Bab XI

1.7K 116 14
                                    

Author's Note: I was enjoying a cup of coffee at the airport as I wrote this part, and felt the need to mention how emotional this piece have grown in me. Thanks for all of the supports, I sincerely appreciate it.

***

Langit Paris tidak pernah mencerminkan suasana hati Tara setepat hari itu.

Dengan mata sembab dan tubuhnya yang lunglai, gadis itu tampak seperti mayat hidup. Setahun sudah Tatsuya meninggalkannya, namun tidak sedetikpun kenangan itu meninggalkan pikirannya.

Ingin rasanya Tara menghantamkan kepalanya ke tembok bata sebuah butik yang baru dilintasinya, berharap benturan keras dapat menyebabkan amnesia permanen tentang Tatsuya dari kepalanya.

Konyol memang. Bahkan saat ia menatap ke etalase toko, Tara melihat bibirnya melengkung, menghadiahi dirinya sendiri dengan senyuman kecut simbol kasihan. Ia tampak menyedihkan. Bahkan Sebastien sudah menyerah.

'Dengar, Tara. Terus terang, aku tidak tahu bagaimana cara untuk menghiburmu. Jika ada yang bisa kulakukan untukmu, kumohon katakanlah. Apapun, apa saja, asal kau tidak seperti ini.'

Kalimat itu diucapkan dengan nada pedih. Sebastien tidak melakukan apa-apa, hanya meletakkan kedua telapak tangannya di bahu Tara dengan kepala tertunduk. Sebulir air mata menitik ke bawah, dan itulah pertama kalinya Tara melihat Sebastien Giraudeau menangis.

Ironisnya, ia tidak mampu memberi jawaban apa-apa selain menatap pria itu dengan tatapan kosong.

Sebuah pekikan nyaring spontan mengaburkan lamunannya. Disusul dengan derap langkah orang-orang yang segera membentuk kerumunan melingkar di tengah jalan raya.

Tabrakan? Kecelakaan? Perampokan? Berbagai dugaan muncul di benak Tara. Melihat kerumunan orang-orang, jelas ia tidak perlu ikut campur. Bantuan akan datang untuk korban. Namun kakinya menolak logika itu dan tetap membawa Tara menerobos kerumunan orang-orang untuk melihat wajah orang itu.

Dan saat sosok itu akhirnya tertangkap oleh matanya, sesuatu seperti menghantam dada Tara. Untuk pertama kalinya dalam satu tahun terakhir Tara dapat merasakan detak jantungnya, begitu kuat, menggedor rusuknya hingga terasa sakit. Ia jatuh terduduk, kehilangan tenaga di kedua kakinya. Air matanya yang semula telah mengering mendadak kembali, meluapkan rasa takut dan rindu.

Dengan susah payah, Tara meletakkan kepala orang itu di pangkuannya. "Bertahanlah. Ambulans akan segera datang." ucapnya lirih, nyaris tidak terdengar.

Pria itu tampak setengah sadar, dan tidak mengerti perkataannya, membuat Tara mengulang kalimat itu dalam Bahasa Inggris. Mungkin ia memang berhalusinasi, mungkin ia sudah mulai gila, namun wajah orang itu adalah wajah Tatsuya di matanya.

"Kau begitu mirip dengannya." Air mata mulai meleleh menuruni pipi Tara.

"Your... name?" Suara itu terdengar serak, bagai menahan kantuk yang luar biasa. Tara terkejut mendengar pertanyaan itu. Mata pria itu mengerjap, lalu tertutup sesaat sebelum ia sempat menjawab.

"My name is..."

Suara sirine ambulans memekakkan yang telinga bergemuruh di udara. Para perawat menerobos kerumunan orang-orang dan segera membawa pria itu untuk pertolongan pertama. Meninggalkan Tara, yang terduduk lemas di tengah jalan, tak sempat berkata apa-apa.

***

"Dan, itulah wawancara eksklusif kami dengan Ken! Dengarkan terus siaran kami dan nantikan kedatangan tamu-tamu lainnya."

Autumn In Paris : Sequel (Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang