BAGIAN 5

1.4K 100 1
                                    

BAGIAN 5-KEGAGALAN BERSAMA

“Aku ‘gak percaya, aku gagal di audisi kelima!!!” pekik Retha di ruang tunggu. Suara mengisaknya sudah terdengar ke sekelilingnya. Fino melangkah lunglai sambil langsung merelungkan lengannya ke bahu Retha dan menariknya keluar, menyudut ke tempat yang lebih sepi.

Retha sudah duduk di tepian kolam besar yang permukaannya lebar. Angin malam bertiup kencang, menghempas helaian rambutnya ke sana-sini, menyamarkan mata sembabnya dan raut kecewanya. “Aku bayar harga untuk bisa sampai ke sini!!!” pekiknya lagi.

Fino bergerak turun untuk setengah berlutut di hadapan apitan kaki Retha yang menekuk. “Kamu ‘gak sendirian…”, tuturnya dengan suara menipis. Retha hampir tidak mendengarnya.

“Aku juga gagal…”, sambung Fino, membahasakan dirinya dengan lebih akrab setelah lima minggu akrab dengan Retha. Ia menyuarakannya dengan nafas yang tinggal satu-satu seraya menggenggam tangan Retha erat-erat.

“Apa?!” Retha menatap Fino lekat-lekat. “Apa mereka buta?! Kamu bisa bergerak dengan begitu bagusnya!”

“Aku gagal saat melakukannya bersama team. Saat berdansa solo, aku unggul. Mereka bicara tentang keselarasan, Retha. Dan aku gagal.” Mata Fino sudah mengerjap-ngerjap perih. Retha pun melorot turun dari permukaan tepian kolam dan memeluk Fino dengan erat. “Impian kamu gak berakhir di sini, Fino…”, tutur Retha pelan, melupakan kekecewaannya sendiri.

Retha bisa mendengar nafas tersengal Fino, yang seakan siap meledak untuk mengungkapkan semua rasa frustasinya. Fino sudah bercerita pada Retha sebelumnya, bagaimana ia selalu gagal meraih apa yang dicita-citakannya. Ia tidak mampu berkompetisi meskipun di banyak hal, ia sepertinya unggul. Fino membalas pelukan Retha dengan lebih erat. Dan semakin erat lagi. Retha merasakan ada tanaman sulur yang menggesek ke kulitnya, merayap ke pinggangnya, sedikit menggelitik lalu melilitnya kuat-kuat. Fino mendekapnya terlalu… ketat. Retha bisa merasakan rasa gemas di otot-otot lengan Fino yang mengeras.

***

Retha dan Fino memutar pandangan matanya ke seisi ruangan apartemen kecil yang mereka sewa. “Ini… cuma satu kamar?” tanya Fino pada pemilik satu ruangan tipe studio dengan satu kamar tidur, satu kamar mandi, satu ruang tengah yang menyatu dengan pantry dan dapur.

Pemiliknya bertubuh pendek dengan rambut menipis di bagian dahinya. Wajah ramahnya memiliki sepasang mata yang menyipit bila tertawa. Ia pun menyahuti dengan lugas, “Cuma ini yang kosong. Yu boleh cali tempat lain, juga satu kamal, ha…”

“ng…” Fino mengguman seraya beradu mata dengan Retha.

“Udahlah, yu ambil ‘ni kamal”, kata si pemilik tempat itu lagi, “Toh, yu beldua belum punya anak, ha. Sementala mah, is okay lah… namanya juga, penganten balu.”

Retha sudah senyam-senyum sementara Fino menggaruk-garuk kepalanya. Ia melirik Retha lagi kemudian menganggukan kepala pada si pemilik.

Good choice”, sahut di pemilik, “owe kasi yu beldua fasilitas lain. Fulnitul, ay ‘gak kasi chalge… bole, yu pakai glatis. Halga sewa tetep sama, ha. Nah, yu beldua bisa hepi, kan?” Ia menutup kalimatnya dengan tawa mengekeh. “Moga-moga, yu beldua bisa cepet punya momongan…”, sambungnya.

“Terima kasih, Pak”, sahut Fino, “kami ambil yang ini.”

“Nih, kunci nya…” Si pemilik menyarangkan kunci itu ke tangan Fino. Fino pun menyodorkan sejumlah uang sebagai bayaran di muka, ke tangan si pemilik.

Okay lah… hepi day, ya…”, kata si pemilik sambil melangkah keluar dan menutup pintunya rapat-rapat.

Fino pun menghela nafasnya dalam-dalam. “Kita baru aja bohong", bisiknya pada Retha sambil melirik ke pintu yang baru menutup tadi. "Dan apa yang harus saya jelaskan ke Pak Hadi kalau dia tanya…”

“Hei”, Retha menyahuti cepat, “kamu bantu beres-beres tempat ini karena gak ada tanaman bunga di sini, kan?” Ia mengekeh kemudian merebah ke sofa sambil memandangi langit-langit ruangan. “Ada baby alien di dalam rongga dadaku”, ucapnya lirih, “mungkin umurku ‘gak lama lagi…” Kemudian ia menoleh ke Fino yang sudah tertawa tergelak-gelak. “Jangan tangisi kepergianku nanti, ya…”, sambung Retha lagi. Dan PLUK! Fino sudah melemparkan satu bantalan sofa ke wajah Retha.

“Akh!” pekik Retha, “kejamnya dikau yang membunuhku dengan... bantal ini!” Ia melempar bantalan itu kembali ke arah Fino. Perang bantal pun terjadi. Retha sudah melihat dirinya dalam seragam SWAT. Sementara Fino adalah vampir preman berjubah hitam. “Menyerahlah!!!” pekik Retha sambil berguling ke bawah dan merangkak ke belakang sofa. Lalu kepalanya menyembul sedikit ke atas, melihat Fino melayang di udara, menyeringai lebar, menunjukkan sepasang gigi taringnya yang menagih janji.

Retha pun menyuarakan suara senapan mesin. Tetapi Fino tidak roboh juga. Ia malah tertawa terbahak-bahak dengan suara menggelegar, sementara kedua tangannya tersangkut di pinggangnya, menantang senjata mesin Retha. “Gak mempan, Retha!” kata Fino. “Aku kebal dari peluru biasa!!!”

“Tapi, tadi peluru perak!” sahut Retha sambil menyuarakan deru senapan mesin lagi dari mulutnya. “Kamu harus mati, Fino!!!” pekiknya. “Mati, dong!!!”

“Akh!” Fino memekik sambil memegangi dadanya. Ia pun terhuyung jatuh dan Retha langsung menghambur ke arahnya dengan tangan terulur, seakan ada senapan mesin yang dipegangnya. Ujung jari Retha menukik turun, menggelitik pinggang Fino. Fino pun membuka matanya kembali dan berguling cepat seraya merebahkan tubuh Retha dan menindihnya. “Sekarang”, desis Fino, “aku akan menggigitmu!” Ia pun menyorongkan wajahnya untuk menelusup ke leher Retha dan mengecup ke situ.

Retha membelalakkan matanya. Ia tidak sedang berimajinasi. Ia merasakan lidah Fino menyapu ke lehernya. Ia pun mendorong Fino untuk berguling kembali ke sampingnya. “Apa yang kamu lakukan?”, tanya Retha dengan kening berkerenyit.

“Kamu pikir apa?” Fino menyahuti sambil tersenyum. “Kamu mengikutiku sejak awal, bahkan sampai ke sini? Dan bersedia tinggal bersama?” Fino mendekati Retha lagi seraya berbisik, “Coba pikir, sejauh mana aku mengijinkan kamu masuk ke dalam kehidupanku? Dan apa artinya?” Wajah Fino semakin mendekat lebih lagi ke wajah Retha sementara bibirnya membuka kembali, “Ada sesuatu di antara kita. Dan tolong, jangan bohong. Kamu ‘ngerti kalo ini bisa sejauh mana…”

Retha memanggil dirinya kembali ke bumi. Ia mencoba memastikan kalau apa yang Fino perkatakan barusan, bukanlah imajinasinya. “Kamu ma,-”

Fino tak membiarkan Retha menyelesaikan kalimatnya. Ia bergerak cepat untuk melumat bibir Retha.

“Tunggu!”, kata Retha sambil menjauhkan wajahnya. “Kamu tahu resikonya?”

“Kita sama-sama tahu”, sahut Fino sambil mengulangi apa yang dilakukannya tadi.

“Ini salah”, kata Retha lagi sambil menjauhkan wajahnya kembali. Nafasnya sudah tersengal-sengal. Matanya membelalak, menatap Fino antara “mau” dan “terpaksa tidak mau”.

“Demi impian, apapun…”

“Bagian mana dari hal ini”, kata Retha lagi sambil terus menjauhkan wajahnya, “yang bisa disebut impian?”

“Dunia dance dan entertainment. Itu impianku”, sahut Fino lagi sambil terus merangsek maju, menyosorkan wajahnya ke wajah Retha lagi.

“Maksud aku, tentang ini…” Mata Retha mengarah ke bibir Fino sementara wajahnya menjauh kembali.

“Ya, termasuk yang ini. Lalu?”

“Kita ‘gak bisa memulai impian dengan menyisipkan hal yang salah untuk menjadi bagian di dalamnya…”

“Siapa yang ninggalin suaminya demi impian?” Suara Fino sudah terdengar kencang. “Berhenti berpura-pura, cuma supaya kamu bebas dari rasa bersalah. Aku tahu, kamu mau…”

Retha terdiam dengan cuping hidungnya yang mengembang-kempis sementara matanya sudah mengerjap-ngerjap memandangi bibir Fino. Fino pun melengos sambil mendelikkan matanya serta langsung saja melumat bibir Retha lagi.

***

RETHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang