Author's POV
"Ca, pulang, yuk."
Ica terkejut dan langsung menutup laptopnya ketika tiba-tiba ia mendengar suara Kean memanggilnya. Ica menahan napasnya sambil memejamkan matanya. Jangan sampai Kean tau kalo gue suka curhat di laptop, batinnya.
"Ica? Lo ngapain?"
"E-Eh, i-iya, bentar ya, masukin laptop dulu. Nih, ada minum!" katanya sambil menyodorkan botol air mineral yang sengaja Ica bawa untuknya.
"Mau makan dulu? Gue mau ngomong sesuatu, nih," ucap Kean setelah ia menegak air mineral itu hingga tersisa separuh.
"Eh?" Jantung Ica berdegup kencang. Apa dia mau nembak gue, ya? Ya ampun, gue harus gimana? Ya Tuhan, semoga malem ini gue gak jomblo lagi, batin Ica berapi-api.
"Udah mau hujan nih, Kei. Lain kali aja gimana? Kalo enggak, ngomong lewat LINE ajalah," kata Ica takut jika tiba-tiba Kean menembaknya, dan ia malah bersikap terlalu salah tingkah saking senangnya—walaupun dia tidak benar-benar tahu apa yang akan dilatakan oleh laki-laki tersebut.
"Sekarang aja, Ca. 'Kan kemarin lo bilang mau nemenin gue. Lo itu susah kalo diajak keluar. Ini penting banget, Ca.." bujuk Kean. Raut wajah pemuda itu berangsur-angsur berubah.
"Sensi, ih. Ya udah, ayo."
Setelah sampai di parkiran mereka pun langsung menuju Stackbass—kafe kopi langganan mereka.
"Caramel Macchiato dua ya, Mbak. Atas nama Kean dan Ica," kata Kean pada pelayan kafe.
"Ada pesanan lain?" tanya pelayan kafe. Kean menjawabnya dengan gelengan singkat.
"Baik, berarti pesanannya Caramel Macchiato dua ya, Mas. Totalnya," pelayan itu menunjukkan layar konsol monitor yang menampilkan sederet angka, kemudian Kean langsung membayarnya. Ia dan Ica lalu menuju meja kosong di lantai dua kafe itu. Itu adalah tempat kesukaan keduanya.
"Lo nggak makan?" tanya Ica, namun tak ada jawaban dari Kean. "Kei, lo kenapa, sih?" tanya Ica, namun tetap tak ada jawaban dari Kean. Kean malah berdiri dan menempatkan dirinya di samping Ica. Dia bersandar di pundak Ica.
"Biar gini dulu ya, Ca. Gue capek. Gue bakal kangen banget sama lo," kata Kean lesu. Ica bingung dengan sikap Kean yang tiba-tiba seperti orang frustasi.
Ia menanyakan pertanyaan yang sama lagi pada Kean. Namun cowok yang bukan siapa-siapanya itu malah memejamkan mata. Tiba-tiba, Ica merasakan ada setetes air mata yang jatuh ke pundaknya.
"Dua Caramel Macchiato atas nama Kean dan Ica," kata pelayan kafe. Kean yang menyadari pesanannya sudah siap langsung berjalan dan mengambil pesanannya.
"Kean, cerita dong sama Sera," bujuk Ica setelah Kean mengambil pesanan mereka.
"Ih, dasar lo itu. Kalau lagi sama gue, nama lo itu Ica, bukan Sera."
"Bodo amat. Lo lagi ada masalah, ya? Ucil penasaran, nih."
"Ucil? Apaan, tuh? Nama lo tuh, Ica! I-C-A!" jelas Kean sebal dan hanya dibalas dengan senyuman jahil Ica. Kean hanya tersenyum tipis.
Yah, mungkin semuanya akan lebih mudah bila dikatakan sekarang, batin Kean dalam hatinya. Ia mengembuskan napas dalam sebelum akhirnya mulai membuka mulutnya lagi untuk bicara.
"Gue bingung, Ca, sama kita. Kita barengan, kita tau kalau kita punya perasaan yang lebih dari teman. Tapi apa lo betah sama hubungan yang cuma gini-gini aja? Lo maunya gimana? Sedangkan dunia kita itu beda, Ca—beda banget malah."
"Gue sayang lo, Kei. Gue nyaman sama lo, meskipun kita sama sekali enggak dalam hubungan apa pun. Gue nggak mau berharap lebih ke lo, kalau zona ini cukup bikin gue nyaman. Lagian kalo masalah pacaran itu cuma status, 'kan? Gue juga nggak mau paksa lo buat jadiin gue pacar lo. Gue sering bilang 'kan, kalau gue tau kalau lo belum sepenuhnya move on dari dia. Gue tau lo lebih sayang sama dia dan mungkin lo cuma jadiin gue pelampiasan. Hehe, gue tau kok. Tapi semuanya tergantung lo, Kei. Lo 'kan cowok," jelas Ica. Gadis itu tersenyum kemudian, menahan miris di ujung-ujung bibirnya. Gue sebenarnya mau banget, Kei, kalo disuruh jadi pacar lo, batinnya.
"Gue kasihan sama lo, Ca. Gue pengennya sih, udahan aja. Toh masih banyak yang lebih perfect dari gue, 'kan? Lo bakal nemuin seseorang itu secepatnya. Kita itu udah gak sinkron, Ca. Kita udah beda."
Mendengar itu, sontak semua pertahanan diri Ica hancur. Hatinya terasa dicubit mendengar penjelasan super-tersurat itu dari mulut seseorang yang selama ini tidak ia duga akan mengucapkan hal tersebut—meskipun, dalam hatinya ia tahu hal seperti ini pasti akan terjadi suatu saat nanti. Dan sekaranglah saatnya. Air matanya yang selama enam belas tahun hidupnya nyaris tak pernah keluar, tanpa ia sangka saat ini telah mengalir membasahi pipinya.
"Udah, Ca, lo pasti bakal nemuin seseorang yang lebih baik dari gue. Dan selama ini, gue udah nganggap kalau kita itu pacaran," ucap Kean sambil memeluk Ica yang masih tergugu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Luka
Ficção Adolescente"Apa yang lo tau tentang karma?" "Yang gue tau, setiap perbuatan pasti akan mendapat akibat. Karma itu ada, jadi hati-hati dalam bertindak aja deh, kalau mau aman."