25| Brankas

2K 135 2
                                    

"Ini alamat kantor firma hukumnya." Zahran mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya dan melemparnya asal ke arahku. "Aku tidak memiliki kartu namanya, jadi jangan mengemisnya padaku. Sudah syukur kuberi alamat kantornya."

Aku menangkap kartu yang dilempar seenaknya oleh Zahran dengan gelagapan, langsung kubaca isinya dalam hati. Benar, ini bukan kartu nama. Hanya tertera nama sebuah firma hukum, nomor telepon dan juga alamatnya.

"Saranku, jangan mendatangi kantornya malam-malam begini. Ini sudah pukul setengah sembilan--eh, nyaris." Zahran kembali buka suara. "Mungkin malam ini kau bisa melakukan hal yang lebih bermanfaat. Mencari cara untuk melunasi utang ayahmu pada perusahaanku, misalnya, demi mendapatkan kembali rumah lamamu."

"Jangan bodohi saya," ucapku dingin. "Saya tahu benar utang itu hanya rekayasa Anda."

"Memang," sahut Zahran enteng. "Tapi kau lupa bahwa aku menjalin kerjasama-maksudku, bosku adalah orang yang memiliki firma hukum. Dia pengacara hebat. Kentara sekali siapa yang akan menang kalau begini." Pria jahat itu tersenyum penuh kemenangan.

Ayah Ader memilih mengatupkan mulutnya sejak beberapa menit lalu, pun sama dengan anak semata wayangnya. Mereka--anak dan bapak itu--sedari tadi hanya bertatap-tatapan dalam diam.

"Tunggu apa lagi? Kalian pikir aku masih akan membiarkan kalian berada di sini semalaman?"

Aku mendengus mendengar usiran menyebalkan Zahran. Tanpa mengucap sepatah kata pamit pun, aku melenggang pergi dari rumah pria itu menuju minimarket tempatku memarkirkan motor, disusul Ader dan Ayahnya yang juga mengikutiku ke minimarket tersebut.

* * *

Ketika aku menancapkan kunci motorku pada lubangnya, memutarnya, lantas berniat menghidupkan mesin motorku, Ader tiba-tiba saja mencegahku dengan berdiri begitu saja di depan motorku.

"Ada apaan?" tanyaku. "Kamu mau kutabrak?" kikikku geli.

Ader menggeleng, tak menghiraukan candaanku. "Kupikir Zahran benar, soal melunasi utang itu. Enggak ada salahnya juga. Nanti setelah semuanya berakhir, kita bisa memberikan kesaksian soal siapa yang benar dan siapa yang salah, bersamaan dengan dibekuknya otak dari kematian Papamu yang merupakan sebuah kesengajaan itu."

"Uangnya, Der?" kuputar kembali kunci motor hingga mencapai tulisan off, bertanya getir. "Kamu tahu sendiri kondisi finansial keluargaku seperti apa. Mana mungkin juga aku ngutang sana-sini."

Cowok itu maju hingga berada cukup dekat denganku yang masih duduk di jok motor, kemudian menyentil dahiku. "Kamu pelupa atau gimana?" kekehnya. "Ingat nomor kombinasi yang waktu itu kita pecahkan bersama?"

Aku mengerutkan kening, berusaha mengingat-ingat nomor kombinasi mana yang dimaksud Ader. Semakin dalam aku menyelami ingatanku, semakin aku mengingat banyak hal. Ya, nomor kombinasi yang itu. Yang kertasnya kudapatkan di ruang kerja Papa.

"3111?"

"Iya, El, yang itu," jawab Ader cepat. "Malam ini juga kita cari letak brankas itu--eh, kamu tidak ada PR yang harus digarap, kan?"

Kugelengkan kepalaku sebagai jawaban atas pertanyaannya.

"Nah, kesempatan bagus. Telepon Mamamu, bilang kamu akan pulang agak larut, bilang juga kamu bersamaku dan Ayah, semoga saja bisa meminimalisir kekhawatiran," saran Ader. "Oh ya, kalau bisa sekalian tanya perihal brankas Papamu. Bisa jadi Mamamu tahu letaknya."

Kuturuti saran Ader. Aku turun dari motor, mengeluarkan ponselku, kemudian menghubungi Mama.

"Sama Ader dan Ayahnya?"

"Iya, Ma."

"Lho, katanya tadi belajar bareng? Kok ada Ayah Ader juga?"

Kutepuk dahiku pelan. Bodoh, Neb! Kenapa bisa lupa tadi kamu izin ke Mama untuk belajar bersama?

NebulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang