20| Buntut

1.7K 142 0
                                    

Aku harus bersyukur karena keadaan rumah sudah nyaris mendekati sedia kala saat Mama tiba, kecuali daun pintu kamar. Aku bukan tukang, atau orang dengan segala kelebihan hingga bisa membenahi pintu kamar sendirian. Lagipula kalau perkakasnya saja tidak ada, mau bagaimana lagi.

"Ma, soal pintu kamar kita, ini enggak seperti―"

"Ssst!" Mama menempelkan jari telunjuknya di bibirku. "Mama tahu, semalam ada yang masuk ke rumah kita diam-diam, kan?"

Mataku membelalak, sedikit terkejut mendengar penuturan Mama. "Kok ... kok Mama bisa tahu?" tanyaku, begitu Mama melepaskan telunjuknya.

Yang kutanya malah tersenyum simpul, mengendikkan bahu.

"Ma?" desakku. "Mama tahu kalau semalam itu ada-eh, katakanlah orang jahat-yang mengobrak-abrik rumah kita?"

Wanita di hadapanku mengangguk kecil. "Ya, anggap saja begitu."

"Tapi hanya itu yang Mama tahu, kan?"

Kini Mama yang balik menatapku, dengan sorot mata menyelidik sekaligus bertanya-tanya. Dalam hati aku merutuki diriku sendiri yang salah memilih kalimat. Kalau sudah begini, bukankah itu malah akan menuntun Mama ke lubang berisi kumpulan fakta yang sedikit demi sedikit akan menganga lebar?

"Neb, apa maksudnya?"

Aku segera menyembunyikan apa yang sedang kupikirkan dengan tersenyum lebar. "Maksud Neby, cuma pintu kamar ini yang Mama tahu telah rusak, kan?" aku melontarkan pertanyaan berikutnya, lebih kuperjelas, tapi juga lebih kupoles sedemikian rupa agar Mama percaya. Padahal pertanyaan barusan kubelokkan jauh dari pertanyaan aslinya.

"Lho, memang ada lagi?"

"Ada!" aku mengangguk semangat, meraih sebelah tangan Mama, kemudian mengajaknya ke belakang. "Jendela belakang rumah kita pecah, Ma. Mungkin kita harus segera menggantinya dengan kaca baru kalau tidak ingin masuk angin."

Mama manggut-manggut, mulai memeriksa jendela belakang yang kacanya sudah nyaris terpisah semua dari bingkainya. Aku mengulas senyum tipis, setidaknya Mama percaya, setidaknya Mama belum tahu masalah yang lebih besar dari sekadar rumah yang superberantakan.

* * *

Tidak sulit menghubungi tukang yang serbabisa untuk memerbaiki daun pintu atau jendela. Kebetulan, salah satu pekerja di kafe Mama adalah istri dari tukang tersebut, langsung ditelepon begitu Mama memberitahunya perihal keadaan rumah. Kafe belum tutup, masih banyak pekerja di sana. Mama hanya pulang sebentar untuk mengecek keadaan rumah, dan malah dihadapkan dengan begitu berantakannya kediaman kami.

"Kamu memang anak yang bisa diandalkan." Mama tersenyum, membelai kepalaku saat menunggu pintu kamar dan jendela belakang selesai diperbaiki. "Kamu selalu tahu harus melakukan apa di saat yang tepat. Kamu sepertinya banyak berubah sejak kejadian itu ..." Mama menggantung akhir kalimatnya.

Mulanya aku hendak bertanya kejadian apa yang dimaksud Mama, namun pemahaman itu melesak begitu saja, sehingga aku urung bertanya. Kejadian itu, kejadian pahit itu, hari di mana keluarga kami harus memikul beban yang lebih berat. Kepergian Papa dan sederet buntut masalah yang panjang setelahnya-meskipun bagian "buntut" itu belum diketahui sepenuhnya oleh Mama.

"Berubah bagaimana?" aku bertanya, memasang wajah ingin tahu.

Mama mengelus kepalaku lagi. "Kamu jadi lebih dewasa, Sayang. Mama lihat, akhir-akhir ini kamu jadi lebih mandiri. Memang manusia itu makhluk sosial, tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, tapi ada kalanya kamu harus melakukan segala sesuatunya sendiri. Ada kalanya, di saat-saat tertentu, saat-saat penuh pertaruhan, orang yang paling bisa kaupercaya justru dirimu sendiri, bukan orang lain. Bukan orang terdekatmu."

Aku mendongak menatap Mama, sedikit heran kenapa Mama tiba-tiba berpetuah soal siapa yang bisa kuandalkan, siapa yang paling bisa kupercaya.

"Kenapa Mama tiba-tiba bilang begitu?"

"Lho," Mama tertawa, "kamu ini, masa tidak menyadarinya? Nasihat Mama, kan, ada kolerasinya dengan pujian Mama barusan, tentang betapa mandirinya dirimu sekarang, betapa bisa diandalkannya Neby sekarang ini. Itu berhubungan, bukan?"

Aku nyengir, benar juga. Ada kolerasinya, ada kaitannya, ada sangkut-pautnya.

"Selain itu, Mama cuma merasa perlu mengatakannya padamu. Yah, sebelum situasi yang menjepit terjadi, sehingga kamu harus memilih siapa yang paling bisa kaupercaya."

Mendengarnya, aku malah merinding sendiri. Ini cuma perasaan khawatir seorang ibu atau Mama yang memang sudah tahu semuanya?

Pada akhirnya, aku memilih tak mengacuhkannya. Lupakan soal Mama yang tiba-tiba menasihatiku begitu, karena perkataan bijak Mama sesungguhnya bisa kuaplikasikan sekarang.

Ayolah, dengan Ader yang berangsur-angsur menjadi aneh, macam tahi lalat dan kulit dengan Jessie, adakah orang lain yang bisa kupasrahkan sebuah kepercayaan? Masa bodoh dengan janji-janji Ader, bilang dia akan selalu bersamaku senang maupun susah, bilang dia akan menapaki jalan terjal bersamaku, akan selalu berada di sisiku sampai benang kusut ini terurai.

Kalau orang yang semula sangat kupercaya saja bisa dengan mudah memutar haluannya, berarti tidak ada lagi alasan untuk memercayakan sesuatu selain pada diriku sendiri. Selepas itu, kembali lagi pada pernyataan pertama, manusia adalah makhluk sosial. Suka atau tidak, aku sejujurnya tidak-maksudku, belum-bisa menyelesaikan semua masalah ini sendirian. Mama? Tidak. Aku tidak ingin orang kesayanganku itu ikut terseret sesuatu yang bisa saja membahayakan.

"Kalau kamu tidak mau membuat orang lain dalam bahaya, enggak ada alasan untuk membahayakan dirimu sendiri, Neb." Mama memecah keheningan.

Aku bungkam lagi. Bukan karena perkataan Mama barusan yang seolah membaca pikiranku dengan jelas, tapi lebih karena pemahaman baru yang datang-lagi.

Mendengar kalimat Mama, aku tersadar. Aku begitu egois. Aku egois, lebih mengutamakan keselamatanku di atas segalanya, bahkan di atas keselamatan orang yang kusayangi. Soal dongeng Pricilla-Eren itu, soal rutukanku terhadap dongeng semacam itu, mengomel banyak hal soal tidak ada gunanya membuang nyawa dengan cuma-cuma demi orang lain, bahkan demi kekasih sendiri-orang yang harusnya sangat disayangi.

Pola pikirku harus kuubah. Sudut pandangku atas segala hal harus kugeser. Semuanya harus kulihat dari bingkai yang berbeda.

Jika kuibaratkan Eren adalah aku, sementara Pricilla adalah Mama, kemudian substitusikan dalam kalimat "Eren rela membahayakan dirinya semata-mata agar Pricilla terjamin keselamatannya", maka hasilnya akan jelas.

Aku rela membahayakan diriku semata-mata agar Mama terjamin keselamatannya.

Kini aku baru paham, bagaimana rasanya terjepit antara menyeret seseorang dalam bahaya sepertimu, atau mengorbankan jaminan keselamatanmu demi orang lain yang kausayangi. Di antara dua pilihan yang sama-sama sulit, kalau aku bisa membuat pilihan ketiga pasti akan kubuat. Pilihan terbaik dari dua yang lain, yang bisa meloloskanku dengan mudah dari masalah.

Sayangnya, pilihan ketiga enggak selalu bisa dibuat dengan mudah-setidaknya bagiku.

Mama menepuk pundakku, beranjak berdiri. "Mama harap kamu bisa meresapi dengan baik perkataan Mama."

Aku mengangguk setengah, masih menatap Mama dengan air muka sedikit bingung. Sebelum Mama benar-benar pergi mengecek keadaan pintu kamar dan jendela belakang, aku baru memikirkan kemungkinan, bahwa mungkin saja Mama sudah tahu "buntut" panjang setelah kematian Papa.

"Ma." Aku meraih tangannya, berusaha menahan langkah Mama.

Mama menoleh, ya?

"Mama sudah tahu? Buntut-nya, maksud Neby. Mama sudah tahu?" tanyaku, sebisa mungkin melayangkan pandangan menyelidik, berusaha membaca air muka Mama.

Mama terkekeh, kembali balik kanan, melambaikan tangannya santai. Jarak Mama dariku sudah beberapa meter dalam sekejap, tapi aku masih bisa mendengar Mama bicara, lirih sekali kedengarannya.

"Anggap saja begitu."

Aku tertegun. Ini kali kedua dalam beberapa jam Mama bilang anggap saja begitu.

*tobecontinued*

NebulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang