***
Aku duduk dengan diam didalam mobil sambil menatap nanar keluar jendela. Aku masih tidak mengerti mengapa aku bisa sampai berada didalam mobil yang sedang dikemudikan supir menuju rumah besar keluarga Dickinson sementara Ayah dan Ibu ku tepat didepanku dengan mobil yang berbeda. Aku ingin menjerit jengkel saat tiba-tiba saja ibu datang ke apartementku dan memaksaku untuk berganti pakaian menggunakan gaun malam yang dibelikan olehnya. Lalu dengan santai berkata kalau apapun yang menjadi alasanku untuk tidak pergi ke undangan makan malam itu, dia akan memecatku sebagai anaknya.
Huh, Ibu mana yang seperti dia didunia ini. Rencana Mark, benar-benar berhasil.
Aku mulai melihat mobil yang membawaku memasuki pekarangan sebuah rumah besar dan aku masih sangat ingat kalau ini adalah rumah besar Keluarga Dickinson. Aku mengerucutkan bibirku, rumah ini tidak berubah sama sekali. Aku ingat aku sering kesini untuk sekedar membantu Mrs. Dickinson membersihkan keramik-keramik kesayangannya. Walaupun ada pelayan yang bisa mengerjakan itu, tetapi ya begitulah. Mrs. Dickinson selalu was-was jika ada orang lain yang menyentuh barang kesayangannya itu dan tentu saja hanya aku yang diizinkan menyentuh itu. Katanya aku anak yang sangat lembut dan berhati-hati.
Mobil berhenti dan dengan segera sopir yang mengemudikan mobil keluar dan mengitari bagian depan mobil untuk membuka pintu mobil untukku "Silahkan Nona"
Aku memasang wajah kecut kepadanya lalu dengan pelan menurunkan satu persatu kakiku dari mobil. Aku menghampiri ibu dan ayah di dekat mobil mereka lalu dengan sabar mengikuti mereka dari belakang sementara para pelayan dirumah itu mengarahkan ketempat Mr. dan Mrs. Dickinson berada.
Tuhan, aku benar-benar tidak ingin berada disini.
Ibuku langsung disambut pelukan hangat dari Mrs. Dickinson saat kami tiba diruang tamu. Sementara ayah dan Mr. Dickinson juga berpelukan satu sama lain.
Aku menunggu dengan sabar hingga mereka melepaskan pelukannya, Mark tidak ada disini dan aku sangat berharap dia memang tidak akan berada disini sampai makan malam kami berakhir. Kedua pasang mata itu-orang tua Mark- beralih menatapku dengan kening mengeryit.
"Emily?" katanya.Aku tersenyum kikuk lalu menganggukan kepalaku "Bagaimana kabar anda?"
"Oh Emily!" Mrs. Dickinson maju untuk memeluk dan seketika membuat seluruh tubuhku menjadi tegang. Oh Tuhan, kenapa bisa seperti ini?
Dia melepas pelukannya lalu memegang pundakku. Dia menatapku seperti ada sesuatu yang aneh diwajahku lalu dengan segera memeluk ku lagi.
"Kau semakin cantik sayang" ucapnya setengah menangis. "Bagimana kabarmu? Ini sudah 4 tahun"Aku tersenyum hangat lalu tanganku terangkat untuk mengusap pundaknya dengan pelan "Saya baik, Mrs. Dickinson"
"Oh Tidak" dia melepas pelukan kami. Kenapa? Aku menatapnya.
"Panggil aku Rachel. Seperti 4 tahun lalu" aku mengeryitkan dahiku lalu kembali tersenyum kikuk. "Aku mohon, jangan membuatnya menjadi canggung diantara kita"
Apa aku bisa? Aku hanya mengangguk sebagai balasannya.
Mr. Dickinson maju dan memegang pundakku. Dia meremasnya sedikit lalu memberikanku senyuman kebapak-bapakkannya. "Senang melihatmu kembali, Emily"
"Saya juga senang melihat anda Mr. Dickinson Anda terlihat sehat"
"Terima kasih Em. Tolong panggil aku Steven"
Aku lagi lagi hanya tersenyum kikuk dan menganggukkan kepalaku.
"Benar kata Rachel, kau semakin cantik dan dewasa" Mr. Dickinson melemparkan pujiannya kali ini kepadaku. Membuat pipiku bersemu merah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Leave Me
RomanceEmily Osment sudah pernah merasakan yang namanya sakit hati selama hidupnya. Itu terjadi ketika dia baru saja masuk perguruan tinggi. Dia memergoki kekasihnya sedang asik berhubungan bercinta di tempat tinggal kekasihnya. Tujuannya ialah ingin membe...