BAGIAN 11

1.3K 95 20
                                    

BAGIAN 11-JELAS

Retha mengeraskan rahang kecilnya. Tidak ada Hadi, tidak ada Fino. Ia mendadak… jomblo. Dan ia sedang berdiri di tengah keramaian para remaja yang sedang asik memamerkan bakat berseluncur dengan papan skateboard mereka. Beberapa meluncur dengan roller blade mereka. Ada juga yang meluncur menggunakan benda-benda hasil temuan baru yang terlihat asing di mata Retha. Dan sebagian lagi sedang melakukan street dance dengan gaya bebasnya masing-masing. Ada yang melakukan head spin, gerakan berputar dengan kepalanya, ada yang melakukan split, juga ada yang melakukan gerakan robotic ataupun pantomim dan aksi teatrikal lainnya. Bahkan ada juga yang melakukan break dance dengan bola basket berwarna mencolok. Retha cukup senang, mendapati dirinya berada di sebuah taman dan lapangan terbuka yang dikhususkan bagi para peminat bidang-bidang tersebut. Ia melihat banyak bakat yang dimiliki anak-anak muda. Dan menyayangkan kalau dirinya tidak berkecimpung di komunitas peminat bidang yang sama sejak masa mudanya. Karena ia belum menemukan peminat bidang “mengkhayal”. Dan ia tidak cukup aktif untuk memahami bahwa imajinasinya bisa disalurkan ke berbagai macam bidang yang berguna dan minimal… berwujud. Tidak ada yang bisa melihat wujud imajinasi bila tidak dikeluarkan dari kepala menjadi suatu bentuk atau karya yang bisa dinikmati, pikirnya.

Retha melengos sambil mengeluarkan buku kecilnya dan memulai coretan tangannya di situ.

Lola akhirnya mengerti mengapa isi kepalanya sulit dipahami. Selain tidak diketahui apa yang ada di dalamnya, juga tidak diketahui apa gunanya bagi orang lain… 

Wajar saja, suaminya menganggap kalau semua kelakuannya konyol dan sia-sia. Lola tidak bisa memaksa orang lain untuk memahami apa yang ia miliki kalau ia tidak bisa menunjukkan wujud nyatanya yang bisa dinikmati. Lola juga tidak bisa membuat orang lain menghargainya jika orang lain tidak bisa merasakan kegunaannya ataupun menikmati rasa di dalam hiburan yang ia tampilkan. Ia tahu, ia sudah sejauh ini, sudah terlanjur salah, dan jangan menjadi semakin salah. Kesendiriannya di saat ini, dimanfaatkannya sebagai moment untuk mencapai apa yang tadinya terasa meragukan baginya. Tetapi keadaan sudah mendesaknya.

BUK!!! Sebuah bola menghantam kening Retha hingga ia terjungkal ke belakang. Ia mengangkat tubuhnya kembali dengan cepat dan terduduk dengan limbung. Ia membayangkan dirinya tertimpa meteor jenis mini, lalu mendapati seorang remaja laki-laki meminta maaf padanya.

Mood saya baru aja membaik”, desis Retha, “dan ini…” Ia mengelus-elus keningnya, mencoba meredakan rasa nyeri di situ, yang membuat kepalanya sempat merasakan pening. “Sedikit merusak mood”, sambungnya sambil menyambar buku kecil dan ballpoint-nya kembali.

“Kenapa ‘gak ikutan aja, ‘mbak?” Remaja itu mengajak Retha beraksi dengan bolanya.

“Apa yang harus saya lakukan dengan bola itu?” tanya Retha.

Remaja laki-laki itupun menjawabnya tanpa bersuara. Ia hanya menunjuk ke tengah-tengah lapangan sambil senyam-senyum.

Dance dengan bola itu?!” Retha memekik tertahan lalu menyambung dengan tawa gelinya. “Enggak. Saya ‘gak ada bakat dengan urusan olah tubuh selain olah jari tangan.”

“Itu pake jari tangan juga kok, ‘mbak”, sahut remaja itu sambil menyodorkan tangannya. Retha pun menghela nafasnya dan menyambut sodoran tangan remaja tersebut. “Nama saya Oki, ‘mbak”, kata remaja itu sambil menarik Retha untuk bangkit berdiri.

“Saya… Retha.” Retha menyahuti sambil memicingkan matanya sementara kakinya melangkah mengikuti Oki. Dan tak berapa lama kemudian, Retha sudah asik mempelajari bidang baru tersebut. Bahkan, ia tidak mau berhenti di saat semuanya ingin menyudahi.

RETHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang