15| Gadis Peri

1.9K 142 2
                                    

"Nomor kombinasi yang terlalu mudah."

Dalam hati, aku setuju dengan komentar Ader barusan.

Hari ini, begitu bel istirahat dibunyikan, aku langsung mengajak Ader ke kantin sembari memberitahukannya perihal hasil dari nomor kombinasi yang kemarin kami berusaha temukan dari gambar-gambar itu.

"Papamu rupanya kelewat suka angka tiga, El," komentarnya lagi. "Yah, aku juga tidak menyangka digit terakhir akan menggunakan namanya; Gavin. Memang, sih, setiap nama pasti punya arti. Dan kebanyakan dari mereka memiliki arti yang bagus."

Ader yang kukenal kini telah menjelma menjadi orang yang tidak lagi irit dalam penggunaan kata. Dia memang tidak boros kata, sih, karena toh semua yang diucapkannya hampir memiliki makna penting. Tapi tetap saja kalimat-kalimat yang diucapkannya sekarang lebih panjang dari yang dulu.

"Oh ya? Memang nama apa yang paling memiliki arti bagus, menurutmu?" aku sedikit tertarik dengan teori Ader tentang setiap-nama-memiliki-arti-yang-bagus.

Ia tampak berpikir sebentar, terlihat dari keningnya yang sedikit berkerut. Namun belum ada semenit berlalu, Ader mengubah ekspresinya dan menatapku dalam. "Ela."

"Ela?" ulangku. "Bukankah itu cuma sepenggal nama yang kamu ciptakan sendiri? Memang ada artinya, ya?"

"Ada." Ader menjawab dengan anggukan. "Ela berarti peri, atau gadis peri, nama dari Amerika. Bagiku, Ela adalah peri kecilku, peri yang selalu bisa mewarnai hari-hariku hanya dengan senyumnya."

Dapat kulihat Ader tersenyum-ini juga salah satu kebiasaan barunya. Ader kini sering tersenyum, terlebih kepadaku.

"Jadi, kamu jangan pernah berhenti tersenyum. Sesulit apa pun kehidupan kamu, senyum adalah hal utama yang tidak boleh kamu hilangkan," lanjutnya. "Ela mau janji?"

Aku mengangguk mantap disertai sebuah senyuman. "Tentu, aku janji."

Saat aku tengah menikmati suasana nyaman yang baru saja tercipta di antaraku dan Ader, sebuah suara tiba-tiba menginterupsi obrolan hangat kami.

"Nebula, saya tunggu di ruang kesenian."

Kepala kutolehkan ke arah sumber suara, dan berdirilah Brian di dekat meja kami. Wajahnya tegas, tetap seperti sebelumnya. Tangannya hendak menyalakan cerutu, namun diurungkannya, karena ada larangan merokok di kantin sekolahku. Meskipun beda, cerutu dan rokok itu serupa.

Aku menyipitkan mataku dan menatap Brian lewat sudut mataku. "Anda pikir saya sebodoh itu untuk masuk di jebakan yang sama?"

Brian menyilangkan tangannya di dada. "Bukan itu. Ada yang ingin saya bicarakan."

"Tidak mau!" aku menggeleng tegas. "Tidak akan pernah!"

"Ini mengenai keluarnya kamu dari ekskul lukis," kata pria itu, "kalau kamu benar-benar ingin keluar, konfirmasikan dulu dengan menandatangani surat pernyataan di ruang kesenian."

Bah!

Alasan tidak masuk akal. Sejak zaman aku masuk sekolah ini, tidak ada yang namanya surat pernyataan hanya untuk keluar dari suatu ekskul.

Sudah pasti itu jebakan!

Jangan-jangan isi surat pernyataan itu adalah pernyataan kesediaan untuk Brian bisa membunuhku, juga Ader, juga orang-orang yang penting dalah hidupku. Kalau sampai aku menandatanganinya, bisa gawat!

Aku tertawa mengejek. "Surat pernyataan?" tanyaku. "Anda rupanya benar-benar meremehkan saya."

"Bukannya meremehkan," Brian mengklarifikasi. Jarinya mengetuk-etuk meja kantin kami, sebuah kebiasaan seperti yang dilakukannya di ruang kesenian beberapa waktu lalu. "Tapi kamu itu memang terlalu bodoh."

NebulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang