Part 6

516 49 0
                                    

“Nah itu kan bokap-nyokap janjian sama Om Hendra, terus gue di ajak sekalian sama bokap. Katanya sih, biar tau tentang bisnis.” Lyan menaikkan kedua bahunya.

“Terus, kok bisa akrab gitu sama papa?”

“Kan udah beberapa kali ketemu di kantor bokap gue. Makanya udah akrab kayak tadi.”

“Padahal, aku yang anaknya aja nggak bisa seakrab itu sama papa.” keluh Letta, yang tiba-tiba murung.

“Hei,” Lyan mengangkat dagu Letta, agar bisa menatap wajahnya. “Om Hendra itu orangnya baik, nggak kayak yang lo bilang waktu itu.”

“Kamu nggak tau siapa papa sebenernya, karena kamu baru kenal sama dia.”

“Justru karena aku baru kenal sama dia, makanya aku bisa bilang kayak gini.” sergah Lyan.

“Aku kangen papa yang dulu, Yan, bukan papa yang selalu sibuk sama kerjaannya.” Letta pun mengeluarkan air mata yang sejak tadi ia tahan.

Lyan pun dengan sigap menghapus air mata itu dengan lembut, lalu memeluk Letta erat. “Mungkin gue emang baru kenal sama lo dan keluarga lo, tapi gue cukup tau tentang Om Hendra dari bokap gue yang udah temenan lama sama om Hendra.” ujarnya. “Dan kalo pun bener bokap dan semua keluarga lo nggak ada yang peduli lagi sama lo, biar gue yang jadi satu-satunya orang yang peduli sama lo. Biar gue yang selalu jadi orang yang pertama ngehapus air mata lo. Biar gue yang ngelindungin lo, dari apapun yang bisa ngebahayain lo, sekalipun nyawa gue taruhannya.”

Letta tak menjawab apa yang baru saja Lyan ucapkan padanya. Ia justru mempererat pelukannya, dan membenamkan paras cantiknya ke dada bidang Lyan yang akan melindunginya dari apapun yang bisa membahayakannya.

***

“Pa, ternyata Letta anaknya Om Hendra.” ujar Lyan, sambil mengunyah menu sarapannya, di meja makan pagi itu.

Ayahnya yang sedang sibuk menyendok nasi goreng ke piring pun mengerutkan dahinya. “Oh ya? Terus kalo Letta anaknya Om Hendra, papa harus bilang wow gitu?” celetuknya, dengan gaya model iklan di TV.

Lyan pun menatap ayahnya malas. “Kalo papa mau bilang wow, Lyan juga nggak mau koprol kok.” balasnya.

TUK! TUK!

“Kalian berdua! Bisa nggak, pagi-pagi nggak usah nyolotin?” protes Diana, sesaat setelah ia memukul kepala Lyan dan Akhdan dengan sendok sayur yang baru saja ia ambil.

“Maaf deh, ma.” sesal Lyan. “Yang mulai duluan kan papa.”

“Tuh kan, papa lagi yang di salahin.” protes Akhdan tak terima.

“Kan emang papa yang mulai.” balas Lyan.

“Papa juga nggak bakalan nyolot, kalo kamu nggak nularin papa!”

“Mana ada bapak-bapak yang niru anaknya?” sergah Lyan. “Ada juga, anak yang niruin kelakuan bapaknya.”

“Eh udah-udah!” lerai Diana, yang terlihat makin kesal. “Kalo kalian berantem lagi, mama nggak akan masakin kalian selama dua hari ke depan!” ancamnya.

“Yaah, jangan dong, ma.” cegah Lyan. “Kalo mama nggak masak, siapa dong yang masakin Lyan? Masa papa? Papa bikin kopi aja asin.”

“Wah ngeledek papa ya kamu?” protes Akhdan.

“Iya. Emang kenapa?” balas Lyan.

“Eh, eh, udah!” lerai Diana. Lagi.

Peace, ma,” ujar Lyan dan Akhdan, sambil mengacungkan kedua jari mereka sehingga membentuk huruf V.

Nobody's PerfectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang