8. Judgement

22 4 2
                                    

Keputusanku sudah bulat. Aku akan meninggalkan Mika. Keputusanku ini sudah terlintas di benakku sekian lama. Namun baru akan kulakukan kali ini.

“Kamu yakin? Pertukaran pelajar kali ini mau kamu ambil?” Wali Kelasku menatapku heran.

Aku hanya membalasnya dengan anggukan kecil.

Wali kelasku hanya menghela nafas. “Saya tahu kamu anaknya pintar, mudah bergaul, dan masih banyak kelebihan yang kamu punya. Tapi, apa tidak terlalu buru-buru?” tambahnya lagi sambil menatapku.

“Saya yakin, pak. Lagipula dengan pertukaran pelajar, saya bisa bertemu orang-orang yang baru.” jelasku berusaha meyakinkan wali kelasku.

“Baiklah. Kamu isi formulir ini, lalu besok serahkan ke tata usaha.” Wali kelasku menyerahkan beberapa lembar kertas.

Aku hanya mengangguk, lalu menerima kertas tersebut. Kertas yang akan merubah kisahku. “Makasih pak.” kataku sambil beranjak pergi.

Aku hanya bisa berjalan menelusuri koridor sambil merenung. Aku memang sudah bilang pada kedua orang tuaku. Mereka awalnya kaget, namun pada akhirnya mengerti. Aku tidak berkata jujur pada mereka. Kadang, aku merasakan penyesalan yang teramat sangat. Aku merasa aku sudah menyusahkan semua orang disekitarku. Dan masalahnya pun hanga sepele. Hanya soal cinta! Gila bukan? Aku hanya dapat menghela nafas, berharap dapat mengurangi beban di benakku.

Brak! Tiba-tiba saja aku terjatuh.

Spontan aku langsung meminta maaf. Tapi, orang dihadapanku ini seakan membekap mulutku. Aku tidak dapat berkata-kata. Aku hanya dapat menundukkan kepala tanpa berani menatapnya.

Kupungut kertas formulirku yang berjatuhan. Dapat kulihat, orang itu juga ikut memungut kertas yang jatuh. Namun belum sampai dia memungutnya, rahangnya menegang dan menatap kertas itu dengan tatapan tidak percaya.

“Ra, kamu mau pindah sekolah?” ujarnya dengan nada paling berat yang pernah kudengar.

Aku hanya diam saja, dan tetap memungut kertas yang jatuh. Setelah itu, tanpa menatapnya, aku beranjak pergi.

“Ra, ini bukan salahmu.”

Aku hanya menghentikan langkahku, menghela nafas, dan berusaha menyusun kata demi kata didalam benakku. “Ini keputusanku. Bukan tentang salah siapa, Ka.”

Ya, orang itu adalah Mika. Orang yang membuatku bersusah payah melakukan segala hal hanya untuk melupakannya.

“Ra, aku mohon. Jangan pergi.” Mika menarik pergelangan tanganku.

Aku hanya dapat menepis tangannya. “Kamu mungkin nggak tahu bagaimana perasaan Fella kalau melihat kita. Kamu mungkin nggak tahu bagaimana perasaaanku kalau kamu bersikap begini. Dan yang pasti, kamu mungkin nggak tahu mana yang harus kamu pilih.” tandasku sambil menatap Mika.

Mika awalnya nampak kaget, namun akhirnya dia hanya diam. “Aku memang nggak tahu apapun. Tapi, Ra, kita sahabatan dari SD. Aku nggak mau persahabatan kita rusak hanya karena masalah sepele.”

Aku hanya dapat diam. Aku harus menyelesaikan masalahku dengan Mika kali ini. “Kita tetap sahabat, Ka. Sudahlah, ini keputusanku.” kataku sambil berbalik meninggalkan Mika.

Ya, inilah keputusanku. Meninggalkan. Bukan melupakan.

***

Argh! Dimana formulirku? Aku tidak dapat menemukannya dimanapun. Menyebalkan. Padahal aku harus menyerahkannya hari ini.  Setiap sudut di rumahku sudah kutelusuri. Hasilnya, nihil!

“Cari apa, Ra?” Mama menatapku aneh.

“Fornulirnya hilang. Formulir pertukaran pelajar.” jawabku panik.

PleaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang