Fresh from the oven
semoga suka kelanjutannya ya
Dimas PoV
"Bangs*t!"
Teriakku dalam perjalanan menuju lokasi yang dikirimkan Altaf. Bagaimana kondisi Michelle? bagaimana jika Altaf berlalu jahat padanya?
Aku menginjak pedal gas tak peduli kecepatanku sudah melewati batas kecepatan dalam kota. Tangan kiri memutar audio mobil agar menemaniku tetap terjaga.
Hawa dingin membuatku mengantuk. Apalagi karena kelelahan sepanjang hari, pula kemarin aku terjaga sampai hampir tengah malam karena sakit di muka akibat Altaf. Yah walaupun aku tidak terjaga sendirian sih, Michelle menemaniku.
Shit. Michelle. Mengingat namanya saja membuat hatiku berdesir dan diakhiri rasa sakit.
Kubelokkan mobil dan tiba ke lokasi yang disebut Altaf. Sebuah kafe bernuansa putih. Di dalamnya hanya terdapat beberapa orang yang mengisi tiga meja. Semuanya laki laki, kecuali Michelle yang tertidur di bahu Altaf.
Tawa mereka terhenti ketika pintu terbuka dan Aku masuk dengan wajah tak bersahabat. Mata mereka dengan tidak tahu aturannya menatapku lekat.
"Wih dateng juga lo!" Ucap Altaf, bibirnya nyengir sebelah, mengejekku.
"Awas, gue mau bawa pulang cewe gue!"
Sergahku ketika tepat berada di depannya. Kuulurkan tanganku menyentuh pipi Michelle tapi dia tak bangun juga.
"Cewe lo lo bilang? hahaha!" Tawa Altaf membahana. Diikuti yang lain.
"Emang dia cewe gue." Ucapku datar sambil mencoba kembali membangunkan Michelle. Aku benci berada disini.
"Eugh!" Michelle bergumam, tangannya mengucek mata.
Aku mendekatkan muka padanya.
"Chelle ini gue, ayok pulang," Sepertinya dia sadar karena kemudian dia diam saja ketika kubawa dia dengan model bridal style. Tangannya melingkar di pundakku."See?" Kutatap Altaf remeh.
Langkahku keluar kafe menghasilkan suara menyebalkan. Suara sapaan selamat tinggal dari Altaf malah memperparah. Membuatku ingin menghantamnya dengan tinjuku jika aku tak membawa Michelle.
"Sama-sama, sama-sama bro buat jagain cewe lo yang sedih gegara lo," Kekehnya. Kurasakan mukaku mengeras.
"Kok kaga lo rebut aja si tuh cewe?" Tanya salah satu temannya.
"Jangan, nikung sodara udah mainstream, gue kan anti mainstream ahaha!" suara terakhir yang aku dengar sebelum keluar dari kafe tersebut.
Michelle kuletakkan di jok sampingku dan kupasangkan safety belt. Jam di dashboard menunjukkan pukul sepuluh lebih lima belas. Mami pasti marah, tidak mungkin mami tidak menghukumku karena membawa putrinya kelayapan hingga malam.
Benar saja. Ketika kaki kami baru menapak teras dan menghasilkan suara benturan sepatu dengan lantai, bukan hanya muka marah mami dan omelan 100 kilometer perjam khas ibu-ibu yang kudengar. Tapi muka papi yang hanya kutemui sekali saat pernikahan kami dulu. Bahkan dengan ekspresi yang tak pernah mau kulihat.
"Dimas!" Suaranya mendengung di telingaku, tatapan tajamnya menghujam mataku. Konsentrasiku yang menurun kembali terisi penuh."Kamu kira karena kalian sudah menikah kamu bebas membawa Michelle kemana saja?!"
"Masuk! Papi mau bicara!"
Hawa mengintimidasi merajalela di ruang tamu. Michelle yang baru bangun menatapku bertanya, aku hanya berisyarat agar dia diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Young Relation
JugendliteraturSMA itu bukan cuma belajar sama main. Ada teman, keluarga, dan cinta yang berkembang lebih besar dari masa sebelumnya. Tapi bagi gue list tadi belum lengkap sama dua hal paling mencolok di hidup gue. Yaitu uang, dan pernikahan. Ini cerita Mi...