6. The Result

32 5 6
                                    

"Kita balik duluan ya!" Fendy berseru padaku.

Aku hanya mengangguk. Jam pelajaran sekolah sudah selesai. Aku hanya menghela nafas. Dan sialnya, kini aku terjebak bersama tumpukan buku, hanya gara-gara aku menjadi perwakilan kelas. Menyebalkan. Seharusnya tadi aku ke UKS atau bolos jam wali saja.

Aku kembali menghela nafas. Bagaimana dengan hadiah Mika ya? Apa sudah diberi ke Fella? Ah sudahlah, itu bukan lagi urusanku. Yang terpenting aku hanya perlu menyelesaikan tugas yang menumpuk ini.

***

"Hei! Belum pulang ya?" Suara yang lantang terdengar hingga ke telingaku.

Aku menoleh. "Masih ada banyak tugas." jawabku singkat dan kembali berkutat dengan tugasku.

"Heh... Kasian..." Mika kemudian mengambil bangku dan duduk di depanku. "Yosh! Semangat! Semangat!" serunya sambil menggoyangkan mejaku.

Aku berhenti menulis dan menatapnya. "Jangan menggangguku, Ka. Aku sedang malas bercanda." ujarku kesal.

Mika hanya menguap tanpa menjawabku. "Gimana? Tadi aku ngantuk. Bisa ulang lagi?" tanyanya lagi.

Aku hanya mengibaskan tanganku dan melanjutkan tugasku. Namun entah mengapa, Mika nampaknya ingin sekali mengangguku. Dia terus-terusan berteriak dan menggoyang-goyangkan mejaku. Saat hendak mencubit tangannya, aku mengurungkan niatku seketika dan hanya menatap benda yang melekat pada tangannya.

"Ini bukannya gelang yang waktu itu ya?" tanyaku sambil memandang gelang pada tangan Mika.

"Mau ya?" tanyanya sambil tersenyum menggodaku, dan kubalas dengan tatapan mataku yang dingin. "Kalau kamu mau, aku kasih beneran nih..." lanjutnya.

Aku hanya menatapnya. "Nggak usah. Lagipula nggak bakalan kupakai," kataku kemudian.

Mika hanya menghela nafas, lalu melepas gelang pada tangannya dan memberinya padaku. "Buat kamu. Kalau aku kasih, ya harus dipakai." katanya sambil tersenyum. Nampak sekali kalau senyumnya dibuat-buat.

Menyebalkan.

"Aku nggak minta. Lagipula wajahmu nggak ikhlas banget." kataku sambil melanjutkan menulis.

"Ehh! Tunggu. Oke, aku jujur. Aku beli gelang ini buat kamu. Jadi, harus dipakai." Mika menatapku datar.

"Kamu bisa jujur ya ternyata?" godaku sambil tertawa.

"Sialan..." balasnya sambil ikut tertawa. "Lagipula, aku beli gelang ini sebagai ungkapan terima kasihku. Kalung itu, sudah kuberikan pada Fella. Dia bilang dia suka." Mika tersenyum.

"Oh. Begitu ya. Kukira," kataku sambil tertawa. Aku menyadari bodohnya diriku mengira Mika akan membeli ini dengan alasan khusus.

"Kamu kira, apa?" tanya Mika sambil mengangkat sebelah alisnya.

Aku hanya diam sebentar. "Nggak, lupakan saja." jawabku pada akhirnya.

"Ya sudah. Kayaknya kamu sudah kembali ceria. Aku pulang dulu ya.. Dagh! Semoga sukses dengan tugasmu!" Mika kemudian berdiri dan hendak keluar.

"Eh! Bentar!" Aku tidak sadar kalau aku berseru pada Mika. Itu diluar kehendakku!

"Kenapa?" Mika menatapku, dan kembali. "Perlu aku bantu?" tawarnya sambil mengambil bolpen dari tanganku.

"Eh. Bukan. Aku cuma mau bilang hal penting." Aku hanya menunduk tanpa berani menatap Mika.

Mika hanya tertawa. "Ya ampun! Nggak kusangka. Ternyata kamu bisa ngomong serius." ujarnya di sela-sela tawanya.

Aku hanya diam. "Aku nggak bercanda, Mika. Aku mau ngomong serius. Jangan ketawa ya!" ancamku sambil menatap Mika.

Mika yang awalnya tertawa kemudian diam dan mengangguk.

"Aku suka kamu." kataku sambil menatap Mika lekat-lekat. Aku tahu dia sudah punya Fella. Tapi aku boleh memberitahunya kan?

Mika awalnya hanya diam. Namun akhirnya bicara. "Aku tahu," jawabnya singkat.

Hah? Apa maksudnya?

"Maksudmu? Tahu apa?" tanyaku bingung. Aku bahkan tidak mengerti perkataannya.

"Aku tahu perasaanmu. Kamu ingin menyatakannya waktu kelulusan 3 tahun lalu kan? Tapi kamu tahu kan. Aku nggak bisa. Aku sudah punya Fella." kata Mika sambil menghela nafas.

Aku sudah tahu jawabanmu.

"Aku berusaha menghidarimu. Berusaha menjauh. Tapi, menurutku, itu membuatmu semakin terluka. Ketika aku mendekatimu, aku malah membuatmu semakin berharap. Aku bingung sendiri. Jadi, maaf. Kamu tahu jawabanku." Mika kemudian berdiri dan meninggalkanku.

Aku hanya menghembuskan nafas lega. Aku tidak menyesali keputusanku mengatakannya. Akhirnya aku tahu bahwa aku memang ditolak mentah-mentah. Aku jadi tidak akan berharap lagi.

Kuputuskan untuk berhenti sejenak. Aku menuju jendela kelas dan menatap kerumunan teman-temanku yang pulang. Karena kelasku di lantai 2, aku dapat melihat siapapun di lantai bawah.

Dan lagi-lagi, aku menemukanmu di tengah kerumunan orang. Aku tidak bisa lagi menyebut ini takdir. Mungkin bagiku, inilah yang kusebut kutukan. Tanpa kusadari lagi, aku menangis.

Aku ditolak.

Kenyataan yang pahit kembali menghantamku. Dan yang paling menyakitiku, kesadaranku bahwa aku telah menipu diriku sendiri. Aku mengingkari janjiku sendiri. Janji yang kubuat, untuk menimbun perasaanku ini, kurusak sendiri. Menyedihkan memang. Tapi ini sudah terjadi.

Aku harus menerimanya.

PleaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang