WARNING!
Cerita ini cuma fiktif. Semua konten yang terdapat di dalamnya pun hanya fiksi belaka. Terdapat kata - kata makian nyeleneh yang bikin keki, adegan lovey dovey yang bikin mual, atau beberapa adegan kasar yang TIDAK BOLEH DITIRU!
Peringatan sudah dicantumkan. Silakan close tab jika Anda masih dibawah umur, tidak mau muntah - muntah atau kebawa baper setelah baca cerita. Sekian. Terima kasih.
―――――――――――――――――――
Sean's Side
Ini adalah dua hari paling tenang dalam hidup gue sejak tinggal sama Juan. Meskipun tetep harus nganter dia yang kuliah pagi, tapi kali ini gue lakukan dengan cukup ikhlas. Pasalnya, semenjak diskusi kita soal rencana pembatalan perjodohan, Juan jadi lebih kalem.
Please, jangan bayangin seorang Juhana Djokosantoso yang lagi duduk manis atau jadi bersikap lemah lembut. Just don't, karena itu sama sekali nggak terjadi.
Kalem versi Juan adalah mengurangnya frekuensi teriakan dia dalam satu hari. Kalau biasanya tiap menit dia teriak, paling sekarang cuma satu jam sekali.
Atau, meredanya emosi yang dia miliki. Kalau biasanya dia ke gue marah - marah tiap saat, sekarang marahnya pakai jadwal. Biasanya sih shubuh menjelang pagi ―waktunya bikin sarapan― sama tiap dia pulang kuliah.
Rencana kita pun mulai berjalan pelan - pelan. Juan udah ngomong sama Joshua dan cowok itu juga udah setuju. Tinggal ditambah sedikit akting Juan sama gue dan semuanya pasti berhasil. Wish us luck! Yeah!
"Nggak usah nganter gue, Se," kata Juan cepat setelah dia selesai masak nasi goreng. Gue ngambil sesendok dari wajan dan langsung masukin mulut. Ngunyah sambil berdiri terus ngambil lagi. Sebelum geplakan tangan mendarat indah di belakang kepala gue. Sial!
"Jorok, lo! Pernah belajar tata krama nggak sih?" Juan melotot sangar yang gue tanggapin dengan cibiran kecil. Cih! Mirip ibu - ibu bener!
"Santai, beb! Nggak usah geplak kepala juga! Btw, emang kenapa nggak mau gue anter? Tumben banget?"
Cowok itu ngelap tangannya, lantas ngambil ikat rambut yang pernah dia pakai tempo hari. Sekali lagi, Juan ngikat rambut coklatnya.
Tiba - tiba aja gue ngerasa gelenyar aneh itu merambat ke seluruh badan gue lagi. Duh, tiap dia nguncir rambut gitu, kenapa gue jadi nggak jelas gini, sih? Waktu di mobil itu begini juga. Mesti banget gue periksa kebatinan?
"Josh mau jemput gue, sekalian mau ngomongin tugas yang belum beres. So, lo nggak perlu jadi sopir gue hari ini. Cukup jadi pembantu aja, gimana? Ini dapur udah berantakan. Sama kamar tidur juga tuh. Ruang tengah tadi udah sama gue."
Gue mendelik nggak terima. "Woy! Banyak amat! Semalam 'kan lo yang tidur di kamar!"
Dia balas mandang gue datar. "Gue beresin ruang tengah yang lo pakai buat tidur. Terus kalau lo beresin kamar bekas gue tidur, apa salahnya? Hitungan banget, hih!"
Juan cepat - cepat ngambil tasnya yang udah ada di sofa ruang tamu. Gue masih ngelihatin dia yang pagi ini persis ibu - ibu dikejar tukang kredit panci yang mau nagih bayaran tiap bulannya. Buru - buru banget. Kayaknya dia emang lagi super sibuk.
"Joshua mana sih? Elah!" gerutu Juan sambil ngelihatin handphone-nya. Gue sih jadi penonton aja dari tadi sambil makan nasi gorengnya Juan. Tumben juga nih masakannya enak. Biasanya rada keasinan.
"Yakin nggak mau gue anterin?" tawar gue lagi. Pagi ini bawaannya gue lagi angel mode on aja nggak tau kenapa. Jarang banget 'kan gue mau baik hati sama itu bocah. Harus dikasih award nih gue!
KAMU SEDANG MEMBACA
3 Months Before Wedding
FanfictionTetangga jail? Najis! Playboy? Iyuh gila! Musuh bebuyutan? Amit - amit! Dijodohin? Udah nggak zaman! Terus, apa jadinya kalau lo punya tetangga playboy super jail yang juga adalah musuh bebuyutan lo dari kecil, lalu dengan nistanya orang tua lo jodo...