14. Prospect

16 3 0
                                    

“Gimana?” suara Joe terdengar jelas.

“Berhasil.” kataku sambil tersenyum. “Tapi aku tetap nggak suka caramu.” tambahku lagi.

“Maksudmu?”

Aku hanya mendecak kesal. “Apa-apaan maksudmu dengan janjian denganku tapi malah mengirim Mika?” jawabku kesal.

Joe hanya tertawa. “Kalau nggak begitu kau nggak akan mau kan,” katanya sambil tertawa.

Aku hanya mengerucutkan bibirku. “Yah, pokoknya aku berterima kasih padamu.” Kemudian aku menutup telepon.

***

Aku kembali berpikir sambil memandangi langit-langit kamar. Aku sudah menyelesaikan masalahku kali ini. Apa salah jika aku berharap sekali lagi?

Harapanku kali ini hanya agar dapat kembali seperti dulu. Aku ingin berteman dengan Mika. Bisa tertawa dan mengobrol dengannya sudah cukup untukku.

Lagipula, aku mulai mempelajari apa itu cinta. Cinta itu ingin melihat orang yang kita sukai bahagia. Aku ingin melihat senyum Mika. Cukup melihatnya saja. Itu sudah cukup.

Ya. Itu sudah cukup. Aku tidak membutuhkan lebih.

***

“Ra, untukmu.” Tiba-tiba saja Mika melemparkan botol minuman padaku saat jam olahraga.

Aku langsung menangkap botol itu dan meminumnya. Lemon juice kesukaanku.

“Ada perlu apa?” tanyaku setelah melepas rasa hausku.

“Aku perlu bicara denganmu saat pulang sekolah. Di perpus,” kata Mika sambil memalingkan wajahnya.

Aku tidak dapat membantah dan hanya mengangguk kecil. Setelah itu, Mika pergi menyusul anak-anak cowok lainnya.

Aku hanya dapat menghela nafas. Sambil memandangi anak-anak cewek yang bergerombol. Pelajaran olahraga adalah hal yang paling kubenci. Murid cewek dan cowok dipisah. Dan... Selalu berakhir seperti ini. Aku seperti orang terasingkan. Menyendiri di pojok lapangan. Menyedihkan memang.

Sesekali kulihat anak-anak cowok yang bermain basket. Beberapa dari mereka berusaha memberi kode padaku untuk ikut bermain dengan mereka. Sempat terbesit dipikiranku untuk menyelinap ke grup basket cowok. Tapi kuurungkan niat gilaku. Aku bisa ketahuan guru. “Nggak,” jawabku tanpa suara sambil menggelengkan kepalaku, menolak ajakan anak-anak cowok.

Aku hanya bisa menunggu di pojok lapangan sambil berharap jam olahraga segera selesai dan menerka-nerka apa yang ingin dikatakan Mika saat sepulang sekolah nanti. Semoga saja hal baik.

Semoga saja...

***

Saat bel tanda usai berbunyi, aku segera melangkahkan kakiku ke perpustakaan. Pelajaran terakhir tadi biografi. Dan kini aku tahu kenapa Mika menyuruhku bertemu di perpustakaan. Dia tadi mengerjakan tugas di perpustakaan. Dia tidak mau repot.

Yah, kurasa pilihannya untuk berbincang di perpustakaan tidaklah buruk. Biasanya sepulang sekolah begini, perpustakaan sepi.

Aku memandangi perpustakaan. Aku tidak melihat Mika di meja perpustakaan. Jadi, kuputuskan menelusuri tiap rak buku.

Aku menemukan Mika sedang duduk di ambang jendela perpustakaan. Pandangannya menatap keluar jendela sehingga tidak menyadari kehadiranku.

Matanya terpejam, rambutnya tertiup pelan oleh angin, dan sikapnya yang santai membuatku terpana. Yang ada dihadapanku saat ini bukanlah Mika yang dulu kukenal. Mika yang ada dihadapanku adalah sosok Mika yang dewasa. Bukan lagi Mika yang menggemaskan yang ingin kulindungi. Tapi sosok yang aku inginkan untuk melindungiku.

“Ka?” Kuputuskan untuk mulai bicara. Mika yang mendengarku hanya tersenyum dan membuka matanya. Pandangannya masih menatap keluar jendela.

“Sudah datang ya.” Mika hanya tersenyum.

Kuputuskan untuk tetap berdiri dan bersandar pada salah satu rak buku. “Mau bicara tentang apa Ka?” kataku sambil menatap Mika. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku.

Mika kemudian menatapku dam menghela nafas. “Aku hanya ingin minta maaf padamu Ra.” katanya sambil tersenyum lagi.

Aku hanga dapat mengernyitkan dahiku. Minta maaf? Lagi? “Ka, kesekian kalinya kuberitahu padamu. Berhentilah minta maaf. Kau nggak salah.” kataku sambil menggigit bibirku. Kini aku mulai bingung.

“Aku tahu semuanya Ra,” kata Mika sambil memandangiku.

Aku langsung memalingkan wajahku, Menatap luar jendela dan berusaha mendinginkan pikiranku. “Tentu saja Ka. Kan sudah kuceritakan padamu.”

Mika hanya tertawa mendengar perkataanku. “Sudah kuduga kamu akan menjawab begitu.”

Aku semakin tidak mengerti. Mika aneh. Aku bahkan tidak tahu kemana arah pembicaraan ini.

“Joe cerita padaku.” Mika kembali menatap keluar jendela. Berusaha menerawang jauh.

Joe? Hubungannya apa? Tunggu... Jangan bilang kalau...

“Aku putus dengan Fella.” Mika tersenyum sambil memandangiku.

Aku hanya dapat diam. Aku tidak tahu harus senang atau sedih. Aku hanya dapat diam, menunggu kelanjutan Mika.

Mika kembali tertawa seakan berusaha menghibur dirinya sendiri. “Aku minta maaf padamu. Aku nggak tahu Fella akan begitu padamu. Aku nggak menyangka dia akan berbuat sejauh itu.”

Entahlah... Mika yang dihadapanku memang tertawa. Tapi bukan tawa ini yang ingin kulihat. Tawanya kali ini penuh kesedihan. Aku tidak menginginkan Mika yang seperti ini.

“Ka, aku yang salah. Kalau aku diposisi Fella aku akan lakukan hal yang sama.” Aku berusaha membujuk Mika. Berharap dia akan berubah pikiran. Entahlah, aku tidak habis pikir mengapa kini aku membela Fella.

Mika hanya menatapku. Terdiam mendengar perkataanku. “Aku nggak bisa pacaran sama orang yang bahkan cemburu sama sahabatku sendiri Ra.” katanya kemudian.

“Aku harap kamu nggak asal memutuskannya Ka. Aku nggak mau kamu putus hanya karena masalahku.” Aku kembali menatap Mika.

Mika hanya tersenyum. “Aku yakin ini yang terbaik Ra,” Mika kemudian berdiri dan menenteng tasnya. “Mau pulang bareng?”

Aku hanya tersenyum dan mengangguk kecil. Jauh didalam hatiku, aku masih memikirkan semua ini.

Selama perjalanan Mika menjawab semua pertanyaanku. Ternyata Mika memutuskan Fella tadi pagi. Saat kutanya lebih lanjut, kupikir Mika akan menghindar. Tapi dia menjawabnya dengan selalu tersenyum.

***

Aku merebahkan diriku diatas ranjang. Mika membuatku heran. Aku tak habis pikir kalau Mika lebih mengutamakan persahabatannya daripada percintaannya.

Aku bingung. Perasaanku kini terombang-ambing. Aku tidak tahu, apakah aku harus senang atau sedih. Di satu sisi, aku merasa senang karena mereka berdua putus. Tapi disisi lain, aku sedih melihat mereka.

Aku merasa bersalah.

Seandainya aku tidak menyukai Mika, seandainya aku tidak menyatakan perasaanku pada Mika, seandainya aku tidak berharap pada Mika, dan seandainya aku tidak mengatakan yang sebenarnya pada Joe. Ini tidak akan terjadi.

Aku nampak buruk. Seakan aku merusak hubungan mereka. Tunggu dulu. Ini bukanlah 'seakan' lagi. Tapi memang aku telah melakukannya. Bodoh...

Aku merasa benci diriku sendiri. Namun aku kembali sadar. Aku kembali berharap pada Mika. Berharap dia akan berpaling padaku.

Entahlah... Aku hanya berharap.

PleaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang