

Mengenai Kean, laki-laki itu memang termasuk orang yang unpredictable. Ia bisa berubah mood dengan cepat. Selama enam bulan ini, Ica juga sering tidak mengerti dengan jalan pikiran Kean. Contohnya seperti saat ini, ia tiba-tiba mengatakan bahwa ia ingin mengakhiri—bisa disebut—hubungannya dengan Ica, namun ia masih tetap bersikap manis pada gadis itu, lima menit sebelum dan setelah ia mengatakan kabar buruk itu.

"Hei, Tuan Masa Lalu, ayo pulang!" ajak Ica sambil mengambil tas dan gelas sekali pakai yang berisi Caramel Macchiato miliknya.

Kean yang terkejut dengan sikap Ica hanya membalasnya dengan senyuman tipis dan mengikuti langkah Ica yang sudah mendahuluinya. Mereka tak lagi berjalan bedampingan. Sekarang, Ica-lah yang memimpin untuk 'melanjutkan jalan', atau biasa disebut move on. Dan sekarang, tak ada lagi kalimat: 'Kean dan Sera dekat.'








Di saat saat bulan mulai menampakkan cahayanya. Dan lampu kota yang mulai menampakkan cahayanya, tak mau kalah dengan cahaya rembulan. Di balik semua itu jalan penuh sesak bagaikan banjir yang tak terbendung oleh suasana di kala hari menjelang Malam Minggu. Mereka pulang, tidak ada percakapan antara mereka berdua. Ica memilih mendengarkan lagu di iPod-nya sambil memandangi cahayanya yang sudah direbut sang rembulan di atas kota metropolitan ini. Sementara Kean berkonsentrasi dengan jalanan Jakarta yang sedang macet karena dua hal: ini sudah jam tujuh malam, dan ini adalah hari Sabtu.

Ariana Grande—One Last Time

"Maaf ya, Ca. Lo harus tetap semangat, ya! UTS-nya harus sukses," kata Kean sambil menepuk pundak Ica. "Lo dengerin deh, lagu Big Girls Don't Cry, recommended banget buat lo," sambungnya.

"Iya, nanti gue download," balas Ica enggan.



LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang