23. "...kematian jiwaku"

8.1K 322 35
                                    


Kissanda berjengit kaget mendapati Imel yang tengah burusaha membawa travelbag-nya menuruni anak tangga. Dia langsung berdiri dari duduknya "Jangan begini Mel" ucapnya panik.

Imel tak menjawab hingga dia berhasil sampai di dasar tangga, berhadapan dengan Kissanda "Jadi aku harus bagaimana?" Tanyanya dengan wajah biasa saja.

"Ku mohon Mel"

Arjuna berjalan mendekati mereka. Matanya bertemu dengan mata milik Imel, yang masih setia dengan wajah datarnya. Arjuna mengurungkan niatnya untuk bicara ketika matanya tertuju pada travelbag milik Imel.

"Kalian tak perlu khawatir, aku tidak akan meminta cerai. Itu, tidak ada di kamusku. Aku juga tidak akan pulang ke rumah orangtuaku, itu tidak akan. Tidak akan ada yang tau di mana aku tinggal selama kita tutup mulut dan saling menjaga rahasia masing-masing"

"Mel, kumohon" ucap lirih Kissanda.

Imel tersenyum sungkan "Aku tidak bisa menjamin perasaanku jika terus menerus tinggal serumah dengan kalian, terutama Arjuna. Aku telah jatuh cinta padanya, jauh sebelum pernikahan ini. Maaf"

Kissanda terdiam. Arjuna menatap Imel dengan raut tak terbaca.

Imel tersenyum "Maaf, aku pasti akan baik-baik saja. Kalian tidak perlu mencari atau mengkhawatirkanku. Aku permisi" Imel segera menyeret travelbag-nya. Tanpa berbalik dia berlalu begitu saja.

Arjuna dan Kissanda masih setia di posisinya. Terdiam, terpaku, tenggelam ke dalam pikiran masing-masing.

###


Imelda

Aku memeluk erat Sky di motor. Sebelum aku membereskan barang-barangku, aku terlebih dulu menghubunginya meminta agar dia menjemputku. Entah apa yang ada di pikiranku, seharusnya aku bahagia'kan? Tapi kenapa mata dan perasaan sialan ini merasa berat dan buliran-buliran ini terus mengalir tanpa kuminta?

Aku menbenamkan wajahku di punggung kekar milik Sky, tak perduli sebasah apa jacket kulit hitam miliknya. Dia hanya diam, berkonsentrasi mengendarai motornya.

Aku sendiri merasa asing dengan diriku saat ini. Emosi yang dengan mudahnya naik turun, perasaanku yang labil, dan yang paling menjijikan adalah selalu ingin berdekatan dengan Arjuna. Padahal aku sendiri tau, itu hal yang mustahil.

Lihatlah-- baru beberapa langkah aku meninggalkan Arjuna, batinku seketika merasa sesak. Aku hanya ingin menangis sekarang.

Oh Tuhan, apa segitu berartinya Arjuna untukku saat ini? Apa aku sekarang menjadi begitu tidak tahu diri, hingga tidak sadar dengan posisiku sekarang? Mustahil, aku bisa bersama Arjuna sekalipun sebuah pernikahan telah mengikat kami. Dari awal dia tidak menganggapku, melirikku sedikitpun tidak. Dia hanya mecintai Kissanda-- hanya Kissanda!

Aku hanya menangis sesenggukan di atas sofa di kamar Sky, di hotel tempat dia tinggal saat ini. Aku membenamkan wajahku di tanganku yang bertopangkan lututku. Entahlah. Aku sebenarnya tidak ingin menangis, untuk apa?

Tapi mataku serasa panas, air mataku terus meleleh. Ya Tuhan-- ada apa dengan perasaanku ini?! Aku butuh waktu untuk menenangkan dan memantapkan perasaanku. Ini harus jadi yang terakhir untukku menangisi si brengsek itu, harus!

Cahaya matahari pagi menyilaukan mataku yang secara malu-malu masuk ke indra penglihatanku. Aku mengerjabkan mataku untuk menyesuaikan dengan cahaya, terasa silau dan berat. Mungkin efek dari aku yang menangis semalaman.

Saat aku membuka mataku dengan sempurna, orang pertama yang aku lihat adalah Naomi. Naomi yang menatapku senduh. Astaga, aku tidak ingin diberi tatapan seperti itu, tatapan antara rasa iba, dan prihatin. Itu membuat aku merasa menjadi orang yang mengenaskan.

"Skypaper"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang