BAGIAN 3

1.9K 125 2
                                    

BAGIAN 3-BERANGKAT

“KAREEEN!!!”, pekik Retha sambil berjingkrak-jingkrak riang seperti masa kecilnya. Ia membayangkan dirinya mengenakan kostum Mini Mouse dan Karen mengenakan kostum Mimi Hitam, lalu mereka berdua saling bergandengan tangan sambil terus melompat di atas trampoline

Tanpa batas, yeah!, pekik Retha di dalam hatinya. Ia benci mengingat usinya yang sekarang, yang membuatnya terlihat tidak pantas lagi untuk mengenakan gaun mini merah bercorak polkadot putih.

“Gimana kabarmu, ayaaaank?”, tanya Karen sambil memeluk Retha dengan eratnya.

“Kabar gue…” Kalimat Retha menggantung sejenak. Ia melirik layang-layang yang tersangkut di pohon. “Baik”, lanjutnya dengan nada datar.

“Bukan suara Retha”, gumam Karen sambil mencibir. “Suara Retha gak gitu…”

“Heh, inget usia kita…”, sahut Retha sambil menarik Karen masuk ke ruang tengahnya yang luas.

“Wuaaaah…” Karen memutar matanya, mengagumi sofa antik bergaya victoria, lampu kristal yang tergantung di langit-langit, karpet bulu yang menggelitik kaki dengan ramahnya, ukiran jepara yang memenuhi dinding, dan mini bar bergaya western di sisi kirinya. “Hadi sukses, ta!”, seloroh Karen sambil berputar terus. Karen sepertinya tidak memperdulikan semua benda-benda indah yang dilihatnya itu dipenuhi debu. Sementara Retha mengerjapkan matanya, melihat gasing berbibir menor, berputar terus di ruang tengahnya. “Setop!”, sentak Retha sambil menahan bahu Karen agar bisa memaku sejenak ke satu titik saja, ke hadapannya. Retha sudah siap meletuskan curahan hatinya selama lima tahun.

“Gak ada warna dalam hidup gue”, mulai Retha sambil menghempas duduk ke sofanya. “Gak ada… kemenangan…”, sambungnya lagi dengan suara yang melemah, letih dan lesu. Ia bahkan lupa menawarkan Karen minuman ataupun hidangan lainnya.

“Berhubung gue diet”, kata Karen, “jangan tawarin gue apapun…” Ia mengekeh.

“Oh, iya!” Retha menemplak dahinya seraya bangkit berdiri kembali. Ia membayangkan dirinya sebagai ABK kapal yang siap memberikan servis terbaik pada para penumpang kapal pesiar yang melaju ke antartika, sebelum kapal itu karam.

Langkah kaki Retha terdengar meriakkan lantai rumah dengan sandal jepitnya yang berciplak-ciplok, menggaung hingga ke ruang makan yang menyatu dengan dapur dan pantry. “Mau minum apaaaaa?!” Retha berteriak.

“Gimana kaloooo… bawa’in gue minuman dingin, terus dapet piala?!”

Retha sudah melayang tanpa menjejak ke lantai, mendapati Karen di hadapannya lagi. Retha baru saja membayangkan dirinya sebagai pesawat UFO yang menyambut panggilan. Ia tak berharap dirinya terbayangkan sebagai kuntilanak ataupun hantu sadako. “Apa kata lo, tadi?”, tanya Retha, ingin memperjelas.

“Kompetisi. Mau ikutan?”, sahut Retha sambil senyam-senyum.

Bibir tipis Retha membuka penuh, bukan menunggu suapan nasi. “Kompetisi…” Ia menyuarakannya dengan mendesis. “Piala… menang…” Matanya mulai menyala-nyala, dalam kobaran kemerdekaan yang dicari-carinya. “Mungkin itu yang gue butuhin…”

“Ah?” Kedua alis Karen sudah saling bertautan.

“Hadi selalu menang. Hadi selalu berprestasi. Hadi selalu jadi juara. Hadi selalu jadi idola. Hadi selalu…” Kalimat Retha menggantung. Ia melihat lampu kristal yang tergantung di langit-langit ruangan. Bagaikan dirinya, seandainya ia berkemilauan seperti itu. Sayangnya, Retha membatin sambil menatap ke Karen lagi, enggak.

“Bukannya elo… harusnya ikutan bangga?”, tanya Karen dengan mata memicing dan kening berkerut-kerut. Ia menangkap kedukaan menahun di kerutan wajah Retha yang mulai menggurat tipis-tipis.

RETHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang