Chapter 2: Panic
" Percy, lihat!" aku menunjukkan telunjukku ke jendela di mana ada seorang anak kecil yang berambut hitam yang masih berpakaian piyama, dan memeluk boneka teddy bear berwarna pink, dia terdiam sesaat.
"Bloom, apa kau baik-baik saja?" tanya Percy. Kini dia sama tegangnya denganku.
"Entahlah, menurutmu dia baik-baik saja, Percy?" tanyaku dengan perasaan tidak enak. Pelipis ku di penuhi oleh keringat panas dingin dan tanganku basah karena gugup. Napas ku semakin berat. Aku masih melihat anak kecil itu dari luar jendela kamar Percy. Dia berjalan terseok-seok. Dia berjalan ke arah kanan dimana pusat kota di sana.
"Mom, call 911!" Percy keluar dari kamarnya dan menuju ke bawah.
Aku pun membuka jendela dan anak kecil itu menatapku tajam. Aku menyipitkan mataku karena di luar sangat gelap.
'Aku bodoh' kata ku dalam hati.
Aku mempunyai teropong yang diberikkan om ku setahun yang lalu. Aku pergi ke kamar ku dan mengambil teropong yang berada di dalam lemari ku. Teropong ini lumayan berat jadi aku harus membawanya dengan kedua belah tanganku. Dan aku kembali pergi ke kamar Percy. Aku mendekatkan teropong ke mataku. Anak kecil itu masih melihat ke arahku. Aku mengarahkan teropong ke anak kecil yang sedari tadi menatapku aneh. Aku melihat matanya yang habis menangis. Leher di bagian kiri nya seperti bekas gigitan dan berdarah. Dan tangan yang memegang boneka, sama seperti yang terjadi pada lehernya. Kini napas ku memburu, sempat aku lihat di nakas jam menunjukkan pukul satu malam.
"Mom, help" aku tak bisa bernapas. Aku mencoba bernapas dan tidak bisa. Aku mendapat serangan panik. Aku bernapas dengan cepat agar aku bisa menghirup oksigen kembali. Aku berjalan sangat pelan. Aku tidak bisa menopang tubuhku sendiri. Aku terjatuh. Aku tidak bisa bangun. Napas ku memburu. Keringatku tak berhenti mengalir di wajah dan pelipisku. Sekilas, aku melihat Percy yang berlari menghampiri ku.
I can't breathe
***
Aku berlari. Terus berlari. Mereka terus mengejarku. Aku lelah. Sangat lelah. Tenagaku tidak cukup untuk berlari. Aku tersandung dan jatuh. Mereka sangat dekat. Dan mereka menggigit kaki ku.
"Bloom" panggil Mom. Aku tersentak bangun dari tidurku.
Aku terbangun dengan bantuan masker yang menutupi hidung dan mulutku. Masker ini disambungkan dengan sebotol oksigen yang sering Dad beli dari apotik terdekat. Kini aku bisa bernapas segar. Percy dan Adams berdiri di depan pintu. Mom dan Dad duduk di pinggir kasurku.
"Pukul berapa sekarang?" tanya ku pelan.
"Sekarang pukul tiga malam, sayang" jawab Dad mengusap rambut ku.
"Bagaimana dengan anak kecil itu?" tanya ku lagi.
"Bloom, kau baru sadar. Dan aku yakin, kau lelah. Tidurlah, Bloom. Tenang saja" jawab Percy menyilangkan kedua tangannya di dadanya.
Aku mengubah posisiku menjadi duduk, dan aku masih memakai masker.
"Aku tidak bisa tenang jika kalian tidak memberitahu ku. Dimana anak kecil itu?!" kini aku menaikkan nada ku.
"Dia dilarikan ke rumah sakit, Bloom" jawab Adams. Dia pun pergi dari kamarku.
Aku melepaskan masker dan mulai bernapas. Itu adalah mimpi buruk. Aku masih teringat tatapannya padaku.
"Untung saja aku naik ke atas, jika tidak, mungkin kau sudah di rumah sakit bersama anak kecil itu" Percy duduk di kursi belajarku. Aku hanya tersenyum kaku.
"Oh, Bloom. Jangan kau pikirkan virus dan anak kecil itu. Kau seharusnya istirahat. Kau kelelahan, sweet heart" ucap Mom tersenyum kecil. Aku hanya mengangguk pelan.
YOU ARE READING
The Virus
Science Fiction-Prolog- Run. Hide. Don't stop. Don't make a noise. Because the world has change. That 'things' always hunt you. They always see and watching you. We don't know what happen. Don't let them hunt you.This is mad world. Stay in the save place. Some peo...