BAGIAN 19-TAMAT

2.9K 150 25
                                    

BAGIAN 19-BAGIAN TERAKHIR

6 bulan kemudian…

Retha meluruskan tangan kanannya, sibuk dengan buku-buku yang dibawa oleh sekumpulan anak kecil untuk ditandatanganinya. Tetapi pada antrian berikutnya, ia melihat barisan orang-orang dewasa menyambung barisan anak kecil yang terakhir.

Retha mengangkat kepalanya dan tersenyum. Ia melihat Hadi mendekat ke hadapannya. Sementara Fino dan Nina melambaikan tangan di balik punggung Hadi. Kemudian Retha melihat Oki, Dani, Angga, Ethan dan Devon meneruskan barisannya ke belakang. Kemudian Felicia dan Lola pun muncul dan ikut bergabung di barisan berikutnya.

“Baiklah, anak-anak”, kata Retha, “yang barisnya rapi, dapet permen…”

“Horeeee!!!” pekik Oki dan yang lainnya. Sementara Fino sudah memperagakan gerakan pantomim seakan dirinya sedang mengemut permen lollipop sambil mengendarai mobil.

Retha melihat buku Hadi yang baru saja ditandatanganinya. Ia melihat cover-nya dan merasa lega… seakan Uhuy sedang turut bergembira bersamanya di gambar itu.

Retha melihat ke langit di balik pintu kaca ruangan. Ia membayangkan Uhuy mengepakkan sayapnya sambil berteriak, “Aku terbaaaang… meski hanya di dalam ceritamu…” Uhuy mengerlingkan matanya pada Retha kemudian menghilang.

“Retha…” Suara Hadi terdengar lembut, sembari tangannya menetak ke bahu Retha.

Retha pun menengadah, menatap Hadi dari posisi duduknya di ruang tengah rumahnya, bukan di depan antrian panjang para pembaca yang meminta tanda tangannya, yang hanya terasa nyata di dalam lamunannya barusan.

“Tulisanku ditolak penerbit, Hadi…”, kata Retha dengan suara pelan yang nyaris tak terdengar. “Ini yang kedua kalinya… karena memang isi ceritanya sulit dimengerti oleh anak-anak.” Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku membuat Uhuy, Oki, Dani dan yang lainnya… malu… aku juga… malu…”

Hadi mengangguk. “Kamu udah berusaha, Retha. Tinggal melakukan koreksi dan evaluasi aja.” Matanya menatap Retha dengan terenyuh. “Apa kamu tahu, berapa kali Thomas Alfa Edison mengalami kegagalan saat mencoba menemukan lampu pijar? Dan Beethoven itu tuli, saat menciptakan musik dengan permainan pianonya?”

Retha mengangguk.

“Apa kamu pernah denger kisah tentang Hellen Keller?”

Retha mengerenyitkan keningnya.

“Dia buta, tuli dan bisu. Tapi bisa menyampaikan aspirasinya pada dunia di saat banyak orang berpikir bahwa hal itu mustahil baginya. Betapa kerasnya dia harus berusaha membuat orang lain mengerti tentang apa yang ingin disampaikannya. Juga betapa kerasnya ia harus belajar untuk bisa mengerti, apa yang orang lain ingin sampaikan padanya. Tetapi kita yang mudah melakukannya… seringkali hanya mengatakan hal-hal yang kosong dan sia-sia. Tetapi dia melakukannya dengan upaya yang keras bersama guru sekaligus penerjemahnya, untuk menyampaikan hal-hal yang membangun orang lain. Aku malu dengan diriku sendiri kalau aku ‘gak bisa melakukan apapun untuk membuat kamu… bangkit. Bantu aku, Retha. Aku cuma mau kamu bangkit.”

“Di titik ini, aku rasanya ingin menyerah aja.” Retha sudah terdengar mengisak kecil. “Aku hampir ‘gak percaya pada harapan dan impian”, sambung Retha melesu. “Aku bukan kamu dan bukan Nina. Mungkin aku cuma pemimpi. Aku ‘gak tahu, seberapa besar impianku untuk jadi penulis. Apakah aku akan terus menulis?”

***

Dua tahun kemudian…

Retha sibuk membaca buku romance karya Nina sementara Nina sendiri sedang berceloteh panjang lebar di sampingnya, duduk di kursi yang menghadap ke laut. Sementara Retha duduk menyamping. Dua kereta bayi yang kosong, bertengger di samping Retha… milik bayinya dan milik bayinya Nina. Tetapi kedua bayi mereka sedang bermain di tepian laut bersama para ayah.

RETHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang