Hari ini Sancia sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Sancia sengaja tidak memberti tau Brigita tentang hal ini. Sancia berfikir bahwa dia sudah terlalu banyak merepotkan sahabatnya itu.
Dengan keadaan yang belum pulih sepenuhnya, Sancia berjalan meninggalkan rumah sakit dengan langkah kecil-kecil. Sambil memegangi perutnya yang kian hari kian membesar, Sancia menangis dalam diam.
Mengapa hal ini terjadi padaku, Tuhan. Diumurku yang masih muda, seharusnya aku daat menikmati hidupku yang penuh tawa. Namun kau malah mengisinya dengan air mata. Ditambah lagi dengan hadirnya calon bayi ini ditengah hidupku yang susah. Tidak bisakah kau memberi sedikit kebahagiaan pada kami?
Tepat setelah Sancia merapal semua keluh kesah di dalam hatinya, sebuah mobil mewah berwarna hitam muncul dihadapannya.
Kening sancia berkerut keheranan. Tetapi, orang yang mengendarai mobil itu keluar dan menghampiri Sancia.
Tampan. Sangat tampan. Mungkin hanya ingin bertanya alamat. Pikirnya. Namun,
"Sancia? Kamu Sancia kan?"
Tanya pria itu dengan nada ragu. Lalu, pria itu menurunkan kacamata hitamnya yang menyembunyikan matanya yang berwarna hijau. Hijau yang mendamaikan hati.
"Iya saya Sancia. Maaf, anda kenal dengan saya?"
Sancia bingung, pria ini menatapnya lekat-lekat, seolah-olah mengenal Sancia secara luar dalam.
"Ya Tuhan, ini benar kamu. Astaga, Sancia, aku mencarimu bertahun-tahun. Dan baru hari ini aku dapat bertemu dengan kamu. Terima kasih Tuhan."
Sancia hanya mematapnya bingung, mencoba mengingat-ingat siapa pria dihadapannya ini.
"Kamu, lupa sama aku? Aku.."
"Suci? Kamu benar benar suci?"
Sancia melanjutkan ucapan pria itu dengan raut wajah berbinar ceria. Sudah lama dia merindukan sahabatnya ini.
"Ya ampun Sancia, sudah bertahun-tahun dan kamu masih memanggilku suci? Aku sudah lama tidak memanggilmu dengan nama suci, tapi kamu malah tetap memanggilku Suci."
Pria itu terlihat kesal atas panggilan Sancia, namun kekesalannya tidak bertahan lama. Karena setelah itu, dia langsung tertawa terbahak-bahak diikuti dengan suara tawa Sancia yang terdengar sangat merdu. Seperti suara malaikat.
"Oh maafkan aku, Sancho. Aku teringat panggilan kita saat masih SMA. kau tau sendiri kan, arti nama kita sama. Sama-sama suci."
Pria itu Sancho. Sancho Ardemo Draco. Pemilik Dracorporation.
"Ah ya, Sancia. Kamu pun masih tetap sama, sama-sama terlihat suci seperti namamu."
Setelah perkataan Sancho, Sancia mematung di tempat. Sancia sangat tau, bahwa sekarang dia tidak lagi suci. Dia telah ternodai. Sancia terkadang malu terhadap namanya sendiri. Namanya tidak pantas lagi untuk dirinya yang sekarang.
"Sancia? Kenapa kamu menangis? Apa perkataanku ada yang salah? Oh sancia maafkan aku."
Sancho menggiring Sancia masuk kedalam mobil mewahnya. Sementara Sancia masih saja terisak di kursi penumpang. Akhirnya Sancho memutuskan untuk membawa Sancia ke apartemen mewahnya.
"Kita ada dimana Sancho?" Sancia bertanya kepada Sancho yang dibalas dengan seulas senyum Sancho. Setelah tiba di dalam apartemen, Sancho menggiring Sancia duduk di sofa.
Sancia mengamati keadaan apartemen Sancho.
Hanya ada sepi.
Hanya ada sunyi.
"Aku kesepian, Sancia. Seperti hal nya kamu tau, aku sangat kesepian. Hidup mewah tidak selamanya membawa kebahagiaan untukku."
Sancho seperti tau apa yang ada di fikiran Sancia, tatapannya melembut.
"Kamu tau, Sancho. Hidupmu jauh lebih menguntungkan dibanding hidupku."
Sancho menatap Sancia dengan tatapan bertanya.
"Aku sedang hamil. 6 bulan."
Sancho menatap Sancia tidak percaya. Di usianya yang sangat muda bagaimana bisa Sancia melakukan hal bodoh itu tanpa memikirkan segala resikonya. Seakan tau maksud dari fikiran Sancho, Sancia menjawab,
"Diperkosa. Aku hamil karena diperkosa, Sancho!"
Sancia tersenyum kecut. Bahkan air matanya pun sudah mengering karena terlalu sering ditumpahkannya.
"Siapa yang melakukannya, Sancia? Katakan kepadaku! Akan kubunuh dia!"
Sancho mengeluarkan segala emosinya.
Marah.
Sedih.
Murka.
"Tidak perlu, Sancho. Aku tidak mau merusak hidupnya. Dia telah memiliki pendamping. Biarlah aku menjalaninya sendiri."
"Dia siapa, Sancia? Siapa?"
Sancho mengacak rambutnya. Melepas jas dan melonggarkan dasinya. Fikirannya kalut.
"Aku tidak akan memberi tau mu. Karena aku mengenalmu dengan sangat baik. Ketika kamu marah, kamu seperti api yang menghanguskan apapun. Ketika kamu marah, kamu akan kehilangan perasaanmu. Biarlah, Sancho."
"Baiklah, Sancia. Kali ini, biarkan aku yang menjagamu."
"Terima kasih, Sancho."
"Aku belum selesai bicara, Sancia. Aku akan menjagamu. Dengan menikahimu."
"APAAAA?"
____________
A/N Hai hai ketemu lagi nih. Kemaren kemaren gue lagi sibuk sama pensi dan ulangan semesteran, jadi slow update. Sorry ya. Kali ini gue mau ngebut niih biar cerita ini cepat selesai. Jangan lupa vote dan comment ya. Soalnya pengen bgt di notifikasi ada yg comment, ada yg vote. Rasanya kaya kebahagiaan tersendiri.Check profil yaaa, ada banyak cerita pendek yg seru abis looh! Thx uuuuu :*:*
KAMU SEDANG MEMBACA
BEAUTIFUL WOUND
ChickLitApa yang kalian rasakan jika berada dalam posisiku? Aku 20 tahun Jatuh cinta dengan pacar sepupuku Diperkosa Hamil Diusir dari rumah Hidup sengsara Anakku dicari semua orang Hidup nomaden Menyembunyikan identitas anakku Dan berjuang hidup dengan...