21| Schedule

1.8K 138 5
                                    

Nasihat Mama kemarin membuatku bersemangat, entah karena apa. Nasihat Mama kemarin juga membuatku tidak terlalu memedulikan Ader lagi. Aku enggak marah padanya, tapi kalau dia yang mulai menjaga jarak denganku begini, aku bisa apa selain ikut menjauh?

Lagipula, mungkin dengan begini aku jadi bisa memercayakan segala sesuatunya pada diriku sendiri, tak lagi mengandalkan Ader untuk mengurus semuanya.

Aku masih ingat foto lelaki yang ditunjukkan Ader sewaktu dirinya masih dirawat di rumah sakit, lelaki yang dijulukinya Zero dan memiliki nama asli Zahran Abiputra. Aku tiba-tiba ingat saja, karena sejak kejadian Ader dirawat waktu itu, kami tidak pernah mendiskusikannya lagi, sedikit abai terhadap fakta tersebut lantaran serentetan ulah Brian akhir-akhir ini.

Padahal menurutku, Si Zero itu sedikit mencurigakan, dan bahkan Ader sendiri juga bilang ia mencurigainya saat itu.

"Neb!"

Kutolehkan kepalaku begitu mendengar panggilan Keysha, langsung kupasang air muka bertanya, apa?

"Duh, gue bingung kudu gimana, nih." Keysha merenggut rambutnya, pura-pura frustasi. "Jadi, ketua OSIS-Rama-tadi datengin gue, minta tolong anak ekskul lukis buat bantu dekor aula. Lo tahu sendiri, kan, mau ada kunjungan dari pelajar SMA luar kota ke sekolah kita," paparnya.

"Terus?" tanyaku, berusaha menyimak kelanjutannya. "Kan gue udah enggak ikut ekskul lukis lagi."

"Nah, itu masalahnya, Neb," sambar Keysha cepat. "Tadi Rama sempat minta gue anterin ke ruang kesenian, dia bilang mau lihat hasil kerja anak ekskul lukis, tuh, kayak gimana."

Aku masih menyimak tanpa banyak berkomentar.

"Nah, pas Rama ngelihat hasil lukisan lo yang masih ada di ruang kesenian, dia langsung berhenti di depannya, ngamatin lukisan lo lama banget, sambil berdecak kagum gitu. Bahkan dia ngefoto lukisan lo, Neb," lanjut Keysha. "Enggak lama setelah itu, dia selesai ngelihat lukisan-lukisan di sana, terus Rama tanya sama gue lukisan yang dia foto tadi punya siapa. Ya gue jawab aja punya lo, kan. Ngapain juga gue bohong."

"Intinya apaan, Key?" tanyaku dengan tampang sok polos, membuat Keysha semakin menggerutu antara sebal dan sedikit frustasi.

Keysha mengerucutkan bibirnya, sesekali mengeluarkan seruan sebal yang lirih. "Intinya, Rama minta bantuan anggota ekskul lukis buat ngedekor aula waktu acara kunjungan itu, tapi lo koordinatornya. Lo urus konsepnya mau gimana, tema dekorasinya apa, pokoknya semuanya atas ide lo."

Aku sontak membelalakkan mata. "Key, lo serius?"

Lawan bicaraku mengangguk mantap. "Untuk kedua kalinya gue tegaskan, ngapain juga gue bohong?"

Kini gantian aku yang mendesah frustasi. "Key, lo bilang sama Rama enggak kalau gue udah keluar dari ekskul lukis?"

"Bilang, Neb. Gue bilang. Tapi lo tahu sendiri watak ketua OSIS kita kayak gimana. Dia ngotot minta lo jadi koordinatornya. Titik, enggak ada protes lagi."

Aku menghela napas panjang, berusaha tidak merutuki ketua OSIS-ku yang seenaknya itu dalam hati. Setelah kurasa cukup, aku meminta kejelasan lagi pada Keysha perihal masalah ini.

"Rama minta ketemu sama lo nanti sepulang sekolah, di ruang kesenian."

Kalimat terakhir Keysha sebelum kami berpisah lantaran bel istirahat telah berbunyi sudah sangat jelas. Enggak ada lagi celah untukku menghindar, kecuali aku bisa berkelit dengan lihai macam belut saat nanti berembuk dengan Rama secara langsung.

* * *

"Permintaan gue cukup jelas, Neb. Juga gampang, kan, mengingat melukis itu hobi lo?" Rama memainkan pulpen di tangan kanannya, memutar-mutarnya, menangkapnya ketika pulpen itu nyaris tergelincir dari tangannya. "Kenapa diam? Lo setuju, kan?"

NebulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang