10. Buried

19 4 0
                                    

“Ka, ada apa dengamu?” kataku sambil memandangnya heran.

Mika hanya menatapku.

“Kau nggak percaya?” tandasku saat melihat ekspresi Mika.

“Aku kenal kamu dari SD, Ra. Aku tahu kalau kamu punya masalah. Aku tahu gimana tingkahmu kalau berbohong.” balasnya sambil menatapku tajam, seolah berusaha membaca pikiranku.

“Aku nggak ta—“

“Katakan yang sebebarnya Ra,” potong Mika.

Aku hanya menghela nafas. “Aku punya masalah sendiri, Ka. Dan kurasa ini nggak penting buat kusampaikan.”

“Ra—“

“Aku mohon Ka.” potongku cepat sebelum Mika mulai membantah lagi. Setelah itu, kutinggalkan Mika.

Kejadian tadi kembali terbesit dipikiranku. Mika yang tiba-tiba menghampiriku, kemudian menanyakan apakah aku ada masalah. Aneh! Bukan Mika yang kukenal. Mika yang selama ini kukenal, berusaha menutupi rasa keingin tahuannya dan menunggu aku menceritakannya. Dia nggak pernah memaksaku bercerita seperti ini.

Aku hanya menggeleng cepat. Mungkin Mika hanya merasa bersalah.

Mungkin saja…

***

Aku segera meregangkan badanku. Melemaskan otot-ototku yang kaku karena terlalu lama pada posisi yang sama. Setelah itu, kusenggol Fendy disampingku. Dia nggak bergerak sama sekali. Jadi kuputuskan menyenggolnya lagi.

Sialan. Bocah ini malah tidur ternyata. Pantas saja dia nggak bergerak sama sekali dari tadi.

“Fen! Bangun hei. Molor mulu.” seruku tepat ditelinganya.

Fendy hanya mengerang pelan. “Sialan kau. Malah teriak-teriak di telingaku. Sakit bodoh.” gerutunyanya sambil memegangi telinganya. “Untung telingaku masih utuh.”

Aku hanya menatapnya datar. “Tidur mulu.” sindirku sambil mengerucutkan bibir.

Fendy hanya melirikku. “Ngajakin berantem?” tantangnya lagi.

Aku hanya tertawa kecil. “Mau mati?” kataku sambil melirik Bu Rita, penjaga perpustakaan yang galaknya minta ampun.

“Nggak jadi, deh.” gerutu Fendy. “Oh iya. Pinjam hasil kerjaanmu.” tambahnya sambil mengambil bukuku.

Aku hanya memandangnya dengan tatapan mengejek. Namun Fendy sudah tidak mempedulikanku. Jadi aku memutuskan berdiri dan berkeliling perpustakaan. Baru berjalan beberapa langkah saja, mataku menangkap dua sosok yang kuhindari akhir-akhir ini.

Mika dan Fella.

Aku segera memalingkan wajah. Hatiku kembali terasa sakit. Sudah 3 tahun aku tidak merasakan sakit ini lagi. Aku tidak mau kembali seperti Tara 3 tahun yang lalu, yang hanya bisa menangis dan putus asa. Aku sudah bertekad untuk belajar merelakan. Aku akan menjadi kuat.

Pandanganku menjadi buram. Sial. Aku masih menangis. Aku masih lemah. Aku hanya dapat mendengus sambil merutuki diriku sendiri dan berbalik. Aku mengusap air mataku, dan menghampiri Fendy lagi.

“Nangis?” tanya Fendy saat melihatku menghampiriya.

Aku hanya terlonjak mendapatinya menebak apa yang terjadi padaku. Bocah ini kadang kurang peka, namun bisa juga sangat mengerti perasaan orang lain. Aku kadang mengagumi sifatnya.

Aku hanya menggeleng cepat. “Nggak. Tadi kelilipan.” kataku tegas.

Fendy hanya memandangiku. “Bohong.” katanya pelan.

PleaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang