Moment 3

163 11 0
                                    


  inilah yang ditakuti oleh seorang Chinen Misaki. ia sudah menduga bahwa hari ini akan segera datang dalam kehidupannya. para pria berpakaian serba hitam itu mengingatkan dirinya pada sebuah masa lalu yang sudah lama ia tutup rapat-rapat di dalam ingatannya. namun semua itu tampaknya sia-sia. kini mereka datang ke rumahnya dan mengembalikan ingatannya terhadap sesuatu yang menurut Misaki adalah sebuah kehancuran dalam hidupnya.

"pergi kalian!", teriak Misaki.

perempuan berambut panjang itu menajamkan matanya kepada semua pria yang berada di depannya itu. sayangnya para pria itu tak bergidik dan tak menghiraukan ancaman Misaki. mereka justru tertawa melihatnya berteriak yang seolah seperti seorang petani sedang mengusir burung-burung di sawahnya.

"kau jahat sekali, Misaki. kau tak mempersilakan kami masuk ke dalam rumahmu? kami ini adalah tamu. seharusnya kau menjamu kami, ya kan?", celetuk seorang pria berbadan besar di depannya.

"terkutuk bagiku jika menjamu kalian ke rumahku. pergi kalian dari sini dan jangan ganggu keluargaku yang bahagia!"

seorang pria berwajah tampan yang dari tampilannya sangat berkelas itu maju beberapa langkah hingga menjajarkan dirinya dengan pria berbadan besar itu dan kini menatap Misaki dengan pandangan tajam.

"keluarga katamu?", kata pria dengan nada sombong.

"jangan hancurkan kebahagiaan yang telah lama kutanam telah lama. kau tahu kan, Takaki Ryunosuke?! semenjak hari itu... semenjak kau menghancurkan hidupku... dengan susah payah kubangun kembali hidup yang baru!"

"benarkah? kalau begitu aku menginginkan kembali anakku. anak itu akan segera menjadi pewaris kekayaanku."

"tidak! tega-teganya kau menjadikannya pewaris sementara dulu kau sama sekali tak menginginkan anak itu lahir setelah apa yang kau perbuat padaku hingga hamil dan sekarang kau ingin mengambilnya?! kau kejam sekali! anakmu sudah lama mati bersama semua keangkuhan yang tersisa dari dirimu!"

pria bernama Ryunosuke itu tak menghiraukan ancaman Misaki. ia memaksa masuk ke dalam dumah kecil itu seperti mencari sesuatu atau seseorang. namun sebelum itu terjadi, Misaki sudah lebih dulu melompat ke depan Ryunosuke dan menghalanginya.

Ryunosuke mendecakkan lidahnya, "rupanya sekarang kau mulai berani padaku, babu?"

"aku sudah bukan budakmu. kau dan ibumu sama saja. kalian bersekongkol untuk menghancurkan hidupku dan kini apa urusanmu kemari, hah?"

"sudah kubilang, kan? aku mau mengambil anakku"

"dia bukan anakmu! dia itu anakku! aku takkan pernah melupakan apa yang sudah kalian perbuat padaku dan keluargaku waktu itu. kalian jahat sekali terutama ibumu yang brengsek itu..."

"jangan hina ibuku!"

"jangan rusak kehidupanku!"

"mana anakku?!!", Ryunosuke menaikkan nada suaranya. ia semakin tak tahan dan seperti ingin mengakhiri hari itu setelah berhasil mendapatkan yang di inginkannya.

mata Misaki tampak berkaca-kaca.

"jangan berani-beraninya kau menyentuh Yuri dengan tangan kotormu itu..."


*.*.*.*.*

"dia bukan anakmu! dia itu anakku!"

suara Misaki yang berteriak membuat kedua bocah kecil itu semakin mengeratkan pelukan mereka. meskipun air mata sudah tak lagi berlinang dari mata mungilnya, isakan-isakan kecil masih terdengar dari mulut Yuri. sang kakak, Kei, sudah tak tahan lagi dengan keadaan ini. diputar akalnya mencari cara supaya bisa keluar dari rumah ini. ia mencari-cari ke sudut ruangan itu. ia baru sadar bahwa mereka tak memiliki pintu belakang. ia sedikit putus asa.

lantai bertanah, dinding berkayu, perabotan dari kayu, dan di sekitar situ hanya ada peralatan masak sang ibu. baiklah. ia tahu apa yang harus ia lakukan.

ia melepaskan pelukan adiknya dan berlari menuju pojok dinding yang sudah sedikit berlubang. sang adik menatap kakaknya dengan bingung. ia menghampiri kakaknya.

"kakak... sedang apa?", tanya Yuri.

Kei tak menjawab. ia hanya mengambil sendok kayu dan pisau dari meja makannya dan mulai menggali tanah. keringat mulai bercucuran keluar dari kedua pelipis dan ubun-ubun kepalanya.

"kakaaak..."

"diamlah Yuri. mereka akan tahu kalau kita ada di sini kalau kau terus merengek seperti itu"

Yuri bungkam. ia menuruti kata-kata Kei dan kembali duduk ke bangkunya dan hanya menatap kakaknya yang terus saja menggali tanah. ia bingung. kemudian ia mengambil boneka dari dalam lemari kemudian dipeluk untuk menenangkan hatinya.

Kei terus menggali tanah namun sendok kayu yang dipakainya untuk menggali tanah itu patah karena terlalu rapuh dipakai untuk menggali tanah yang keras. dipakainya pisau yang sejak tadi berada di genggamannya dan mulai menggali lagi. saat dirasa cukup dalam, ia menarik dinding kayunya agar semua paku yang menautinya segera lepas. sayangnya ia masih kecil dan tak punya cukup tenaga untuk melepas semua pakunya dan hanya beberapa paku saja yang berhasil terlepas dan perlahan kayu itu mulai terangkat naik sehingga lubang yang sudah ia gali mulai tampak semakin dalam dan ada ruang untuk melarikan diri.

Kei terduduk di lantai dan mengatur napasnya setelah berjuang menggali dan membuat lubang di rumahnya sendiri. ditolehkan kepalanya dan kini menatap wajah adiknya yang polos menatap kakaknya. ia memandang sayu adiknya dan matanya mulai berkaca-kaca.

dilambaikan tangannya dan menyuruh sang adik menuju ke arahnya. Yuri menganggukkan kepalanya pelan dan berjalan ke arah kakaknya. Kei langsung memeluk Yuri dan tangisnya pecah saat itu juga sementara di dalam pelukan kakaknya, Yuri mengerjapkan matanya kebingungan.

"kakak, kenapa...."

sebelum melanjutkan kata-katanya, Kei segera melepaskan pelukannya dan menatap Yuri dalam-dalam.

"Yuri, dengarkan aku. kita harus keluar dari sini"

mata Yuri terbelalak. ia menatap kakaknya bingung.

"ma.. maksudnya?"

"kita keluar lewat lubang itu", ucap Kei sembari menunjuk ke arah lubang yang baru saja selesai ia buat.

"tapi.. tapi ibu bagaimana?"

"Ibu tidak apa-apa. Ibu akan baik-baik saja"

Yuri menggelengkan kepalanya,"tidak mau. kalau kita pergi, Ibu juga harus ikut"

"Yuri..."

"Yuri tidak mau. Yuri di sini saja sama ibu"

"Yuri jangan keras kepala..."

mata Yuri berair dan kini kembali menangis tapi dalam diam. anak itu tahu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk meraung. Kei menatap adiknya sedih. ia sangat memahami perasaan adiknya itu. namun ia kembali tersadar bahwa sudah tak ada waktu lagi untuk menunggu semuanya kembali baik-baik saja atau sesuatu yang buruk akan segera terjadi.

ia mendorong tubuh adiknya hingga ke depan lubang namun Yuri memberontak.

"jangan menolak, Yuri. sudah tak ada waktu lagi. semuanya akan baik-baik saja jika kita berhasil keluar dari sini"

mendengar itu, Yuri pun kemudian menuruti kakaknya. ia masuk ke lubang itu dan kini berhasil keluar dari sana.

"ah, kakak, Oochan!!"

Kei mengambil Oochan, boneka kesayangan adiknya kemudian menyerahkannya pada Yuri. ketika ia juga hendak keluar lewat lubang itu, tiba-tiba suara seorang laki-laki menghentikannya. anak itu menoleh ke belakang dan mendapati sesosok laki-laki bertubuh besar dan berwajah tampan sedang menatapnya tajam dan penuh amarah. Kei membelalakkan matanya menatap pria itu sembari meneguk ludahnya sendiri.

wajah itu, suara itu, tentu saja masih teringat jelas di benak seorang Chinen Kei.

*TBC*


MomentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang