"Orang - orang Gipsi juga biasanya memakai batu - batu mulia sebagai jimat." Roover menjelaskan kepada kami. "Sayang sekali batu - batu itu. Harusnya bisa digunakan untuk hal - hal yang lebih bermutu." Keluhnya.
"Ya, kurasa itu hak mereka juga." Balasku. Kami berbincang - bincang cukup lama, lalu kami beranjak ke atas karena beberapa dari kami sudah mulai lapar lagi. Serena juga sudah menangis - nangis.
Segera setelah sampai di atas, kami minum teh. Kami minum teh lebih awal dari biasanya. Namun tak apalah, karena hari sudah hampir sore pula.
Setelah minum teh, kuambil batu permata yang diberikan para gipsi itu. Warnanya memudar. Kusan seperti semula. Kucoba membersihkannya dengan saputanganku lagi, namun tak bisa. Entah mengapa batu permata itu seperti itu. Lalu tanpa sengaja, kukantongi batu itu karena aku terburu - buru menghampiri Sarah yang memanggilku dari luar karavan.
"Tolong nyalakan api unggunnya, James." Ucapnya.
Kuambil geretan yang kami bawa dan kunyalakan, lalu aku duduk di dekatnya. Serena melihatku, lalu menghampiriku dan duduk di pangkuanku.
Tak lama kemudian, keluarga kami sudah berkumpul semuanya di dekat api unggun itu. Kabut sudah mulai turun kembali dan udara sudah mulai mendingin.
"Apa itu yang bersinar di sakumu, James?" Tiba - tiba ayahku bertanya. Aku segera meraba ke dalam sakuku dan menarik sesuatu keluar.
"Oh, batu permata ini." Jawabku. "Tadi warnanya kusam, dan entah mengapa sekarang jernih kembali dan bersinar cerah terkena pantulan cahaya matahari." Ujarku lagi.
Aku beranjak dan menyimpannya dalam kantongnya, lalu duduk kembali di dekat api unggun.
Hanya beberapa jam kami bercakap - cakap sebelum semuanya mulai mengantuk. Malam yang sunyi dan dingin turun ke atas bukit itu, dan kami semua berbaring di tempat tidur dan terlelap dengan nyamannya.Hujan deras turun dengan tiba - tiba keesokan paginya dan menghambat hari kami, sekitar sampai pukul sembilan pagi. Kami sarapan di dalam karavan, lalu turun untuk mandi sekitar jam setengah sepuluh pagi.
"James! Syukurlah kau cepat pulang kemarin!" John, si zoologist itu, terlihat panik saat kami turun dari bukit. Aku mengisyaratkan untuk pergi pada keluargaku yang lainnya dan aku pergi dengan John ke tepi danau.
"Seekor beruang mengamuk keluar dari hutan kemarin. Hih, menyeramkan!" Serunya.
"Aku masih ingat kepanikan kemarin sore itu, dan aku sudah takut saja beruang itu akan mengoyak tenda kami. Roover juga sangat ketakutan kemarin, namun Gehrar masih berani mengintip - intip keluar tenda."
"Bagaimana dengan pelancong lainnya?" Tanyaku.
"Sama takutnya dengan kami. Mereka belum keluar tenda sampai sekarang." Jawabnya.
Seketika aku teringat tentang batu permata yang pudar warnanya kemarin sore.
"Ooh.. Jadi batu permata itu pudar karena ada bahaya.." Gumamku.
"Batu.. Apa?" Tanya John.
"Batu permata, yang diberikan tetua gipsi di sana pada kami karena kami menyelamatkan cucunya." Jawabku.
"Wah, pasti bagus, kan. Para gipsi senang mengoleksi batu - batu mulia untuk jimat." Jawabnya.
"Ya! Kemarin sore, batu itu kusam sekali warnanya, berarti memperingatkanku tentang bahaya. Lalu saat menjelang malam, saat beruang itu sudah pergi, warnanya kembali cerah!" Ujarku. Kami tertawa - tawa. "Lain kali akan kuperlihatkan padamu." Ujarku, lalu pamit dan beranjak menghampiri keluargaku yang baru saja beres mandi, lalu aku segera mandi.Sekitar pukul tujuh malam itu John, Roover dan Gehrar datang ke perkemahan kami. Aku yang mengundang mereka untuk makan malam bersama tadi sore. Kami makan - makan dan mengobrol.
Kutunjukkan pula batu mulia yang diberikan tetua pada kami.
"Itu batu ruby. Warnanya dan kejernihannya memang indah." Ujar Roover. Ia memang seorang ahli bebatuan, sehingga mengerti hal - hal seperti itu. "Di daerah ini agak jarang ditemukan batu ruby. Pasti tetua suku itu mendapatkannya di tempat lain." Ujarnya lagi. "Tapi harus kuakui, batu itu memang sangat indah dan harganya mahal. Warnanya agak kusam. Besok bawa saja ke perkemahan kami, bisa kurawat agar jernih kembali."
John dan Gehrar juga ikut mengagumi keindahannya. Malam itu tak ada makanan yang tersisa, semua daging habis dimasak dan roti sudah habis untuk sarapan tadi pagi.Keesokan paginya, setelah pergi ke peternakan dan membeli kebutuhan makanan, aku pergi ke perkemahan John dan membawa batu ruby itu.
Sekitar jam sebelas siang batu itu sudah jernih kembali, lalu segera kukantongi batu itu. John mengajak kami berjalan - jalan ke hutan di sebelah barat. Aku memutuskan untuk ikut. Jadi aku, John, Roover dan Gehrar pergi untuk menjelajah hutan barat siang itu. "Hutan barat agak berbahaya karena ada binatang buas di sana. Jadi pastikan kalian memakai sepatu tertutup, celana panjang, dan bawa peralatan - peralatan kita, Gehrar. Ada beberapa jenis ular dan katak yang berbahaya di sana karena hutannya rimbun dan jarang dihuni orang." Jelas John pada kami. "Bawa cadangan makanan kita juga, Gehrar. Hutan barat tak mungkin dijelajahi hanya dalam beberapa jam, jadi mungkin kita akan pulang besok." ujarnya lagi. Aku sempat berlari keatas untuk memberitahu keluargaku dulu sebelum kami pergi. Aku berkemas sebentar, lalu segera pergi ke bawah.
John sudah siap dengan tongkat dan sabitnya, untuk memotong rumput - rumput liar yang tumbuh dengan lebat di hutan.
Banyak spesies tumbuhan yang menarik di dalam hutan itu, namun tak jarang juga kujumpai beberapa katak panah beracun di dekat mata air, dan beberapa ular yang tak berbisa kami jumpai di rerumputan tinggi. Saat matahari sudah hampir terbenam kami membangun kemah di tengah hutan, lalu John menaburi garam di sekeliling perkemahan kecil kami. Roover menyalakan api unggun di tengah - tengah, dan kami duduk mengelilinginya. Gehrar mengeluarkan makanan yang dibawanya, dan kami makan secukupnya, karena harus menghemat persediaan makanan yang ada. Kuambil batu permata yang terasa mengganjal di sakuku, lalu kembali menggosok - gosoknya dengan sapu tanganku. Warnanya agak kusam.
Sekitar pukul sepuluh malam kami tidur dengan kantong tidur masing - masing di dalam tenda. John mendapat giliran pertama jaga malam, lalu aku, Gehrar, dan terakhir Roover.
"James, kau lihat Roover?" Tanya John padaku pagi itu. "Tidak, memangnya, dia tidak ada?" Tanyaku.
"Roover bilang padaku mau buang air kecil sebentar, tuan. Tapi itu sudah dua puluh menit lalu." Ujar Gehrar.
"Aneh. Kemana dia, ya?" Ujar John lagi. Ia tak henti - hentinya mondar mandir di sekitar perkemahan.
"Coba kau cari ke sebelah sana, Gehrar. Aku khawatir, di sini banyak binatang berbahaya." Ujarnya.
Gehrar segera pergi ke arah Roover pergi tadi, lalu kembali lima belas menit kemudian.
"Tidak ada, tuan. Tidak ada pula tanda - tanda ia dicelakai atau dimakan binatang buas." Ujarnya lagi.
John semakin gelisah. Aku ikut merasa gelisah juga. Akhirnya kami semua sepakat untuk mencari bersama - sama. Setelah mengepak barang - barang kami, kami pun pergi ke arah Roover pergi tadi. Kurogoh kantungku untuk mengambil sapu tanganku, dan saat itulah, baru saja kusadari kalau batu ruby ku hilang!
![](https://img.wattpad.com/cover/60347244-288-k612555.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Red Ruby
AventuraJames Thomas adalah seorang penulis best-seller dengan komputernya yang sudah usang. Bersama dengan kedua orang tuanya; Sarah, istrinya; Serena, anak perempuannya; dan Bill, editornya, James pergi berlibur untuk menemukan ide baru untuk buku selanju...