Pagi yang cerah di bulan Agustus, terik matahari sudah memancarkan sinarnya dari ufuk Barat serta membangunkan Shallom dengan lembut. Shallom berjalan menuju ke ruang tengah,didapatinya surat kecil dan membacanya "Shallom, ini peta kota Berlin, aku akan kembali hari Minggu. Kunci pintu dan matikan listrik jika tidak digunakan. Ohya satu lagi, kalo kamu belum terbiasa berbicara dengan deutsch(Bahasa Jerman) lebih baik berbicara English saja. Ok? Semoga hari mu menyenangkan! -Catherine".
***
Setelah selesai berdandan, Shallom menyiapkan kamera dan peta yang sangat amat penting untuk perjalanannya hari ini. Ia memutuskan untuk pergi ke Tembok Berlin yang amat bersejarah dan populer.
Shallom memutuskan untuk naik U-Bahn(Kereta bawah tanah), Shallom memotret dalam kereta, karena orang didalamnya sangat tertib, tidak ada lansia atau ibu yang berdiri, semua duduk dengan tenang. Agak berbeda dengan Indonesia yang cenderung tak peduli dengan lansia dan ibu hamil.
Tak terasa Shallom sudah sampai, ia berjalan sambil memotret aktifitas orang Jerman disekelilingnya. Tembok Berlin memang sudah runtuh, akan tetapi masih ada sedikit sisa yang terletak di Postdamer Platz a.k.a lapangan postdamer. Meskipun hanya tinggal sedikit, Shallom tetap antusias menikmati tembok bersejarah itu.
Disentuhnya tembok itu, kasar dan dingin. Banyak sekali lukisan dan guratan lukisan yang terletak pada tembok itu. Luar biasa, gumam Shallom.
Setelah asyik berkeliling sekitar lapangan postdamer, ia merasakan perut yang bergetar menandakan butuh makanan. Ia melihat diujung jalan ada sebuah kafe yang cukup sepi lalu melangkahkan kakinya menuju kafe tersebut.
"Guten Tag! Tee oder Kaffe?" Sahut pelayan lelaki itu dengan ramah dan membuat Shallom sedikit tersentak.
" Ich möchte ein Eistee, bitte" saya mau es teh. Balas Shallom canggung.
"Was essen Sie?" Anda mau makan apa?.
"Kartoffeln und Wurst, bitte." Kentang dan sosis.Setelah melewati percakapan yang sedikit membuat Shallom degdegan, ia mengeluarkan buku agenda yang ia beri judul "Destination in Berlin". Ia menceklis "Tembok Berlin", dan menyisakan ruang untuk menempelkan foto tembok Berlin.
Beberapa saat kemudian, pesanan Shallom datang. Ia langsung melahap kentang yang cukup berukuran besar kedalam mulutnya.
"Hat es geschmeckt?" Bagaimana rasanya?. Ucapan si pelayan itu membuat Shallom tersedak. "Entschuldigung, Frau" Maaf nona. Lanjut si pelayan sambil membantu Shallom meraih es tehnya
"Ja, es ist lecker!!" Ini sangat nikmat!. Shallom membalas dengan sedikit batuk-batuk.
Setelah membayar, Shallom keluar disertai teriakan si pelayan tadi "Vielen Dank!!" Terimakasih banyak.
Ternyata semakin sore, cafe itu semakin ramai dipadati pengunjung. Tak ingin terlalu berlama-lama, Shallom langsung buru-buru ke stasiun agar tak ketinggalan kereta.
20menit berlalu, Shallom sudah berasa di home stay nya. Merasa bosan karena hanya sendiri di rumah, Shallom memutuskan menelpon mamanya melalu skype agar bisa lihat wajah mamanya secara langsung.
"Hallo mama!" Teriak Shallom dengan semangat 45.
"Shallom! Bagaimana keadaan mu, Nak? Bagaimana keadaan kota Berlin? Pasti masih bagusan Jakarta kan?" Kata mama sambil tertawa lepas diujung telepon.
"Yeh mama! Ya gak lah, Berlin itu indah banget tau! Tapi aku tetap menomor satukan Jakarta. Seperti yang mama lihat, aku sehat dan baik. Aku udah ga sabar buat......." sahut Shallom, namun tiba-tiba listrik padam sehingga fasilitas wifi, tv, dan lainnya ikut terputus.
Karena Shallom makin bingung dan gelisah, akhirnya ia memilih untuk tidur lebih awal. Padahal baru jam 19.30 gumamnya.
Benar saja, listrik suda nyala saat Shallom bangun dari tidurnya. Pagi sekali ia bersemangat menyalakam laptopnya untuk mencetak foto Tembok Berlin dan akan menempelkan pada buku agendanya itu.
Saat selesai mencetak foto tersebut, Shallom meraih tasnya dan mencari agendanya. Tapi nihil, tidak ada agenda destinasi nya disitu. Shallom panik. Ia mencoba mengingat dan mereka ulang apa yang kemarin ia lakukan "CAFE POSTDAMER!" Teriaknya sambil memukul kepala dengan bantal yang ada disampingnya.
Ia langsung bersiap untuk pergi ke Postdamer dan mengambil buku agendanya. Sampai Postdamer, ia langsung lari ke cafe itu, ia melihat pelayan yang kemarin melayani nya. Shallom berniat menanyakan buku agenda nya, namun ia tidak tahu bagaimana cara bertanya dengan bahasa Jerman.
Ia memberanikan diri untuk berbicara pada si pelayan "Entschuldigung" ucap Shallom gugup.
Si pelayan menengok "Ja?" Terlihat senyum pelayan itu merekah saat melihat Shallom.
"Lo liat buku agenda gue?" Bodoh Shallom mengucapkan bahasa Indonesia kepada si pelayan.
Pelayan lelaki yang kelihatan masih umur 21 tahun dengan tubuh tinggi, rambut sedikit kecokelatan, dengan sorot mata yang teduh, dan sedikit wajah mirip artis Holywood. Shallom menyadari bahwa pelayan ini tidak cocok jadi pelayan cafe. Ia tampak lebih cocok jadi yang punya cafe.
Heran dengan ucapan Shallom barusan namun ia menghela napas "Lo orang Indonesia?" Ucap di pelayan kemudian.
Shallom tersentak kaget ternyata si pelayan bisa bahasa Indonesia atau memang orang Indonesia. Tapi masa orang Indonesia tampak lebih ke barat mukanya,Pikir Shallom.
"Ya, lo juga?" Tanya Shallom dengan hati-hati.
Hai readers. Ini chapter ke-2 dari cerita First Time In Berlin. Gue gamau banyak bacot, tapi jangan lupa tinggalin jejak ya. Comment dan vote story ini. Vielen dank! - Liebe Ana.

KAMU SEDANG MEMBACA
First Time In Berlin
Teen FictionLangit Berlin menjadi saksi cerita Shallom, seorang siswi dari Indonesia yang sedang berjuang hidup dinegeri orang. Sedangkan Patrick, mencari sesuatu yang hilang. Banyak cerita tak terduga, karena ini pertama kali menginjakan kaki di Berlin.