3 | Belum Usai

48 4 0
                                    

Mama langsung memelukku begitu aku turun dari motor Ader. Matanya sembap, berkaca-kaca, bahkan tangisannya pecah seiring pelukannya padaku yang semakin mengerat.

"Papa meninggal, Neb ...."

Kalimat pendek itu berputar-putar di daun telingaku, sebelum akhirnya masuk lebih dalam dan menggetarkan membran timpani, terus masuk hingga sampai ke koklea dan impulsnya disalurkan oleh saraf pendengaran hingga ke otakku.

Proses tertangkapnya bunyi dan dengan cepat diterjemahkan oleh otakku itu berlangsung dalam kurun waktu kurang dari sedetik, langsung mampu membuatku terdiam tak percaya di pelukan Mama.

Mama tidak sedang bergurau, kan?

"Papa meninggal, Neb ...." Mama mengulang kalimatnya dengan suara lebih bergetar, kali ini disertai dengan gerakan tangannya yang mengelus-elus punggungku, berusaha menguatkan, meski tangis Mama yang semakin menjadi-jadi membuat hatiku justru turut tersayat.

Ader yang sudah mengerti apa yang terjadi mendekat ke arah kami, tapi tidak berusaha menguatkanku dengan kata-kata. Dia paling tahu aku benci dikuatkan dengan kalimat yang membuatku justru makin tampak menyedihkan. Aku lebih suka begini. Tenggelam dalam keheningan dan mencerna semuanya baik-baik, perlahan-lahan, sampai akhirnya kesedihan itu membuahkan titik air mata dengan sendirinya.

Bagiku, menangis bukan berarti aku lemah. Tangis lebih menunjukkan bahwa aku—pada akhirnya—bisa menerima semua kesedihan yang ada dan meresapinya dalam-dalam.

"Di mana Papa sekarang, Ma?" tanyaku pelan, nyaris tidak terdengar lantaran suaraku seolah terangkut, tertahan oleh sesak yang membuncah.

"Di rumah sakit, sedang diotopsi."

* * *

"Luka dalam, terjadi pendarahan pada otak akibat benturan di kepala belakangnya. Diperkirakan Pak Narendra tidak langsung mendapatkan pertolongan pascajatuh dari atap bangunan, atau rentang waktu jatuhnya dengan waktu jasadnya ditemukan cukup jauh, sehingga menyebabkan kematian." Dokter yang mengotopsi jasad Papa menjelaskan secara singkat. "Selain itu, hanya ada beberapa luka lecet dan lebam di beberapa titik tubuhnya, tidak serius. Sama sekali tidak berpotensi merenggut nyawanya."

"Anak buah saya masih berada di lokasi jatuhnya korban. Sejauh ini ada tiga kemungkinan. Kecelakaan tunggal; disebabkan kecerobohan diri atau semacamnya yang menyebabkannya jatuh, kecelakaan karena ulah pihak lain; sebut saja kesengajaan orang lain, atau tindakan bunuh diri." Pihak kepolisian setempat yang dipanggil untuk menangani kasus tersebut—dan memang ikut ke rumah sakit saat melarikan jasad Papa—ikut bicara, menjelaskan hipotesanya pada Mama, aku, dan Ader.

Dadaku berdentum-dentum mendengar kemungkinan-kemungkinan itu, terlebih kemungkinan terakhir. Bunuh diri. Meski otakku mati-matian membantahnya, karena aku tahu betul Papa orang yang seperti apa, tetap saja kemungkinan itu tak bisa dipungkiri.

Menurut kronologis yang dipaparkan pihak kepolisian, Papa terjatuh dari atap pabrik alas kakinya. Entah apa yang dilakukan Papa di atas sana, tapi itulah yang terjadi, diungkapkan langsung oleh salah satu saksi mata—dalam hal ini adalah salah seorang pekerja pabriknya—yang menyaksikan Papa terjatuh dari atas. Sayangnya, tidak ada saksi mata yang melihat penyebabnya di atas sana, atau kejadian sebelum itu. Pihak kepolisian belum bisa menyimpulkan karena bukti yang didapat masih sangat sedikit.

Aku pernah diajak ke pabrik alas kaki Papa beberapa kali, ingat betul bangunannya yang tinggi menjulang, dengan total luas lima hektare, mencakup gudang penyimpanan bahan, area parkir truk-truk dan kontainer-kontainer penyetor bahan baku maupun kendaraan distribusi milik pabrik, dan bangunan-bangunan lain. Kutaksir tinggi bangunan utama pabriknya setara dengan mal lima lantai, yang menurut salah satu teori bunuh diri memiliki potensi merenggut nyawa orang yang terjatuh dari ketinggian tersebut.

NebulaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang