"Bapak juga harus di hukum dong, sama kayak murid-murid yang telat," cecar seorang siswa pada guru yang berniat menghukumnya.
"Lho, apa salah saya sehingga saya harus di hukum?" sergah sang guru.
"Bapak juga harus di hukum dong, kan bapak telat." jawab siswa tadi.
Balyan Tsaqib al-Fayyadh―nama pemuda itu―masih berusaha melawan gurunya yang sama seperti ia dan beberapa murid lainnya yang hari itu terlambat sekolah. Sifatnya yang keras dan tidak suka jika ada yang melakukan sesuatu yang tidak adil, membuatnya bersikap sedikit arrogant oleh sebagian orang yang melihatnya. Pemuda yang gemar bermain basket ini selalu menentang orang-orang yang memperlakukan orang lain secara tidak adil. Siapapun orangnya, ia akan menentang orang itu habis-habisan, sekalipun itu guru atau orang yang lebih tua darinya. Tapi sikap arrogantnya itu tidak berlaku bagi dua sahabat Lyan ―biasa pemuda itu dipanggil―, Darrell dan Vino. Dua orang sahabat karib Lyan ini menilai Lyan adalah seorang yang baik. Ia selalu membantu orang lain yang membutuhkan bantuannya. Tak peduli itu bantuan fisik ataupun bantuan materil, Lyan selalu membantunya, karena ia terlahir dari keluarga yang berkecukupan. Ayah Lyan adalah seorang direktur sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Sedangkan ibunya adalah ibu rumah tangga yang selalu ada saat anak semata wayangnya itu membutuhkannya. Lyan adalah anak tunggal di keluarganya. Ia selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Tapi dengan syarat, ia harus membantu orangtuanya mengerjakan suatu hal agar ia bisa mendapatkan apa yang ia mau. Karena kedua orangtua Lyan selalu mengajarkan Lyan untuk berusaha dan bekerja keras saat ia menginginkan suatu hal.
"Jadi kamu menuduh saya terlambat?" tanya sang guru.
"Bukan nuduh, pak. Tapi emang kenyataannya bapak telat." jawab Lyan keukeuh.
"Apa ada buktinya, kalo kamu berani bilang seperti itu Lyan?" tanya pak Candra, guru olahraga Lyan yang juga berada di sana.
"Baik, saya akan membuktikan kalau Pak Arya emang telat." jawab Lyan, lalu berjalan santai menuju parkiran mobil.
"Kenapa kamu justru ke parkiran, Lyan, bukan membuktikan semua omongan kamu?" tanya Pak Arya setengah gugup.
"Coba Pak Candra pegang sendiri kap mobil Pak Arya. Kalo mesin mobilnya masih panas berarti Pak Arya telat. Tapi kalo mesin mobilnya udah dingin, saya rela di hukum apa aja." jelas Lyan tegas.
Pak Candra pun menyentuh kap mobil Pak Arya, dan mendapati mesin mobil itu masih terlalu panas untuk tersentuh tangan. "Apa yang di katakan Lyan benar pak, mesin mobil bapak masih panas. Dan itu berarti bapak juga harus di hukum, sama seperti murid-murid yang terlambat masuk sekolah." jelasnya yakin.
"Tap..tapi kan―"
"Gimana muridnya nggak badung coba? Gurunya aja nggak mau ngikutin peraturan yang udah dia buat sendiri." sela seorang murid yang terlambat dari belakang Lyan.
"Lho, bukannya peraturan itu di buat emang buat dilanggar ya?" celetuk Lyan, yang membuat semua yang ada di sana tertawa terbahak-bahak.
"Sudah-sudah. Kalian ini apa-apaan malah menertawakan Pak Arya seperti itu? Sudah sana, kerjakan hukuman kalian." seru Pak Candra.
Semua murid yang terlambat pun bergegas menuju lapangan basket, karena mereka di hukum untuk hormat ke bendera merah putih selama dua jam perlajaran.
Namun saat berpapasan dengan Pak Arya, Lyan sempat meliriknya dengan tatapan puas. "Lain kali, telatnya lebih dari dua puluh menit dong, pak, biar hukumannya nggak cuma hormat ke bendera doang." ledeknya, dilanjutkan tawa yang menggelegar.
"Lyan!! Cepat kerjakan tugas kamu!!" tegur Pak Arya, karena ia merasa Lyan sudah meledeknya.
"Bapak juga dong, masa cuma murid-murid doang sih yang ngerjain hukumannya?" jawab Lyan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nobody's Perfect
RandomSaat beribu kata tak mampu terucap.. Saat cinta harus bertentangan dengan persahabatan.. Saat cinta harus bertarung melawan ego.. Juga saat hati harus belajar mengartikan kata 'IKHLAS'