Bab IV

2.3K 137 4
                                    

"Elise, kau harus menolongku!"

Hal yang pertama terdengar oleh Tara sesaat setelah memasuki ruang kerja adalah suara manis Fransisca, seorang penyiar yang baru bergabung dengan stasiun radio mereka beberapa bulan yang lalu.

Fransisca berdiri di depan kubikel Elise. Make up tipis tampak memoles wajahnya dengan tepat. Tidak cukup menor untuk membuatnya terlihat lebih tua dari yang seharusnya, namun masih membuatnya tampak profesional. Ekspresinya nampak memelas kepada Elise, rekan kerja Tara sesama penyiar senior sekaligus sahabatnya.

"Maaf Sisca, tapi aku benar-benar tidak bisa." Elise menghentikan sebentar kegiatan mengecat kukunya dan mendesah. "Siaranku berlangsung dari pukul delapan sampai sebelas malam hari itu."

Tara mencoba mengingat-ingat. Elise benci siaran malam, dan seingat Tara, hanya ada satu hari dimana gadis itu setuju untuk siaran malam. Kamis.

Kedua penyiar yang tengah bercakap-cakap itu masih belum menyadari kehadiran Tara yang masih berdiri mematung di pintu.

Sisca mendengus sebal, tampak benar-benar menyesal. Saat ia menelengkan kepalanya dan mencoba memikirkan ide, ia menangkap sosok Tara. Binar cemerlang segera menghiasi bola mata biru pucat itu bersamaan dengan seruan antusias Sisca. "Tara!"

Tara Dupont hanya berdiri mematung saat juniornya itu datang menghampiri--nyaris menerjangnya. "Aku butuh bantuanmu, seniorku yang cantik, manis, dan baik hati!"

Bola mata Tara berputar pada Elise. "Berani taruhan ia mengatakan itu padamu lima menit yang lalu."

Elise tampak mengingat-ingat. "Dia tidak bilang aku baik hati, sih." 

"Tara..." Suara Sisca terdengar seperti rengekan.

Mau tidak mau Tara berkata, "Baiklah, coba katakan apa yang harus kubantu."

***

Hari-H


Yuuto mematut dirinya di hadapan cermin kamar hotel. Jas biru gelap yang dipesankan khusus oleh Le Lite membalut tubuhnya dengan sempurna. Dasi bermotif garis-garis diagonal berwarna abu-abu di atas kemeja putih di dalam setelah itu semakin menambah kesan mewah pada penampilannya.

Meski begitu, Yuuto tidak berpikir demikian. Berdecak pelan, ia melepaskan jas itu dan mengempaskannya begitu saja ke ranjang hotel, membiarkan jas biru itu bergabung dengan tiga setelan lainnya yang telah dicobanya terlebih dahulu. Dasi indah yang dikenakannya pun dilepaskan dengan alasan membuatnya merasa tercekik.

'Kami menyiapkan beberapa pakaian untuk Anda, Mr. Yuuto, pakailah apapun yang Anda sukai.'

Kata-kata Clement dan senyuman licik pria itu kembali terngiang dalam pikiran Yuuto. Laki-laki jepang itu menggeram, hampir menarik lepas kemeja yang dikenakannya begitu saja dari tubuhnya.

Apanya yang 'beberapa' pakaian? Semuanya sama, lima set setelan formal! batin Yuuto frustasi.

Bodohnya, ia langsung tertidur begitu saja saat mencapai hotel kemarin, tanpa sempat mengecek 'pakaian' yang disiapkan Le Lite untuknya di lemari.

Matanya melirik jam dinding, lima belas menit sebelum Clement menjemputnya ke ballroom hotel tempat jumpa penggemarnya akan dilangsungkan.

Yuuto bahkan tidak berniat mencoba setelan kelima berwarna merah marun yang masih tergantung rapi dalam lemari pakaiannya. Denyutan di kepalanya bertambah seiring berjalannya jarum jam, ia memejamkan mata dan mendesah.

Autumn In Paris : Sequel (Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang