"John! Batu ruby ku hilang dari kantongku." Seruku. "Demi Tuhan! Musibah apa yang menimpa kita hari ini. Kita kehilangan Roover, juga batu ruby mu!" John terlihat semakin panik saja. "Yakin tak terjatuh saat kita berjalan kemarin?" Tanyanya. "Atau cobalah periksa tasmu. Mungkin kau lupa menaruhnya." Ujarnya. "Tak mungkin, John. Kemarin malam, batu itu masih ada saat kita duduk - duduk di sekeliling api unggun." Jawabku. "Tapi sebentar, coba kucari di tasku."
Aku memeriksa tasku, namun tetap tak kutemukan batu itu. "Tak ada. Dan aku yakin kemarin kukantongi batu itu, John. Tidak kumasukkan ke dalam tas." Ujarku.
"Coba kita cari lagi di perkemahan dan sepanjang jalan ke sini." Ujarnya. John terlihat sangat resah, namun tetp mencoba untuk tenang agar kami semua tak panik. Sepanjang jalan mataku sibuk mencari batu itu kesana kemari di tanah. Kusibakkan kumpulan daun yang berjatuhan dengan kakiku. Namun, sampai perkemahan sekalipun, kami tidak menemukannya.
"Ya sudahlah, John. Yang penting sekarang, kita harus temukan Roover dulu." Ujarku akhirnya.
Kami kembali ke tujuan awal kami dan berbalik arah.
"Pantas saja kemarin warnanya begitu kusam, ternyata peringatan bahaya." Ujarku seketika.
Kami melanjutkan perjalanan dalam diam, lenyap dalam pikiran masing - masing, kira - kira lima belas menit lamanya.
"Mungkinkah tuan lupa memintanya kembali waktu batu itu dipoles Roover?" Tanya Gehrar seketika.
"Tidak.. Tidak mungkin, Gehrar. Aku memolesnya sendiri kemarin malam waktu warnanya memudar." Jawabku.
"Hmm.. Kalau terbawa tidak mungkin.. Berarti... Ya! Ya! Kurasa aku tahu, James!" Seru John seketika. John yang sedari tadi hanya mendengarkan kami saja, tiba - tiba berseru - seru antusias. "Apa? Apa yang kau temukan?" Tanyaku. Gehrar juga terlihat antusias.
"Mungkin saja kan, kalau tidak mungkin terbawa, berarti batu itu memang sengaja dibawa Roover!" Ujarnya. "Lalu, kapan diambilnya? Batu itu kukantongi semalaman" jawabku. "Waktu kita sedang tidur! Waktu gilirannya berjaga, ia bisa saja mengambil batu itu dari kantongmu. Apalagi kita bertiga tertidur lelap karena kelelahan kemarin. Dan ia bisa dengan mudah pergi dengan alasan ingin buang air kecil saat giliran terakhir jaga!"
Aku sekarang mulai memahami maksudnya. "Tapi, benar kau yakin? Kita bisa saja salah sangka." Ujarku.
"Aku baru sadar. Waktu kami berkunjung ke museum geologi, Roover terlihat sangat senang dengan sebuah batu. Dan keesokan harinya, batu itu hilang dari museum! Pencurinya lihai, ia menutup setiap kamera pengawas dan mematikan alarm, bahkan tidak meninggalkan sidik jari! Polisi mengira pelakunya adalah Aflred Whine, seorang pencuri profesional yang belum tertangkap. Tapi kurasa mereka salah sekarang."
Aku masih berpikir - pikir lagi. Memang tak salah kalau John menuduh Roover, karena buktinya jelas dan terdengar akurat.
"Kurasa sudah jelas pencurinya Roover, tuan." Ujar Gehrar dengan tiba - tiba. "Belum Gehrar, kita masih harus memikirkannya matang - matang. Terlalu terburu - buru untuk menuduh Roover sekarang."
Selanjutnya kami makan siang sebentar di tengah hutan karena tak terasa hari sudah sangat siang dan perut kami sudah terasa lapar. Makan siang kali ini tak seperti biasanya yang penuh canda tawa. Kali ini, semuanya hanya terdiam dalam pikiran masing - masing dan sesekali, suara binatang hutan memecah keheningan.
Kami kembali berjalan, dan tanpa terasa, hari sudah mulai gelap dan kami terpaksa harus berkemah di tengah hutan lagi. Aku hanya bisa berharap, keluargaku takkan terlalu cemas karena aku belum pulang hari ini.
Kali ini, kami hanya menyalakan api unggun dan menaburi garam di sekeliling tempat tidur kami. Kami tidur dengan kantong tidur di dekat api unggun yang hangat. Radio kecil yang dibawa Gehrar dinyalakan. Ada kabar tentang Alfred Whine yang masih buron.
"Hey, mungkinkah Roover itu Alfred Whine?" Tanyaku. Aku hanya bercanda, namun kedua orang itu menanggapinya dengan serius. "Mungkin saja, bahkan mungkin sekali. Ia lihai dalam mencuri permatamu kan?" Jawab John. Lalu kami kembali terdiam lama sekali. Tak perlu waktu lama sampai John tertidur. Gehrar mematikan radionya, lalu kami segera tidur.Keesokan paginya, aku dibangunkan dengan terburu - buru oleh John.
"James! James, bangunlah! Gehrar hilang!"
Aku langsung bangun dan duduk mendengarnya "Hilang? Kenapa bisa?" Tanyaku.
"Entahlah." Ujarnya. John kembali mondar mandir dengan gelisah.
"Di sini banyak binatang berbahaya kan. Mungkinkah...?" Tanyaku. Aku sendiri merasa ngeri membayangkannya. "Tak mungkin. Sekalipun dimakan binatang buas, pasti ada bekas darah. Sekalipun binatang itu membawanya ke tempat lain. Mengapa tidak kita saja? Kita juga mungkin dimakan, James. Kebanyakan binatang memakan mangsanya di tempat. Dan seharusnya ada keributan, kan. Kita pasti terbangun jika memang itu yang terjadi. Aku seorang zoologist. Dan aku mengerti kebiasaan binatang buas, James." Ujarnya. Aku terdiam.
"Jadi, bagaimana?" Tanyaku.
John hanya mengangkat bahunya, lalu terduduk pasrah di depan api unggun yang masih menyala. Aku masih terdiam berdiri di situ, karena tak tahu harus berbuat apa.
"Kita jalan saja lagi." Ujarnya tiba - tiba. Lalu kami membereskan perkemahan dalam diam.
"Ayo." Ujarnya, lalu kami berangkat. Aku hanya mengikutinya saja berjalan di dalam hutan. "Ke mana kita sekarang?" Tanyaku. "Mencari Roover dan Gehrar, tentu saja." Jawabnya dingin. "Tapi, ke mana?" "Tak tahu." Ujarnya.
Selama lima belas menit kemudian kami terdiam. Hutan itu sangat sepi, tidak ada orang lagi yang kami jumpai selama perjalanan.
"John, aku--"
"Diamlah. Aku sedang tak ingin bicara, ayo kita jalan saja." Ujarnya dingin. Aku tahu ia sedang bingung, namun tak seharusnya juga sampai sifatnya jauh berbeda. Muram, dan juga sangat dingin. Tak seperti John yang biasanya. Bahkan kemarin pun, ia tak sampai begini setelah Roover hilang. Mau ke mana kami kalau yang memimpin pun tak tahu arah? Aku hanya takut kami tersesat dalam hutan dan tidak menemukan jalan kembali. Hutan ini liar, karenanya, sangat berbahaya masuk ke dalam sini tanpa persiapan.
Menjelang siang, kami melewati pinggiran sungai kecil. Aku agak kesusahan, sedangkan John kelihatannya sudah biasa. Ia seorang penjelajah yang handal.
Tak lama, di dekat sungai, aku melihat sebuah gubuk tua. Kecil, namun dari kondisinya, seperti belum lama ditinggali orang. Halamannya tidak begitu kotor, padahal seharusnya, jika gubuk itu sudah lama ditinggalkan, kondisinya pasti sudah sangat buruk. Halamannya pasti akan kotor dan penuh daun berserakan jika tidak pernah dirawat lagi.
John juga sepertinya sudah melihat gubuk itu, karenanya aku tidak bicara untuk memberitahunya.
"Kita periksa ke sana sebentar." Ujarnya.
Gubuk itu berada di seberang sungai yang kami lewati, karenanya kami harus menyebrang untuk bisa mencapainya. Sungau di daerah itu tidak begitu deras seperti sebelumnya, dan dalamnya hanya sampai lututku. Karenanya, tak terlalu sulit melewatinya. John menggulung celananya tinggi - tinggi agar tidak kebasahan. Aku juga melakukan hal yang sama.
Sungainya jernih, sehingga bisa kelihatan jika ada ular atau binatang - binatang lain yang berbahaya.
John terus memperhatikan langkahnya, tak lepas dari sekeliling sungai yang dilangkahinya. Memang tak semudah yang dibayangkan, karena kami perlu lima menit lebih untuk melintasinya.
John dengan tidak ragu mengetuk pintunya, dan seruan untuk masuk terdengar dari dalam. John membuka pintunya, dan melangkah masuk. Aku memang agak ragu, namun akhirnya aku harus ikut masuk juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Red Ruby
AdventureJames Thomas adalah seorang penulis best-seller dengan komputernya yang sudah usang. Bersama dengan kedua orang tuanya; Sarah, istrinya; Serena, anak perempuannya; dan Bill, editornya, James pergi berlibur untuk menemukan ide baru untuk buku selanju...