Part 3 - Danau Besar

226 17 0
                                    

"Selamat pagi, pak." Ayahku menyapa seseorang yang sedang duduk di ruang tamu rumah pertanian itu.

Orang itu menoleh, dan tersenyum pada ayahku.

"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" Tanyanya ramah.

Kumisnya dan rambutnya yang berwarna keabu - abuan bergoyang - goyang dengan lucunya karena terkena angin. Orang itu tampaknya berumur sekitar 70 tahun, namun ia masih segar bugar dan sehat.

"Saya ingin membeli keju, susu dan daging." Jawab ayahku.

Orang itu segera mengambilkan pesanan ayahku, lalu membungkusnya.

"Nama saya Alfred, pemilik pertanian ini. Anda sedang melancong, ya? Tempat sekitar sini memang sering didatangi pelancong" katanya.

"Ya, kami akan melancong disini selama seminggu, di dekat danau besar disana." jawab kakekku.

"Danau itu dulu namanya Danau Moran. Sekarang sudah diubah menjadi Danau Besar karena akan lebih mudah dikenali orang. Waktu aku kecil danau itu belum terlalu dikenal orang seperti sekarang." Kata pak Alfred sambil membungkus pesanan kami.

"Nah, ini sudah selesai!" Katanya sambil memberikan bungkusannya kepada kami.

"Datanglah kapan saja kalian mau. Mungkin ada lagi yang bisa kubantu lain kali." Jawabnya. Senyumnya sangat ramah dan menenangkan. Tampaknya pak Alfed adalah orang yang sangat baik.

"Berapa semuanya, pak?" Tanya ayahku.

"Lima belas dollar saja." Katanya.

Ayahku mengeluarkan uangnya dan memberikan $20. Pak Alfred beranjak hendak mengambil kembalian, tapi ayahku menolak.

"Ambil saja kembaliannya untuk bapak. Bapak sudah banyak membantu kami dan kami sangat berterimakasih juga atas keramah tamahan bapak kepada kami." Kata ayahku.

Pak Alfred tampak sangat berterima kasih kepada kami.
Kami pamit pada pak Alfred, lalu melanjutkan perjalanan.

"Kasihan orang setua itu masih harus bekerja." Kata ayahku.

Kami melanjutkan perjalanan menelusuri jalan kecil yang tadi kami lewati. Sekitar lima belas menit kemudian, Danau Besar sudah terlihat. Mobil kami melanjutkan perjalanan menelusuri jalan kecil yang mulai naik ke atas sebuah bukit.

Di atas bukit, barulah kami berhenti.
Pemandangannya sangat indah. Banyak bunga-bunga yang tumbuh dengan liar di bukit itu, dan Danau Besar bisa terlihat dengan jelas dari atas sini. Di dekat Danau Besar ada beberapa tenda para pelancong. Namun ayahku memilihkan tempat sepi ini untuk kami, sehingga tidak akan terganggu dengan kebisingan orang - orang di bawah sana.

Kami turun dari karavan dan melihat - lihat sekeliling bukit itu.
Puncak bukit itu cukup luas untuk kami, dan banyak hewan dan tumbuhan yang tinggal di bukit. Terkadang kami menemukan lubang kelinci, dan kelinci berkeliaran di sekitar bukit. Kami juga pernah menemukan seekor rusa diantara pepohonan di ujung bukit.

Banyak jenis burung juga yang beterbangan di langit sekitar danau dan bukit ini. Di sebelah barat bukit, ada sungai yang mengalir dari sebuah mata air. Mungkin asalnya dari dalam bukit.

"Professor Barrel mungkin akan senang melancong kesini dan mengamati kehidupan fauna di sini." Gumam ayahku. Professor Barrel adalah seorang professor yang tinggal di dekat rumahnya.

Sekitar pukul satu setelah makan siang, kami turun dari bukit untuk melihat Danau Besar. Danau itu cukup sepi, dan matahari bersinar terik. Serena senang bermain air di tepi danau itu bersama istriku. Sedangkan aku dan orang tuaku duduk - duduk agak jauh dari tepi danau.

Sinar matahari menembus air danau dan terkadang aku melihat beberapa ekor ikan yang berenang melintas, atau sekumpulan ganggang yang tumbuh di dalam danau.

Seorang laki - laki duduk di dekat kami dan mencatat sesuatu di buku catatannya. Ia memakai topi berwarna krem, dan kulitnya kecoklatan karena terbakar sinar matahari yang bersinar terik.

"Selamat siang. Hari ini sangat cerah ya?" Aku beranjak untuk menyapanya.

"Selamat siang." Katanya. "Saya sedang meneliti kehidupan flora dan fauna di danau ini."

"Oh, anda seorang professor?" Tanyaku sembari duduk di sebelahnya.

"Ya, saya seorang zoologist, dan juga botanist; seorang ahli flora dan fauna." Ia menyodorkan tangannya untuk menyalamiku. "John Green."

"James Thomas, saya seorang penulis." Dan dengan begitu kami berkenalan.
Selanjutnya, kami mengobrol dan ia menjelaskan beberapa objek penelitiannya kepadaku.

"Yang itu ganggang hijau, dan biasanya para ahli menyebutnya dengan Chlorophyta." Katanya.

"Banyak sekali flora dan fauna yang hidup di dalam sana dan rencananya besok aku akan menyelam. Kau mau ikut?" Tanyanya.

"Oh tidak, terimakasih. Saya tidak bisa menyelam." Jawabku.

Teman baruku, John, pamit untuk pergi sekitar jam dua siang, dan kami kembali ke karavan sekitar jam setengah tiga siang.

Serena dan istriku memutuskan untuk tidur siang, sedangkan aku mencari ide untuk bukuku.
Orang tuaku duduk - duduk di sebuah batu besar dan menikmati pemandangan sampai jam minum teh.

Orang inggris biasanya punya kebiasaan untuk minum teh di jam minum teh, yaitu sekitar pukul empat sore. Yang disajikan tidak hanya teh, tapi biasanya disajikan dengan kue - kue kecil. Namun di sini, yang menjadi hidangan utamanya adalah teh.

Sekitar pukul empat sore, kami semua berkumpul untuk minum teh. Ada beberapa batu yang cukup besar dan nyaman untuk dijadikan tempat untuk kami duduk. Aku sangat menikmati sore itu. Langitnya cerah, dan hembusan angin yang menyegarkan menemani obrolan dan candaan kami saat minum teh ditemani beberapa camilan. Jarang sekali aku bisa minum teh di alam terbuka seperti ini.

Semua merasa sangat kenyang, sehingga tidak ada yang mau makan malam hari itu.
Kami mengumpulkan kayu bakar yang ada di sekitar bukit, lalu membuat api unggun. Kami duduk di sekelilingnya dan mengobrol hingga pukul sembilan malam itu, lalu masuk ke karavan masing - masing. Aku mengunci pintunya dan mematikan lampu, lalu semuanya tidur.

Keheningan malam terasa diatas bukit itu. Dimana hewan - hewan malam mulai bangun dan mencari mangsa. Suara burung hantu, suara semak - semak yang bergoyang karena ada binatang yang lewat, suara aliran air sungai terdengar cukup keras sampai ke atas bukit, dan suara dedaunan pepohonan yang bergemerisik diterpa angin kencang.

Terkadang aku juga mendengar suara langkah binatang sedang berlari, yang entah sedang mengejar mangsanya atau dikejar pemangsanya. Hembusan angin dingin menerpa lewat celah - celah karavan.

Kubenamkan tubuhku dalam - dalam ke dalam selimut malam itu, lalu tertidur.

Aku sempat terbangun karena mendengar sesuatu. Namun setelah terdiam dan menunggu, ternyata itu hanya suara beberapa burung hantu yang bersahut - sahutan.

Tidak ada suara yang membangunkanku lagi di malam yang dingin itu, dan sepertinya si burung hantu itu berhasil mendapatkan mengsanya. Mungkin seekor kelinci? Atau mungkin seekor tikus? Apapun yang dia dapat, yang penting suaranya tak menganggu tidurku lagi sekarang.

Beberapa jam kemudian, fajar mulai menyingsing diatas bukit dan para hewan malam kembali tidur di sarangnya masing - masing.

The Red RubyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang