Bab VII

1.9K 129 13
                                    

Note: I am so sorry for the super slow update, readers. Thank you for supporting this fanfiction. Leave some comments for me. :)

Penulis terkenal Ken mengajak perempuan prancis berkencan.

Tara tentu tidak mengharapkan headline seperti itu menghiasi halaman depan koran-koran dan majalah lokal negaranya, disertai foto dirinya yang berjalan di sebelah sosok Ken dengan wajah ditutupi mozaik. Perlu digarisbawahi bahwa ia cukup--baiklah, sangat terkejut dengan ajakan mendadak itu. Ia sampai harus mengusap matanya beberapa kali dan membaca ulang sms itu sampai ia sadar bahwa dirinya tidak salah membaca.

Tapi tidak, tidak. Tara menggeleng. Bisa saja maksud 'kencan' dalam konteks laki-laki itu sekedar menemaninya dulu, bukan? Seperti Tatsuya dulu. Yah, dan ia kembali mengenang laki-laki itu sekarang. Tanpa Tara sadari pun, debaran yang sama seperti dulu mulai bergemuruh dalam dadanya. Ia mempercepat langkah menuju tempat mereka sepakat untuk bertemu. Senyumnya mengembang kala melihat pohon berdaun kecokelatan pertama di taman. Ya, untuk ukuran seorang pria, Ken cukup romantis juga dengan mengajaknya bertemu di taman.

Romantis. Tara terkekeh dalam hati, mengenyahkan betapa anehnya jalan pikirannya sambil menelusuri taman, mencari sosok orang itu. Beberapa pasangan atau orang tua yang berpapasan dengan Tara menyapanya, yang semua dibalas dengan senang hati. Pagi hari itu terlalu indah untuk dilewatkan. Langkah riangnya terhenti saat dia akhirnya menemukan apa yang dicarinya.

Ken.

Laki-laki itu duduk menyilangkan kaki di bangku panjang taman yang diapit oleh dua pohon besar. Sisi bangku yang kosong tertutupi oleh beberapa daun berwarna kekuningan. Rambut cokelat Ken disisir ke samping, dengan kacamata membingkai wajahnya. Laki-laki itu tampaknya belum menyadari kehadiran Tara yang berdiri sekitar lima meter di hadapannya. Perhatiannya tersedot secara penuh pada buku yang sedang dibacanya.

Dalam hati kecil Tara, dia benar-benar berharap waktu dapat dihentikan olehnya selamanya. Jika hal itu tidak mungkin, berdiri di sana sepanjang hari pun ia tidak keberatan. Selama laki-laki itu tetap di sana.

Laki-laki itu menutup bukunya dan menengadah, saat itulah ia menyadari sosok Tara. Ia berdiri dan melangkah, mempersempit jarak di antara mereka. Saat Ken berhenti di depannya, Tara tahu ia harus mengucapkan sesuatu. Sekedar sapaan atau semacamnya, namun ia tidak menemukan kata-kata yang tepat.

"S-Sudah lama?" Suara Tara terdengar tercekik.

Ken mengangkat alis, kemudian melirik pembatas buku yang diselipkannya di antara halaman buku yang dibaca olehnya tadi. Suaranya terdengar sedatar pertama kali Tara mendengarnya berbicara. "Halaman 197, menurutmu?"

Tara tersentak, buru-buru melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya. Seingatnya ia tidak terlambat, atau jangan-jangan ia salah mengingat pukul berapa sebenarnya pertemuan mereka? Di tengah kepanikan Tara, senyuman kecil muncul di wajah Ken, lalu ia pun tergelak.

"Aku hanya bercanda, Ms. Dupont." 

Pupil mata kelabu Tara membulat, disertai semburat rona yang menghiasi pipinya. Ken baru saja bercanda dengannya? Mencoba terdengar datar, Tara bertanya. "Anda mau ke mana?"

Ken mengangkat bahu. "Tidak ada rencana khusus, kejutkan aku."

Mendengar jawaban cuek itu membuat Tara tidak dapat menahan rasa gelinya lebih lama lagi. Gadis itu terkekeh. "Tuan, Saya bukan tour guide atau semacamnya. Bukankah sebagai tamu, seharusnya Anda tahu ingin melihat apa di Paris?"

"Ms. Dupont, bukankah kau ingin mewawancaraiku? Bagaimana bisa kita lakukan itu kalau kau masih berbahasa sangat sopan dan terus menerus mengutamakan keinginanku lebih dulu?"

"Sa--aku tidak sedang mencoba mengutamakan keinginanmu, aku hanya mencoba mempertimbangkannya. Baiklah, kau akan menyerahkan tour hari ini padaku, kan? Ada rekomendasi lain?"

Pria itu tertawa pelan dan mengulang perkataannya.

"Seperti yang kukatakan Ms. Dupont: aku suka kejutan."

***

Saat Kawamura Yuuto menyebut 'kejutan', ia telah mempersiapkan seluruh opsi mainstrean yang mungkin akan dihadapinya: diajak ke museum prancis terkenal, menara Eiffel, dan mungkin fine dining di bawah cahaya purnama.

Tapi yang mengejutkan adalah, langkah pertama yang diambil Tara adalah mengajaknya menikmati brunch sekaligus tea time di sebuah bistro bernuansa medieval england. Alih-alih berusaha memikatnya dengan nuansa mewah dan makanan bintang lima, makanan-makanan yang tersusun di hadapan Tara dan dirinya hanya kue dan makanan sederhana seperti muffin dan scone.

Yuuto senang mengamati gerakan-gerakan kecil yang dibuat oleh gadis itu. Seperti saat ia memeluk kuping cangkir teh dengan jari lentiknya, saat ia mendekatkan cangkir dan meniup-niup pelan uap yang keluar dari dalam, bagaimana ia menyesap camomile tea-nya dengan perlahan, lalu mendesah pelan penuh kagum tatkala cairan kekuningan itu membasahi tenggorokannya.

Menyadari diri diperhatikan, Tara buru-buru berdehem. "Kau tidak makan?"

Yuuto menyentuh cangkir kosongnya yang sebelumnya telah di-refill tiga kali. "Aku juga belum melihatmu makan dari tadi."

Tara mengangkat bahu, menjawab acuh-tak-acuh. "Diet."

Tara bukanlah perempuan yang kelebihan berat badan. Jangankan gendut, Yuuto bahkan tidak dapat menyebut tubuh mungil itu dengan sebutan 'berisi'. Laki-laki itu menaikkan alis, disusul mengamati Tara sejenak. "Kau tidak tampak ge--maksudku, orang yang perlu berdiet."

Baiklah, setelah ucapan itu terlontar darinya barulah Yuuto menyadari seberapa tidak pantasnya hal itu untuk diucapkan. Ia belum mengenal Tara cukup lama untuk berkomentar mengenai hal yang cukup sensitif bagi para wanita: berat badan.

Rasanya tidak mengherankan apabila Tara melotot dan menjawab ketus. Yuuto telah mempersiapkan diri saat tawa renyah gadis itu terlepas ke udara. Ia tertawa terpingkal-pingkal, sangat kontras dengan sosok Tara yang tampak anggun menyesap teh tiga menit yang lalu. Yuuto kebingungan, namun memilih untuk tidak berkomentar hingga tawa itu mereda.

"Maaf," ujar Tara sesudah tawanya mereda dengan satu tangan masih memegangi perutnya. "Tapi ini lucu sekali. Aku berani bersumpah kau tampak sangat dingin dan menyebalkan saat bertemu denganku kemarin--berbicara soal profesionalitas dan semacamnya, lalu  malam harinya kau mengajakku berkencan. Satu jam yan lalu kau memintaku untuk berhenti berkata sopan dan menjadi tour guide-mu dan sekarang aku sedang duduk berdua denganmu...aku--gadis seharusnya mewawancaraimu--malah mendapat komentar mengenai berat badan darimu. Astaga..."

Rentetan kalimat Tara yang semua diucapkan dalam satu tarikan napas itu membuat Yuuto bingung. Ia menelan ludah, melemaskan bahunya dan bersandar ke punggung kursi, berusaha bertanya sepelan mungkin. "Apakah kau marah?"

"Marah?" Tara balas bertanya dengan senyum terkulum. "Tidak, mungkin lebih mengarah kepada takut. Apa kau yakin kau tidak berkepribadian ganda dan semacamnya? Kudengar beberapa seniman--termasuk penulis--melakukan itu. Kau tahu, menciptakan alter ego lain saat berkarya."

"Aku tidak keberatan memilikinya jika bisa melihatmu seperti tadi, Ms. Dupont."

Kali ini gantian Tara yang tampak bingung. "Maksudmu?"

"Kau tertawa, Tara Dupont, dan ini pertama kalinya aku melihatmu melakukannya." Yuuto tersenyum. Bukan senyuman sinis atau sejenisnya. Kali ini Tara dapat merasakan ketulusan senyum itu. Pandangan matanya juga terkesan teduh, namun memancarkan suatu kehangatan yang telah lama tidak dirasakannya.

Kehangatan yang mungkin dapat mencairkan hatinya yang telah beku sejak Tatsuya meninggalkannya.


Autumn In Paris : Sequel (Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang