why?

15.4K 796 2
                                    


Mereka mengganggu. Berisik, lalu terdengar seperti dua orang sedang berbicara, kemudian lebih jelas. Seperti laki-laki dengan logat jakarta-an yang diperhalus berbicara dengan perempuan dengan suara yang sangat halus.

Tunggu, siapa mereka? Kenapa mereka berbicara dikamarku? Aku kan...

"Bi Dimas berangkat dulu. Hati-hati ya bi, kalo Michelle manja atau mintanya aneh aneh jangan dibolehin. Bibi bisa kan aku tinggal? Maafin bi, tapi bener deh Abis tanding nanti aku usahain langsung pulang."

"Bibi bisa kok den,"

"Bener ya bi, kalo ada apa-apa jangan sungkan telpon saya. Juga bilang gimana kata dokternya Michelle ya bi."

Dimas ya?

Kecupan seperti kemarin terjadi lagi. Sebelum beranjak, kutarik segala hal yang bisa kujangkau darinya. Tangannya.

"Dimas.." aku terkejut sendiri. Kenapa suaraku terdengar merajuk? Bagaimana ini jika dia mengira...

"Lo uda bangun?" Dipeluknya punggunggku yang masih dalam keadaan berbaring. Akibatnya, jarak kami menjadi em...sangat dekat. Dan aku menjadi...semacam grogi, begitu?

"Chelle, gue sorry banget gak bisa nepatin ucapan gue sendiri. Gue bener gak bisa karena ada pertandingan."

Aku melongo menatapnya. Apa katanya barusan? Dia minta maaf? Bwahahahaha... seorang Dimas Satriatama minta maaf?

"Hahaha," pertahanan tertawaku runtuh juga. Gantian, kini dia yang menatapku aneh.

"Mitos, lo minta maaf," ucapku ahirnya. Aku tau, dia bukan pribadi yang seperti ini.

Dimas mendekat padaku. Matanya menatap mataku lekat-lekat tepat setelah aku selesai memgucapkan kata kata terahirku tadi.

Aku membeku ditempat. Apa yang akan dia lakukan?

"Gue serius. Jaga diri baik-baik. Jangan minta jajan sama bibi. Jangan nakal, Oke?"

Setelah Dimas mengatakannya, dia melengos keluar.

Aku melongo melihatnya. Apa beneran Dimas tadi? atau aku sedang bermimpi?

***

Seorang suster memeriksaku, setelahnya dia mencatat pada buku besar yang dia bawa.

"Sus." panggilku

"Iya?" Suster muda itu batal berbalik sebelum meninggalkan ruang rawatku.

"Saya boleh makan kebab ga sus?" Tanyaku iseng. Kutau pasti belum boleh.

"Belum boleh.." mimik wajah suster itu berubah mengeruh ketika mendengarku mengeluh setelah mendengar jawabannya.

"Sabar dek.., dua hari lagi kamu pulang kok," tambanya. "Eh..maaf bahasa saya."

"Gaapa sus..santai aja," aku menenangkan. Lalu teringat. "Sus saya bener pulang dua hari lagi?"

"Iya...ada lagi yang perlu saya bantu?" Lagaknya, dia mau keluar tapi harus sopan dan harus memberi pelayanan yang baik pada pasien.

"Udah sus, Makasih ya suster cantik..."godaku.

"Sama sama." suster itu meninggalkan ruangku setelah berucap begitu. Berberengan dengannya Bi Nani datang dari makan siang di kantin.

Alisku bertaut memandangi bibi masuk. Tumpukan tasnya ada di samping lemari rumah sakit yang sepertinya berisikan bajuku. Apa bibi langsung kesini?

Setelah kupastikan bibi duduk di ranjang samping ranjangku dengan nyaman, aku akan mulai mengeluarkan segala yang mengganjal kepalaku.

"Bi, bibi kok bisa sampe sini pagi-pagi sih? Bibi belom ke rumah dulu dari bogor?"

"Belom atuh non. Bibi aja baru dateng jam 3 tadi." jawap bibi sambil merubah posisi menjadi menghadapku.

Serius?

Dimas ih...bibi kan kasian. Lagian kalo aku ditinggal sendiri juga gak bakal kenapa-kenapa.

"Bi maafin Michelle ya, gara-gara Michelle sakit bibi jadi harus masuk di waktu cuti." ucapku tulus.

"Gapapa atuh non. Kumaha non, teh. Aden udah minta maaf kok non." semakin bibi menjawap pertanyaanku, semakin bingung aku jadinya.

"Kok bisa sih bi?"

"Nyonya sama tuan beruntung ya, non Michelle udah dijagain den Dimas." ucap bibi.

Hah?

"Apaan sih bi? Nggak nyambung deh. Aku kan gak tanya soal itu." elakku.

"Iya, kemarin malem den Dimas datang kerumah bibi non," bibi mengambil nafas. "Den Dimas minta bibi kembali buat jagain non Michelle yang abis kecelakaan,"

Aku speechless. Untung saja aku tidak lupa mengambil nafas.

"Bibi nangis non. Bibi kan sama non dari non masih kecil, non Michelle kaya anak bibi sendiri. Yaudah bibi ikut aja. Eh ladalah non, ternyata den Dimas bawa mobil!"

"Bibi ajak den Dimas naik kereta aja, tapi den Dimas gak mau. Naik taksi juga gak mau. Ahirnya bibi ikut aja naik mobil. Eh pas bibi diminta duduk di jok depan bibi gak sengaja pegang tangannya aden. Tangannya panas atu non, bibi gak tega."

"Bibi negosiasi lagi biar disetirin anaknya bibi yang paling kecil. Baru abis setengah jam, den Dimas ahirnya mau. Non, selama perjalanan den Dimas tidur terus. Bibi sampe kasian atuh. Umurnya masih segitu tapi tanggung jawap sama istrinya."

Aku menangis. Setelah berusaha menahan, air mataku menetes juga. Dia musuhku tapi dia berlaku seperti itu. Dia menjailiku, tidak mau kalah denganku tapi berlaku sedewasa itu untukku.

Telapak tanganku ku tangkupkan di wajah. Sesuatu terasa salah diotakku. Tidak seperti ini. Tidak boleh.

Dinas yang seperti itu kenapa menjadi seperti ini? Membuat sedikit rasa kesal atas pernikahan ini menghilang.

Tidak boleh..aku sekarang dan akan datang akan terus menyesal akan pernikahan ini.

Masih menundukkan kepala, bibi menyentuh pundakku. Kutatap matanya yang ikut bersedih ketika aku membalikkan badan.

"Non, bibi tau non Michelle masih punya rasa sama mantan non. Bibi inget waktu hujan deras dan non datang sendirian padahal berangkatnya non bilang mau ketemuan sama pacar non,"

Memoriku berputar pada saat aku menangis semalaman setelah janjiku dengan Ian dibatalkan sepihak olehnya.

Di saat yang berdekatan, kulihat dia bergandengan tangan dengan Firyal didepan sebuah bioskop. Hatiku sakit, remuk, mati rasa.

Ian bukan pacar pertamaku, tapi cinta pertamaku jatuh padanya.

"Non, bibi bukannya mau ikut campur. Non emang gak bisa merubah apa yang terjadi, tapi bisa memperbaiki hal itu. Non pernah patah hati, tapi jangan terpuruk karena itu."

Aku membenarkan perkataan bibi tapi menolak jika memperbaiki yang dimaksud bibi adalah dengan Dimas.

"Non harus bangkit. Bisa saja cerita cinta non setelah ini dengan den Dimas," bibi mengelus kepalaku yang kini kembali keatas bantal.

Aku menggeleng keras keras tapi hatiku membenarkannya.

"Aku nggak mau bi.." ucapku lirih tapi sungguh-sungguh.

Bi Nani diam dan tersenyum memandangku. "Non sekarang bisa menolak, tapi nanti jangan mengelak yah, saat non benar benar sudah jatuh hati."

Karena tak ada alasan agar aku menolak, akupun mengangguk sekalipun otakku menyalahkannya.

Young RelationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang