BAGIAN 13

1.2K 95 3
                                    

BAGIAN 13-SELISIH JALAN

Esok paginya, Retha memekik kegirangan sambil melonjak dari kursinya dan hampir saja terjatuh. Ia terus melompat-lompat sambil berputar-putar di lantai kamar kost-nya. Ia baru saja menerima kabar gembira di emailnya. Tulisan tahap keduanya… lolos.

“Aku lolos!!!” Ia memekik. “Kakiku adalah kaki kuda! Aku bisa memijak tempat yang ingin kupijak!”

“BERISIK!!!” pekik suara di kamar sebelah.

Retha pun mendengus dan menyahuti, “Kan ujiannya udah lewat?! Ini juga masih pagi, ‘kan?!”

“Gue ngulang lagi!!!” sahut suara berat di kamar sebelah. “Dan gue abis bergadang semalaman, belum tidur! Jadi tenang sedikit!!!”

Retha terdiam. Ia membayangkan dirinya ada di negeri awan. Bila ia ingin menapakkan kaki, ia harus menapakkannya seringan kapas dan bergerak sehalus hembusan angin atau tubuhnya akan amblas ke bumi dan akan ada orang yang memekik lagi padanya, “BERISIK!!!”

Retha melangkah setapak seperti penari, kemudian memutar halus menyatukan satu kakinya yang lain, untuk merapat ke kakinya yang sudah bergerak lebih dulu. Intinya, ia beranjak ke kamar mandi untuk bersiap-siap. Ia ingin menemui Hadi dan menyampaikan kabar gembira ini padanya. “Kakiku adalah kaki kuda”, bisiknya di dalam kamar mandi. Ia membuka keran air dengan memutarnya sedikit dan perlahan-lahan. “Terlalu kecil airnya”, katanya, sambil memutar kerannya lagi. BRSSHHHH!!! Airnya mengalir dengan kencang dan deras, seperti air terjun di imajinasinya. Lumut di seputar bibir keran, dianggapnya sebagai alam hijau di sekitar air terjun.

Retha memasang telinganya, menunggu adakah keluhan “berisik” yang akan menyeruak keluar dari balik dinding kamarnya lagi. Tidak ada. Hanya terdengar suara air yang meluncur deras dari keran.

Beberapa menit kemudian, telepon genggam Retha berbunyi berkali-kali, tetapi Retha tidak bisa mengangkatnya karena ia juga tidak bisa mendengarnya.

***

Hadi sudah mengingsut cairan di hidungnya. Ia mematikan telepon genggamnya. “Kamu bener-bener pergi ikut Fino…”, rintihnya lirih. Ia menoleh ke meja pantry, mengenang Retha menggigit jemari tangannya, memandangnya dengan mengiba seraya berbisik, “Jangan pergi, kekasih.” Retha terdengar dan terlihat konyol.

Dan jawaban Hadi saat itu…

“Bisa ‘gak, kamu berhenti mengkhayal? Aku Hadi, suami kamu. Bukan kekasih lagi.”

“Ups”, sahut Retha di saat itu, “aku membayangkan kamu sebagai kekasihku. Bisa ‘gak, kita pacaran lagi?”

Hadi melihat kenangan itu buyar bagaikan cermin yang pecah berantakan. Kini ia bisa melihat apa yang Retha lihat selama ia menunggu di rumah.

Hadi memutar matanya, melayang ke ruangan demi ruangan, melihat jejak yang tertinggal di dalam ingatannya. Ia melihat Retha berdiri di dapur, membungkuk sedikit untuk membuang sampah. Kemudian Retha mondar-mandir melewatinya dengan kostum konyolnya, menggodanya.

Hadi melayangkan matanya ke ruang tengah. Ia melihat Retha duduk di sofa itu, memandangnya nyinyir, dengan pulasan lipstick menornya dan gelungan rambutnya yang bergaya tahun tujuh puluhan, sambil mendesis padanya, “Rahasiamu… telah aku pegang.” Retha berlagak seperti agen rahasia yang menyamar di saat itu. Dan Hadi menyahutinya, “Aku sibuk. Bisa ‘gak, kita main beginian lain kali?”

Hadi melangkah ke kamar utama dan melayangkan matanya ke ranjang besar. Ia mengenang Retha dengan lingerie seksinya di situ. Pistol laras pendek yang Retha beli di toko suvenir, tersisip di balutan stocking paha kanannya. Retha mengarahkan ujung pistol yang berfungsi sebagai korek gas itu ke arah Hadi sambil mendesis, “Aku berbahaya. Diam di situ dan jangan bergerak. Kamu tertangkap… basah.” Retha menjilati seputar bibirnya dengan gaya yang menurut Hadi… sangat berlebihan. Dan Hadi menyahutinya, “Kamu merusak mood-ku untuk menulis tentang cinta. Gak ada ancaman di dalam hal mencintai. Mencintai dengan benar.”

RETHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang