SECHS

45 4 0
                                    

Shallom menggelengkan kepala. Ia diam karena dipikirannya dan hatinya bertanya kau ini siapa sebenarnya, Joe?

Seharian penuh Shallom hanya memandangi jendela dengan pikiran yang sama. Pikirian tentang siapa sebenarnya Joe. Rasa ingin tahu itu membuat Shallom gelisah. Tenggelam dalam lamunannya, hingga teleponnya berdering.

"Shall, dimana?" suara Patrick terdengar dari ujung telfon

"Di rumah" jawabku singkat

"Ketemu di cafe cotton exchange ya. Ada yang mau gue kasih tau" suaranya semakin serius.

Belum sempatku jawab, namun Patrick mematikan sambungan.

Dengan cepat aku merapikan rambut dan mengganti bajuku. Aku menaiki sepeda Cath untuk menuju cafe. Dingin, padahal bukan musimnya. Aku mengayuh sepeda semakin cepat, menghindari keram kaki karena dinginnya angin. Sesampai disana, aku melihat matanya yang teduh dari balik jendela. Terlihat ia sedang menyeruput kopi yang mungkin dapat memberinya kehangatan.

"Kenapa?" ucapku sesampainya didepannya.

"Eh? cepet banget sampainya. Duduk dulu" balasnya

"Iya, diluar dingin jadi buru-buru" kataku sambil menarik bangku. "Mau bicara apa Pat? kayak serius banget" lanjutku

"Gue pengen cerita tentang keluarga gue, Shall" ucapannya membuat mataku seolah bertanya Mengapa?

"Karena gue udah anggap lo sebagai teman baik gue. Jadi gue mau sebagian cerita hidup gue, lo tau."

Aku hanya bisa menelan ludah mendengar kata-katanya. Teman? Baik? Cerita?

"Jadi, tujuan gue ke Berlin sebenarnya untuk cari adek gue yang pergi dari rumah. Udah hampir setahun kami ga bertemu, dan parahnya hasil usaha gue kesini kayak.........sia-sia?" ucapnya dengan nada sungguh serius.

Aku memperhatikan dengan saksama raut wajahnya berubah seketika menjadi.....sedih.

"Gue bingung harus cari dia dimana. Udah lama gue di Berlin, dan rasanya sulit untuk cari adek gue. Kemarin pas kita makan, tante gue telfon dan dia bilang mama gue sakit. Sayang, gue gabisa liat dia karena jarak 10000miles memisahkan kami" lanjutnya

Jadi ini alasannya kemarin ia pergi tiba-tiba. Bodohnya aku.

"Kenapa lo gabilang kalo punya adek? Kita bisa cari bareng. Siapa tau lo udah pernah papasan sama dia tapi lo ga nyadar" ucapku sambil menatap rambutnya

"Lo gaboleh nyerah,Pat. Lo harus pulang ke Indonesia dan wajib bawa kabar baik buat nyokap lo yang lagi sakit. Lo punya fotonya?" lanjutku tanpa jeda sekarang.

"Iya, Shall. Gue juga gamau usaha gue sia-sia. Foto? punya nya waktu dia umur 5 tahun. Nih" lanjut Patrick sambil memberi foto ukuran 3x4 dari dompetnya

Aku memperhatikan foto itu dengan saksama, wajah yang terpajang difoto itu mengingatkanku pada seseorang. Namun, tidak terpikirkan siapa orang itu.

"Shelia namanya" suaranya menyadarkanku dari lamunan

"Oh. Udah coba stalk akun social media dia? Atau coba tanya-tanya kerabat disini?"

"Pernah sekali coba untuk stalk tapi semua akun diprivate. Gimana gue bisa tau kalo itu adik gue apa bukan?"

Sungguh, aku tak menyangka bahwa persoalan Patrick ini sulit. Ia harus mencari adiknya disekeliling jutaan warga Jerman. Jangan khawatir, aku disini.

"Tenang, gue bakal terus bantu cari dia. Itulah gunanya teman,bukan?"

"Vielen dank, Frau"  ucapnya sambil menyunggingkan senyum manis miliknya.

Akhir dari percakapan kami adalah tujuan pencarian Shelia diperumahan dekat taman kota. Setelah hampir 2 jam berbincang di cafe, aku mengajak Patrick berdoa di Katedral. Entahlah, apa yang Patrick rasakan ketika menginjak Katedral. Namun, kenyamanan kudapatkan disini.

Aku berdoa kepada Pencipta, agar pencarian kami dilancarkan. Selain itu, aku berdoa untuk keluargaku yang terpisah jauh dariku. Aku juga berdoa, agar aku bisa terus disampingnya. Karena, bersamanya adalah sesuatu hal yang menjadi favoritku saat ini. Aku mengucapkan "Amin" setelahnya.

"Lama banget, minta apa sih?" ternyata Patrick sudah selesai berdoa

"Minta hujan uang. Ya minta hikmat" ucapku sambil memandang langit

Kami memutuskan pulang dan akan bertemu hari esok untuk mencari Shelia ditempat yang sudah kami rundingkan. Itu adalah pengalaman pertamaku menjadi seorang detektif. Entahlah, semoga kami berhasil.




First Time In BerlinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang