"Cepatlah bersiap, James." Istriku sibuk menyiapkan Aiyana untuk pulang pagi itu.
"Bawa Serena untuk mandi. Ajak ayah dan ibu." Ujarnya lagi.
Aku mengambil handuk yang dijemur diatas semak - semak di luar, lalu menggendong Serena turun. Ayah dan ibuku sudah mandi pagi itu sehingga aku hanya turun bersama Serena saja.
Tak banyak orang yang ada di dekat danau sepagi itu, dan kurasa John sekalipun masih tidur. Toilet kecil itu kosong. Segera kumandikan Serena. Jarang sekali aku memandikannya karena biasanya istriku yang melakukannya.
Setelah selesai, aku mengantar Serena ke atas dan turun lagi untuk mandi. John baru saja keluar dari kemahnya saat itu.
"Kemarin aku menjelajahi hutan di sebelah sana, untuk meneliti kehidupan flora dan faunanya. Dan-- oh! Para gipsi yang galak itu mengusirku dari situ. Sungguh aneh! Memangnya daerah ini milik mereka sendiri?" Katanya kesal.
"Para gipsi tak suka orang asing." Jelasku.
John masih saja berceloteh dan mengumpat - umpat sementara aku beranjak ke toilet kecil untuk mandi.
Selesai mandi kulihat John duduk - duduk di pinggir danau. Aku pamit untuk naik ke atas, lalu beranjak menaiki bukit.
Bukit tempat kami berkemah masih alami, dan permukaannya cukup landai sehingga mudah untuk dinaiki. Tak sulit memanjatnya.
Kujemur kembali handuk di atas semak - semak. Bill sudah menyalakan kembali api unggunnya saat aku naik, dan aku ikut duduk di dekatnya untuk menghangatkan diri. Diatas bukit cukup dingin pagi itu, dan kabut tipis turun menyelimuti bukit dan sekitarnya, sampai ke danau dan hutan.
Aiyana sudah rapi saat itu. Pakaiannya sudah cukup bersih, atau setidaknya lebih bersih dari pada saat ia kubawa ke sini. Rambutnya sudah bersih dan masih basah karena dikeramasi Sarah. Sarah mengeringkannya dengan handuk lalu mengepangnya. Ia hanya punya sepasang sandal yang sudah jelek dan lusuh, jadi kuberikan salah satu sandal yang kami bawa. Agak kebesaran, tapi yang penting kini ia terlihat lebih baik.
Dua kepangan panjang menjuntai di balik bahunya, dan ia terlihat jauh lebih baik begini!
Serena menengok ke dalam karavan dengan takut - takut.
Aku tertawa terkikik melihatnya. Kugendong ia, lalu kubawa ke dekat Aiyana.
Serena langsung memelukku dengan erat tanda ia ketakutan.
"Tak apa sayang, itu hanya Aiyana! Kemari, lihatlah ia manis sekali!"
Aku mendudukan Serena di sebelah Aiyana.
Aiyana hanya duduk terdiam memandangnya, dan mereka saling bertatapan. Serena berusaha menjauh sedikit, tapi rasa penasarannya berhasil mengalahkan ketakutannya.
Akibatnya, ia hanya duduk terdiam saja memandangi Aiyana dengan rasa ingin tahu.
Mereka duduk dalam diam untuk beberapa saat, lalu Serena beranjak pergi.
Aku tertawa geli melihat kejadian itu. Serena sungguh lucu. Rasa ingin tahunya besar, tapi ketakutannya juga besar, sehingga ia tak tahu harus bagaimana dan akhirnya pergi.
Kami berkumpul untuk sarapan bersama, dan Aiyana kami ajak untuk sarapan.
Ia hanya akan duduk diam kalau Sarah tak menyodorkan makanan untuknya, dan ia makan dengan pelan - pelan.Setelah sarapan, kami langsung bersiap - siap untuk mengantarkan Aiyana pulang. Istriku mengambilkan topi untuk Serena karena pagi itu matahari bersinar terik.
"Aiyana, pulang." Kata istriku pada Aiyana. Aiyana hanya mengerti beberapa kata sederhana dalam bahasa inggris, karena itu, ia memendekkan kalimatnya.
Aiyana mengerti dan mengangguk - angguk senang. Ia memimpin kami menuruni bukit ke arah sungai, lalu berbelok. Kami berjalan melintasi pepohonan di hutan, lalu kulihat ada asap mengepul di antara pepohonan disitu.
Aiyana berbalik kepada kami dan tersenyum senang. "Ini." Katanya. Aiyana langsung berlari - lari kecil ke arah asap itu dan mengenggam tangan Sarah bersamanya.
Dan ternyata pak Alfred benar! Ada perkemahan gipsi di sana. Tak begitu besar, namun ada sekitar sepuluh karavan kecil di sana; lengkap dengan kuda dan keledai mereka.
Aiyana melepaskan genggamannya dan langsung berlari ke arah seorang perempuan. Ia langsung memeluknya. Wanita yang dipeluknya itu terkejut, lalu menangis dan memeluk Aiyana. Ia mengucapkan kata - kata dalam bahasa asing.
Kami terdiam melihat kejadian itu. Wanita itu tidak menyadari kehadiran kami karena ia sedang menangis memeluk Aiyana.
Tak lama, seorang laki - laki datang. Ia berumur sekitar empat puluh tahun; dan memakai topi. Ia agak was - was melihat kami, dan karenanya berteriak. Wanita yang sedang menangis itu beralih dan juga melihat kami. Ia juga segera was - was lalu agak menjauh.
Aiyana mengatakan sesuatu dalam bahasa asing kepada mereka, lalu berlari kearah kami dan menggenggam tangan Sarah. Wanita itu kaget, lalu berusaha memanggil Aiyana kembali.
Laki - laki tadi menghampiri kami dan berbicara dalam bahasa inggris.
"Siapa kalian?" Tanyanya dengan sedikit was - was. Matanya terus menatap kearah Aiyana yang menggenggam tangan Sarah.
"Kami menemukan gadis kecil ini terjatuh dan pingsan tersandung akar pohon di hutan, lalu aku membawanya pulang dan merawatnya kemarin." Jawabku.
Pria tadi tampak sedikit kaget, lalu menggumamkan sesuatu dalam bahasa asing.
"Ramalan tetua benar." Tiba - tiba Aiyana menerjemahkannya untuk kami.
"Begini, terima kasih karena kalian sudah menyelamatkan putriku." Kata laki - laki itu lagi. Gipsi - gipsi lain mulai bermunculan di sekitar situ karena penasaran dengan apa yang terjadi. "Kemarilah." Kata laki - laki itu. Aku merasa was - was dan tak aman di sini. Mungkin seharusnya kami membiarkan Aiyana pulang sendirian tadi.
Laki - laki tadi berlutut di depan ke sebuah tenda di samping karavan yang paling besar, dan mengucapkan sesuatu dalam bahasa asing. Seseorang menjawabnya dari dalam, lalu ia mengisyaratkan kami untuk masuk. "Hormatlah pada tetua." Katanya lagi.
Kami duduk dialasi sebuah karpet yang kotor, dan seorang laki - laki tua dengan pakaian yang meriah duduk di depan kami. Laki - laki tadi menjelaskan kejadiannya pada tetua, dan orang yang disebut tetua itu mengangguk - angguk.
"Saat Aiyana hilang kemarin, aku dan istriku menghadap tetua. Tetua meramalkan bahwa seseorang akan membawa putri kami pulang dalam waktu dekat, dan ternyata ramalannya benar." Jelasnya pada kami.
Tiba - tiba tetua itu mengucapkan sesuatu dalam bahasa asing dan mengambil sesuatu dari rak di belakangnya. Laki - laki yang ada di hadapan kami menerimanya. "Ini pemberian dari tetua untuk kalian, karena kalian telah berhasil menyelamatkan putriku."
"Putriku itu cucu tetua, dan tetua sangat sayang padanya. Terima kasih." Ujarnya lagi.
Tetua itu mengucapkan sesuatu lagi dalam bahasa asing. "Katanya, benda itu jimat pembawa keberuntungan, tuan. Ia akan bersinar jika datang waktu yang tepat untuk menggunakannya. Nanti tuan akan mengerti kegunaannya." Laki - laki itu menerjemahkannya pada kami.
Kami berlutut sebagai tanda terima kasih pada ketua. Setelah berpamitan pada tetua, ayah dan ibu Aiyana, dan juga Aiyana sendiri; kami bergegas pulang. Perasaanku baru bisa lega setelah kami berjalan beberapa meter dari perkemahan para gipsi itu. Kulihat kantong kulit yang berisi suatu barang pemberian tetua. Aku berencana akan membukanya saat tiba di karavan saja nanti. Segera kukantongi barang itu.
Kami berjalan sambil saling bercerita tentang pengalaman kami di perkemahan gipsi tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Red Ruby
AvventuraJames Thomas adalah seorang penulis best-seller dengan komputernya yang sudah usang. Bersama dengan kedua orang tuanya; Sarah, istrinya; Serena, anak perempuannya; dan Bill, editornya, James pergi berlibur untuk menemukan ide baru untuk buku selanju...