BAGIAN 12

1.2K 96 1
                                    

BAGIAN 12-MENANG?

Pagi menjelang…

Mata Retha masih membuka penuh, bersiaga menghadapi layar laptop-nya. Ia menatap tajam, lurus ke depan, memelototi layar itu bagaikan menatap musuh di medan perang. Keningnya berkerut-kerut dan matanya mulai memicing. “Apa aku udah bilang kalo aku butuh klimaks?” desisnya. Ia menoleh ke belakang. Tidak ada siapapun yang menyahutinya. Fino sudah pergi dari tempatnya dan akan berangkat ke Bali besok.

***

“Retha!!!” Karen memekik senang, duduk berhadap-hadapan dengan Retha di sofa nyaman ruang tunggu VIP sebuah butik ternama. “Gue seneng, lo dateng!!!”

Retha memeluk Karen kemudian melirik arlojinya. “Tapi ‘gak bisa lama-lama.” Ia sudah terlihat gelisah.

Karen menaikkan satu alisnya. “ng… lo ada acara lain?”

Retha terdiam. “Gue harus nulis… klimaks. Belum dapet juga sampe sekarang.” Ia melengos di sofa sambil bersandar ke belakang.

“Oh, kompetisi itu…”, gumam Karen. “Gue baru tahu, lo mau ikutan kompetisi sebidang sama Hadi.”

“Gue bingung, gimana nulis klimaks-nya.”

“Lo bilang, bidangnya Hadi itu cemen. Bukannya lo lebih suka Hadi bisnis, ketimbang nulis?”

“Gue suka nulis”, sahut Retha. “Tapi gue ‘gak bisa nulis klimaks buat cerita gue kali ini…”

“Apa hubungannya Hadi sama klimaks?”

“Gue bingung, Karen…” Retha sudah melengos lagi sambil terus melirik arlojinya.

“Lo lagi sibuk?”

“Klimaks!” Retha memekik. “Gue butuh klimaks yang bikin gereget!”

“Lo rileks aja dulu!” Karen mulai terlihat jengkel.

“Apa gue buat tokohnya mati aja semua? Demi cinta?” Tetapi kemudian wajah Retha mengerenyit masam. Ia tidak menyukai idenya barusan.

“Itu…”

“Cinta tragis yang terkesan dangkal.” Retha menyambung sambil melirik arlojinya lagi. Lalu menerawangkan matanya. “Mana klimaks?” Ia berucap pelan dengan nafasnya yang tinggal satu-satu.

Karen mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Lalu menyodorkannya pada Retha. “Buat lo, nih. Suka ‘gak?” Karen tersenyum lebar, menantikan Retha menjerit seperti biasanya, di setiap kali ia menerima hadiah kejutan.

“Mungkin tokohnya harus beraksi lebih dramatis kali, ya.” Retha menggumam kecil sambil menerima sekotak miniatur tokoh-tokoh kartun favoritnya. “Tapi dalam kehidupan nyata gue sendiri, tindakan dramatis akan gue pikir dulu berulang kali…” Ia tertawa getir.

“Lo suka?” Karen meminta respon Retha mengenai hadiah yang dibawakannya. Sementara mata Retha menerawang ke kejauhan. “Ah”, Ia bersuara lagi, “klimaks ‘gak harus ditampilkan dengan aksi dramatis. Bagaimana dengan ketenangan yang menyimpan emosi mendalam, yang kemudian dibukakan? Lalu… boom!“

“Retha!” Karen memotong.

“Ah?”

Karen melirik arlojinya. “Gue harus ‘ngepas baju”, katanya. “Gue tinggal dulu, ya.”

Retha pun mengangguk. Kemudian pikirannya kembali melanglang buana ke dunia di dalam ceritanya.

Dan setengah jam kemudian di saat Karen kembali, Retha sudah tidak ada. Karen hanya menemukan selembar pesan dari Retha.

RETHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang